Vendor Bermasalah tapi Tetap Dipakai, Kenapa?

Bagian 1: Faktor Harga dan Biaya Pergantian (Switching Cost)

Salah satu alasan utama organisasi bertahan pada vendor bermasalah adalah pertimbangan harga dan biaya pergantian (switching cost). Ketika sebuah vendor sudah terjalin kontrak jangka panjang dengan harga yang sangat kompetitif, organisasi sering kali mengorbankan kualitas demi efisiensi anggaran. Biaya langsung untuk mengalih­kan layanan-termasuk biaya lisensi baru, integrasi sistem, pelatihan karyawan, hingga migrasi data-bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Di samping itu, terdapat biaya tak terduga seperti downtime operasional selama transisi, potensi kehilangan pelanggan akibat gangguan layanan, serta beban kerja ekstra tim TI internal yang harus melakukan koordinasi dan implementasi.

Lebih jauh lagi, vendor lama biasanya sudah “tertanam” dalam proses bisnis, workflow, dan budaya organisasi. Mereka telah memahami karakteristik sistem, infrastruktur, dan kebutuhan unik perusahaan. Meski kadang bermasalah-misalnya sering terlambat deliver, response time support lambat, atau kualitas output menurun-organisasi menilai bahwa risiko dan biaya untuk mencari, menguji coba, dan menyiapkan vendor baru justru lebih besar dibanding menahan diri menerima kekurangan yang ada. Dalam konteks ekonomi makro, di mana tekanan penghematan sering intens, manajemen cenderung memilih opsi “yang sudah ada” demi menjaga kestabilan anggaran triwulanan dan menghindari audit temuan pemborosan.

Secara psikologis, “sunk cost fallacy” juga turut berperan. Setelah investasi waktu, uang, dan sumber daya yang besar dicurahkan kepada vendor tertentu, tim pengambil keputusan merasa sulit mengakui kegagalan dan memutuskan hubungan. Mereka khawatir reputasi profesional akan tercoreng jika terkesan salah memilih vendor, sehingga lebih rela menahan keluhan dan terus bekerja dengan partner yang sudah ada. Padahal secara rasional, keputusan tersebut bisa menimbulkan kerugian jangka panjang-mulai dari kerusakan reputasi perusahaan hingga tertinggalnya inovasi-namun di mata manajemen, biaya pergantian masih dianggap lebih menakutkan.

Dengan demikian, faktor harga yang kompetitif dan tingginya biaya pergantian menjadi alasan struktural mengapa vendor bermasalah tetap dipakai. Organisasi memprioritaskan kestabilan finansial jangka pendek dan penghindaran risiko transisi, meski harus menanggung beban kualitas layanan di bawah standar.

Bagian 2: Keterbatasan Alternatif dan Barrier to Entry

Di banyak industri, jumlah penyedia layanan tertentu relatif terbatas. Misalnya di sektor telekomunikasi korporat, ERP (Enterprise Resource Planning), atau sistem pembayaran digital, hanya segelintir vendor besar yang mampu menawarkan infrastruktur, sertifikasi keamanan, dan jaminan layanan (SLA) sesuai kebutuhan perusahaan skala menengah ke atas. Vendor baru menghadapi barrier to entry tinggi: butuh modal puluhan miliar untuk membangun pusat data, memperoleh sertifikasi ISO dan PCI DSS, serta menggaet klien pilot agar reputasinya terbangun.

Ketika alternatif praktis hampir tak ada, organisasi pun “terjebak” pada vendor incumbent, meski performanya menurun. Keputusan manajemen kadang diwarnai pertimbangan network effect: semakin banyak rekan bisnis, mitra, atau anak perusahaan yang terhubung pada platform tertentu, semakin mahal biaya ko­ordinasi jika harus memindahkan ekosistem tersebut ke layanan lain. Contohnya, jika sistem HRIS (Human Resources Information System) dipakai oleh puluhan cabang di berbagai negara, migrasi ke vendor baru menuntut sinkronisasi data multi-lokasi, harmonisasi kebijakan lokal, dan pelatihan ratusan administrator-suatu proyek besar yang memakan waktu dan biaya.

Keterbatasan alternatif juga berakar pada aspek regulasi. Di sektor keuangan, misalnya, bank atau fintech hanya boleh menggunakan vendor yang telah mendapat izin regulator. Proses approval regulator bagi vendor baru bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Selama itu, perusahaan terpaksa mempertahankan vendor lama meski track record-nya buruk, karena opsi legal untuk mengganti belum tersedia.

Singkatnya, barrier to entry yang tinggi dan sedikitnya pilihan sejenis menciptakan “vendor lock‑in” de facto. Organisasi menghadapi dilema antara kualitas buruk dan risiko operasional besar jika berpindah-sehingga memilih menahan vendor bermasalah sambil berharap perbaikan di masa depan.

Bagian 3: Hubungan Historis, Kepercayaan, dan Political Capital

Hubungan jangka panjang antara organisasi dan vendornya seringkali melahirkan political capital-modal sosial dan politik yang susah diukur secara finansial. Vendor yang sudah bekerja sama bertahun‑tahun memahami seluk‑beluk budaya korporasi, personalia kunci, bahkan dinamika politik internal perusahaan. Mereka bisa “memainkan” insight tersebut untuk menjaga posisinya, misalnya dengan memberikan “prioritas” terselubung, discount khusus pada periode tertentu, atau sponsorship kegiatan internal agar manajemen terus merasa terikat secara emosional.

Kepercayaan yang telah terbangun pun menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, tim procurement dan user merasa nyaman dengan vendor “lama”-mereka tahu ke mana harus menelpon saat ada masalah; eskalasi jalur komunikasi sudah jelas; dan ekspektasi metrik performa sudah “diadjust” agar sesuai realita. Di sisi lain, vendor memanfaatkan kepercayaan ini untuk menahan inovasi: menunda update software, tidak mengadopsi best practice terbaru, atau men-charge biaya tinggi untuk fitur tambahan. Karena hubungan historis ini, ketika performa menurun, manajemen cenderung memberi “warning” alih‑alih langsung memutus kontrak.

Lebih jauh, interaksi personal-seperti jamuan makan, roadshow eksklusif, atau partisipasi vendor dalam acara CSR perusahaan-memperkuat ikatan non‑formal. Mereka bukan sekadar penyedia jasa, melainkan mitra “komunitas” yang punya akses ke decision maker. Vendor yang pandai “bersosialisasi” dalam level eksekutif ini bisa mempertahankan kontrak meski departemen operasional mengeluh keras. Dalam banyak kasus, keberlanjutan kontrak lebih dipengaruhi oleh lobbying internal vendor ketimbang metrik KPI objektif.

Dengan modal kepercayaan dan political capital, vendor bermasalah dapat “bertahan” sampai performa turun di titik yang benar‑benar kritis. Pada saat itupun, seringkali tindakan yang diambil hanyalah renegosiasi margin keuntungan atau penyesuaian minor SLA, bukan pemutusan hubungan.

Bagian 4: Manajemen Risiko dan Strategi Kontinjensi

Dalam perspektif manajemen risiko, setiap perubahan vendor adalah potensi risiko baru-baik dari sisi teknis, legal, maupun reputasi. Oleh karena itu, banyak perusahaan lebih memilih melakukan risk mitigation terhadap vendor bermasalah daripada melakukan risk transfer dengan vendor baru. Strategi mitigasi bisa berupa pengetatan klausul kontrak, penambahan penalty atas keterlambatan, atau memperbanyak audit dan review bulanan.

Alih‑alih mengganti vendor, tim risk management kadang membuat “lapisan” proteksi: menyiapkan backup server on‑premise, melakukan snapshot data harian, atau menyiapkan tim internal kecil yang siap intervensi ketika vendor gagal. Meskipun biaya mitigasi ini signifikan, organisasi menilai hal tersebut lebih dapat dikendalikan dibanding kerumitan sourcing vendor baru.

Di samping itu, organisasi sering menyusun rencana kontinjensi-business continuity plan (BCP) dan disaster recovery plan (DRP)-yang sudah disesuaikan dengan karakteristik vendor bermasalah. Semua prosedur darurat, mulai dari failover hingga rollback, “teruji” pada kondisi vendor yang tidak konsisten. Sehingga ketika gangguan terjadi, downtime bisa diminimalkan. Karena itu, urgensi untuk mengganti vendor berkurang; perusahaan sudah merasa “aman” meski vendor inti sering melakukan kesalahan operasional.

Pendekatan manajemen risiko ini lahir dari pengalaman buruk di masa lalu: suatu perpindahan vendor yang dilakukan terburu‑buru pernah menimbulkan blackout sistem selama 48 jam, kerugian finansial puluhan miliar rupiah, dan audit regulator yang memalukan. Trauma kolektif tersebut membuat manajemen lebih toleran terhadap kelemahan vendor lama, selama ada protokol mitigasi yang jelas.

Bagian 5: Tekanan Stakeholder Internal dan Eksternal

Vendor selection bukan sekadar urusan procurement; ia melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders)-mulai dari CFO, CIO, hingga user akhir dan regulator. Setiap kelompok punya tekanan dan kepentingan berbeda: CFO menekankan cost saving, CIO menyoroti integrasi teknologi, sedangkan compliance officer fokus pada aspek kepatuhan. Vendor bermasalah yang sukses bertahan biasanya piawai “memecah belah” koalisi stakeholder ini.

Mereka memberikan data atau studi kasus yang menunjukkan bahwa performa mereka “cukup” untuk sebagian besar kebutuhan, menyoroti potensi risiko vendor lain, serta menjanjikan roadmap perbaikan. Taktik ini menimbulkan decision paralysis di antara manajemen puncak: daripada mengambil keputusan kontroversial (memutus kontrak)-yang bisa memicu protes internal-mereka memilih “status quo” meski tidak ideal.

Tekanan eksternal juga berperan. Misalnya, kampanye ESG (Environmental, Social, Governance) menuntut perusahaan untuk bermitra dengan vendor yang memiliki track record keberlanjutan. Jika vendor lama sudah memiliki program CSR bersama perusahaan, memutus hubungan dapat menimbulkan citra negatif di mata publik. Vendor pun memanfaatkan popularitas program bersama ini untuk memperkuat posisi tawar.

Dengan dinamika konflik kepentingan yang kompleks, keputusan merawat hubungan dengan vendor bermasalah kerap muncul sebagai solusi kompromi. Semua pihak mungkin tidak 100% puas, tetapi setidaknya tidak ada pihak yang sepenuhnya dirugikan oleh pemutusan kontrak tiba‑tiba.

Bagian 6: Strategi Negosiasi dan Upaya Perbaikan Berkelanjutan

Menyadari bahwa pemutusan kontrak terlalu mahal dan berisiko, banyak organisasi memilih jalan tengah: renegosiasi syarat dan ketentuan, sambil memaksa vendor melakukan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Dalam praktiknya, tim procurement dan vendor mengadakan workshop bersama untuk merancang ulang KPI, menetapkan key result areas (KRAs) yang lebih spesifik, serta menyepakati insentif dan penalti yang lebih seimbang.

Vendor yang adaptif akan memasang tim “task force” khusus-gabungan ahli teknis vendor dan perwakilan klien-untuk menangani akar masalah: apakah pada proses delivery, quality control, atau komunikasi. Pendekatan kolaboratif ini sering kali membuahkan hasil: meski performa awal buruk, dalam jangka 3-6 bulan terdapat peningkatan signifikan pada metrik SLA, response time, dan kepuasan user. Organisasi menilai bahwa investasi waktu pada fase renegosiasi dan joint improvement lebih efektif dibanding sourcing vendor baru.

Di sisi lain, vendor yang kurang kooperatif akan “ditekan” melalui eskalasi kontraktual: surat peringatan resmi (notice to cure), pemotongan pembayaran bertahap (withholding), hingga ancaman terminasi. Namun terminasi hanya menjadi opsi terakhir setelah semua saluran perbaikan ditempuh. Karena itu, vendor cenderung setuju pada program perbaikan demi menjaga arus kas dan reputasi.

Lebih lanjut, tren vendor consolidation-mengurangi jumlah total vendor dan memperdalam hubungan dengan beberapa partner strategis-memungkinkan organisasi mengalokasikan sumber daya pengawasan lebih intensif. Dengan beban kontrak lebih sedikit, tim procurement punya bandwidth untuk melakukan due diligence lebih dalam, audit lebih sering, dan pelatihan bersama. Ini menciptakan ekosistem partnership yang resilient: meski salah satu vendor bermasalah, impact dapat dibatasi oleh dukungan vendor lain dalam konsorsium.

Kesimpulan: Memahami Dilema dan Membangun Jalan ke Depan

Keputusan mempertahankan vendor bermasalah sejatinya lahir dari trade‑off kompleks antara biaya, risiko, dan dinamika politik internal. Biaya pergantian tinggi, keterbatasan alternatif, hubungan historis yang kuat, serta tekanan stakeholder menciptakan “perangkap” status quo. Namun di balik itu, organisasi juga membangun mekanisme mitigasi: BCP/DRP, renegosiasi SLA, dan vendor consolidation.

Ke depan, best practice menuntut pendekatan proaktif:

  1. Vendor Performance Intelligence: memanfaatkan analytics dan AI untuk memantau performa vendor secara real-time, bukan sekadar bergantung pada laporan periodik.
  2. Flexible Contracting: merancang kontrak modular yang memudahkan penggantian komponen layanan tanpa memutus keseluruhan hubungan.
  3. Ecosystem Partnerships: mengembangkan jaringan multi-vendor yang saling back-up, sehingga kegagalan satu pihak tak melumpuhkan operasional.
  4. Continuous Governance: membentuk forum governance rutin-melibatkan C-level, user, dan vendor-untuk mengevaluasi kinerja, berbagi insight, dan menyesuaikan roadmap bersama.

Dengan langkah-langkah tersebut, organisasi dapat keluar dari “dilema vendor bermasalah” dan beralih ke model kemitraan yang lebih adaptif, inovatif, dan tahan guncangan. Alih‑alih terpaku pada pilihan suboptimal, perusahaan akan mampu memelihara agility, mengurangi total cost of ownership, dan pada akhirnya meningkatkan value delivered kepada pemangku kepentingan. Vendor bukan lagi “kejahatan yang ditoleransi,” melainkan mitra sejati dalam perjalanan transformasi bisnis.