Tips Proses Klarifikasi Kualifikasi yang Profesional

Pendahuluan

Proses klarifikasi kualifikasi adalah salah satu tahap krusial dalam siklus pengadaan barang/jasa. Di sinilah panitia atau Pokja memverifikasi, memperjelas, dan menilai dokumen penawaran untuk memastikan penyedia memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan keuangan sebelum masuk ke tahap evaluasi lebih lanjut. Jika dijalankan asal-asalan, klarifikasi dapat menimbulkan tanda tanya tentang fairness, membuka celah sengketa lelang, atau bahkan memicu penyimpangan hukum. Sebaliknya, proses yang profesional meningkatkan kredibilitas pengadaan, memperkecil risiko pemilihan penyedia yang tidak berkompeten, dan mempercepat pelaksanaan kontrak.

Artikel ini menyajikan kumpulan tips praktis untuk merancang dan melaksanakan proses klarifikasi kualifikasi yang profesional: mulai definisi tujuan, persiapan dokumen dan kriteria, pembentukan tim, teknik komunikasi, metodologi evaluasi, pelaksanaan klarifikasi, penanganan konflik dan keberatan, hingga tata kelola dokumentasi dan tindak lanjut. Setiap bagian dirancang agar bisa langsung diterapkan oleh panitia pengadaan di instansi pemerintah, BUMN, atau organisasi swasta. Dengan mengikuti prinsip-prinsip profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas, proses klarifikasi bukan lagi sekadar formalitas — melainkan instrumen kontrol mutu yang memperkuat integritas pengadaan.

1. Pengertian, Tujuan, dan Batasan Klarifikasi Kualifikasi

Klarifikasi kualifikasi adalah proses formal yang dilakukan panitia pengadaan untuk meminta penjelasan, melengkapi, atau memperjelas informasi yang termuat dalam dokumen penawaran penyedia. Penting dicatat bahwa klarifikasi berbeda dari negosiasi atau perubahan substansi tawaran; klarifikasi hanya boleh menuntaskan keraguan yang wajar tanpa mengubah proposisi komersial atau teknis penyedia secara substantif.

Tujuan utama klarifikasi kualifikasi meliputi: memastikan kelengkapan dokumen administratif (izin, NPWP, akta), memverifikasi kebenaran klaim kapasitas teknis (CV tenaga ahli, pengalaman proyek), mengonfirmasi kelayakan finansial (laporan keuangan, modal kerja), dan mengeliminasi ambiguitas yang dapat menghambat evaluasi objektif. Dengan kata lain, klarifikasi membantu panitia membedakan antara masalah formil yang dapat diperbaiki dan isu substantif yang berisiko mengganggu pelaksanaan kontrak.

Namun, perlu ada batasan-batasan yang jelas agar klarifikasi tidak disalahgunakan. Batasan umum meliputi:

  1. Tidak meminta dokumen atau perubahan yang berakibat memperbaiki posisi kompetitif satu peserta;
  2. Tidak memberi kesempatan menambah atau mengganti isi penawaran yang telah ditetapkan (mis. menurunkan harga atau menambah spesifikasi teknis);
  3. Tidak memberikan informasi yang dapat membocorkan rahasia komparatif antar peserta.

Panitia harus berpegang pada ketentuan RUP, dokumen pengadaan (RKS/TOR), dan peraturan yang mengatur mekanisme klarifikasi.

Menetapkan kriteria apa yang boleh diklarifikasi di awal sangat penting: buatlah daftar tipe temuan yang dapat diklarifikasi (mis. dokumen administratif kadaluarsa tetapi masih dalam proses perpanjangan dengan bukti permohonan resmi) dan yang tidak boleh (mis. mengubah nilai penawaran). Ketentuan ini harus disosialisasikan di awal, dicantumkan dalam Berita Acara Pembukaan Penawaran atau dokumen administratif lain sehingga semua peserta memahami aturan main.

Pengertian yang jelas, tujuan yang terarah, dan batasan tegas menjadikan proses klarifikasi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas evaluasi, sekaligus menjaga fairness dan kepatuhan terhadap prinsip pengadaan yang transparan dan akuntabel.

2. Persiapan Dokumen, Kriteria, dan Checklist Klarifikasi

Persiapan yang matang menentukan kelancaran proses klarifikasi. Sebelum membuka sesi klarifikasi, panitia harus menyiapkan dokumen pedoman, kriteria penilaian, dan checklist yang terstruktur agar interaksi dengan penyedia berlangsung efisien dan terdokumentasi.

  1. Susun daftar dokumen wajib yang harus dimiliki setiap penawar: surat penawaran bermaterai, NPWP, SIUP/NIB, surat kuasa apabila diwakili, laporan keuangan terverifikasi, daftar pengalaman proyek, CV tenaga ahli, serta dokumen spesifik sesuai persyaratan teknis. Pastikan format dan template yang dibutuhkan jelas—mis. format CV, lampiran foto proyek, atau format referensi pelanggan. Ini mengurangi variasi dokumen dan memudahkan verifikasi.
  2. Buat kriteria klarifikasi berdasarkan kategori: administratif, teknis, finansial, dan legal. Untuk masing-masing kategori tentukan contoh temuan yang dapat diklarifikasi (dokumen hilang karena human error, cap/TTD terpotong pada lampiran, kepastian waktu pelaksanaan belum tercantum) dan contoh yang tidak boleh (penambahan nilai kontrak, penambahan tim ahli utama). Kelompokkan pula temuan menurut tingkat prioritas: high (harus diklarifikasi segera), medium (klarifikasi perlu), low (cukup dicatat).
  3. Rancang checklist pemeriksaan yang memuat kolom: item yang diperiksa, status (lengkap/tidak lengkap/diragukan), bukti (nomor dokumen, tanggal), catatan klarifikasi (pertanyaan yang diajukan), dan status tindak lanjut. Checklist sebaiknya menggunakan bahasa sederhana dan numerik untuk memudahkan agregasi temuan.
  4. Siapkan format surat permintaan klarifikasi (RKS klarifikasi) yang konsisten: nomor, tanggal, daftar dokumen/isu yang perlu dijelaskan, tenggat waktu jawaban, alamat pengembalian, dan peringatan konsekuensi jika tidak memenuhi (diskualifikasi atau penilaian negatif). Jadikan template ini bagian dari SOP internal panitia.
  5. Sediakan daftar sumber verifikasi pihak ketiga: kontak notaris untuk mengecek akta, instansi penerbit untuk memverifikasi izin, konsultan independen untuk memverifikasi kapasitas teknis jika diperlukan. Mengetahui sumber ini sejak awal mempercepat verifikasi.

Dengan persiapan dokumen, kriteria, dan checklist yang matang, panitia mengurangi bias, mempercepat proses klarifikasi, dan menyiapkan bukti audit yang kuat bila prosesnya dipersoalkan di kemudian hari.

3. Membentuk Tim Klarifikasi dan Pembagian Peran

Keberhasilan proses klarifikasi sangat bergantung pada kualitas tim. Tim harus kompeten, objektif, dan memiliki pembagian peran yang jelas antara fungsi teknis, administratif, dan legal. Langkah pembentukan tim harus dilakukan sejak perencanaan pengadaan.

  1. Tetapkan komposisi tim. Idealnya, tim terdiri dari: ketua panitia (bertanggung jawab keseluruhan), anggota teknis (pakar sesuai sektor pekerjaan), anggota administrasi (memeriksa kelengkapan dokumen), dan penasihat hukum atau sekretariat yang mengelola komunikasi formal. Untuk proyek besar, tambahkan perwakilan keuangan dan pengelola kontrak (contract manager) yang bisa menilai aspek keuangan dan kapasitas manajerial penyedia.
  2. Jelaskan peran dan tanggung jawab setiap anggota secara tertulis. Misalnya, anggota teknis bertugas menilai kelayakan metodologi dan kewajaran CV tenaga ahli; anggota administrasi memeriksa keaslian dokumen administratif dan nomor identifikasi; penasihat hukum memverifikasi klausul hukum, surat kuasa, dan status litigasi; ketua bertugas menyetujui keputusan akhir dan menandatangani Berita Acara. Pembagian peran ini menghindarkan tumpang tindih tanggung jawab dan memudahkan pelacakan keputusan.
  3. Mekanisme independensi dan konflik kepentingan. Setiap anggota harus menandatangani pernyataan tidak memiliki konflik kepentingan terhadap penyedia yang diklarifikasi. Jika ada potensi konflik (mis. hubungan bisnis atau kekerabatan), anggota tersebut wajib recuse diri dan diganti. Ini penting untuk menjaga kredibilitas proses.
  4. Prosedur koordinasi internal: rencana kerja, agenda klarifikasi, dan jadwal rapat internal. Gunakan checklist untuk pembagian tugas, mis. satu anggota bertanggung jawab menghubungi pihak yang terverifikasi, satu menitai hasil verifikasi pihak ketiga, serta satu mencatat interaksi wawancara. Komunikasi internal ini harus tercatat dalam minutes of meeting.
  5. Pelatihan singkat bagi tim tentang etika klarifikasi, teknik wawancara, dan dokumentasi bukti. Pelatihan ini membantu meminimalkan bias interpersonal dan meningkatkan kualitas pertanyaan klarifikasi.

Dengan tim yang terstruktur dan peran jelas, proses klarifikasi berjalan efisien, objektif, dan mudah dipertanggungjawabkan—mengurangi risiko kesalahan administratif atau tudingan keberpihakan.

4. Teknik Komunikasi yang Profesional dengan Penyedia

Komunikasi adalah unsur kunci. Cara panitia bertanya, mencatat jawaban, dan menyampaikan keputusan memengaruhi persepsi fairness dan risiko sengketa. Berikut teknik komunikasi praktis yang perlu dipraktikkan.

  1. Gunakan kanal komunikasi resmi. Semua permintaan klarifikasi harus disampaikan secara tertulis melalui surat resmi atau sistem e-procurement yang tercatat waktunya. Komunikasi lisan dapat digunakan untuk klarifikasi cepat namun harus segera dikonfirmasi secara tertulis. Hal ini menjaga jejak audit dan mencegah salah tafsir.
  2. Bahasa yang jelas dan netral. Pertanyaan harus spesifik, tidak mengarah, dan memuat konteks lengkap. Hindari pertanyaan yang membiarkan ruang interpretasi besar. Contoh buruk: “Jelaskan pengalaman Anda.” Contoh baik: “Mohon lampirkan kontrak/BA dan foto lapangan untuk pengalaman proyek X tahun YYYY dengan nilai kontrak Rp… yang menyebutkan peran Anda sebagai main contractor.”
  3. Atur tenggat waktu yang wajar. Beri penyedia waktu cukup untuk menyiapkan dokumen—umumnya 3–7 hari kerja tergantung kompleksitas permintaan. Tenggat waktu singkat meningkatkan risiko jawaban terburu-buru atau dokumen yang tidak lengkap, sementara tenggat waktu lama menghambat proses evaluasi.
  4. Catat seluruh interaksi. Gunakan format minutes atau log komunikasi yang memuat tanggal, waktu, nama penyedia dan nama pejabat yang memberi jawaban, ringkasan jawaban, serta lampiran yang diserahkan. Jika ada pertemuan tatap muka, lakukan notulensi dan minta penyedia menandatangani sebagai bukti koreksi.
  5. Berikan kesempatan right to be heard. Jika pertanyaan klarifikasi berpotensi memengaruhi penilaian, jangan membuat asumsi sepihak; mintalah klarifikasi tertulis, kemudian lakukan verifikasi pihak ketiga bila perlu. Berikan waktu bagi penyedia untuk memberi penjelasan sebelum panitia mengambil keputusan.
  6. Sopan dan profesional ketika menyampaikan temuan kritis. Jika jawaban penyedia tidak memadai, jelaskan alasan ketidakcukupan dengan referensi klausal dalam dokumen pengadaan, bukan sekadar menolak. Ini mengurangi potensi konflik dan memperlihatkan proses transparan.
  7. Komunikasikan konsekuensi secara eksplisit: apakah jawaban yang tidak memadai akan mengakibatkan diskualifikasi, dikurangi skor, atau diberi kesempatan perbaikan. Kepastian ini diharapkan mengurangi kebingungan dan tuntutan di kemudian hari.

Praktik komunikasi yang profesional meningkatkan kepercayaan penyedia dan publik terhadap proses, memperkecil sengketa, dan mempercepat pengambilan keputusan.

5. Metodologi Evaluasi: Verifikasi, Sampling, dan Cross-Check

Klarifikasi bukan sekadar meminta berkas; proses ini memerlukan metodologi evaluasi yang sistematik agar hasilnya andal dan dapat dipertanggungjawabkan. Berikut pendekatan evaluasi yang direkomendasikan.

  1. Verifikasi dokumen primer. Jangan hanya menerima salinan; lakukan pemeriksaan terhadap dokumen primer bila perlu—mis. konfirmasi legalitas akta notaris ke kantor notaris, verifikasi NPWP/PKP melalui portal resmi, atau meminta salinan rekening koran yang distempel bank. Untuk pengalaman proyek, mintalah kontrak dan berita acara serah terima (BAST) yang memuat nilai/lingkup pekerjaan.
  2. Terapkan sampling bila jumlah penawaran besar. Jika ada puluhan penawaran dengan banyak dokumen serupa, gunakan sampling risiko (risk-based sampling): fokus pada penyedia yang memiliki klaim nilai terbesar, pengalaman yang kritis terhadap proyek, atau yang ditemukan ada inkonsistensi. Sampling juga efektif untuk verifikasi lapangan—memeriksa fisik sebagian proyek yang diklaim.
  3. Cross-check sumber independen. Misalnya, hubungi klien referensi untuk menanyakan performance penyedia, atau cek publikasi/portofolio penyedia di website klien. Gunakan sumber resmi untuk memverifikasi izin, sertifikat ISO, atau sertifikat kompetensi tenaga ahli.
  4. Gunakan matriks penilaian untuk mencatat hasil verifikasi: item, bukti pendukung, status verifikasi (terverifikasi, kolerasi, tidak terverifikasi), dan dampak pada penilaian (lulus, perbaikan, diskualifikasi). Matriks membantu membuat keputusan yang konsisten dan memudahkan audit.
  5. Catat chain of custody untuk bukti digital dan fisik. Simpan salinan digital yang diberi tanda waktu (timestamp) dan catat siapa yang menerima dokumen fisik. Ini penting bila ada permasalahan legal di kemudian hari.
  6. Pertimbangkan penggunaan pihak ketiga independen untuk verifikasi teknis atau finansial pada kasus kompleks atau nilai tinggi—mis. penilai independen untuk kapasitas keuangan atau inspektur lapangan untuk verifikasi kualitas pekerjaan sebelumnya.

Metodologi yang robust — verifikasi primer, sampling cerdas, cross-check independen, dan pencatatan sistematik — akan meminimalkan risiko memilih penyedia yang tidak memenuhi syarat, serta memperkuat dasar pembelaan panitia bila hasil proses dikaji atau digugat.

6. Tata Cara Pelaksanaan Klarifikasi: Jadwal, Lokasi, dan Mekanisme Formal

Pelaksanaan teknis klarifikasi memiliki sejumlah unsur operasional yang harus diatur agar proses berjalan lancar dan aman hukum. Berikut pedoman pelaksanaannya.

  1. Jadwalkan sesi klarifikasi secara jelas dan umumkan ke semua peserta yang lolos administrasi awal. Jadwal harus memperhatikan ketersediaan tim dan memberi waktu yang adil bagi penyedia. Cantumkan tanggal, jam, lokasi (atau informasi akses virtual jika online), dan dokumen apa yang harus dibawa oleh penyedia.
  2. Pilih lokasi yang netral dan representatif. Untuk klarifikasi tatap muka, gunakan ruang rapat resmi panitia yang mencerminkan profesionalisme. Jika menggunakan pertemuan virtual, pastikan platform aman (akses melalui link unik, password, dan recording untuk kepentingan dokumentasi) serta ada mekanisme verifikasi identitas peserta.
  3. Siapkan agenda sesi dan alur kerja: pembukaan (perkenalan tim), penyampaian maksud klarifikasi, pembacaan isu yang telah diidentifikasi, sesi jawaban penyedia, sesi tanya jawab mendalam (jika diperlukan), dan penutupan. Waktu tiap penyedia harus dibatasi untuk menghindari keberpihakan waktu.
  4. Prosedur dokumentasi wajib diterapkan: notulen resmi, rekaman audio/video (dengan persetujuan peserta), daftar hadir, dan scan dokumen yang diserahkan. Setiap lampiran harus diberi nomor berkas dan disimpan di repositori elektronik yang aman. Buat Berita Acara Klarifikasi yang ditandatangani ketua panitia dan perwakilan penyedia, memuat ringkasan jawaban dan dokumen pelengkap.
  5. Aturan tanya jawab yang fair. Pertanyaan harus tercatat satu per satu dan jawaban diberikan secara langsung oleh perwakilan penyedia yang berwenang. Jika jawaban teknis membutuhkan waktu verifikasi pihak ketiga, catat bahwa jawaban final akan disampaikan secara tertulis dalam tenggat yang diberikan.
  6. Mekanisme follow-up. Bila klarifikasi menghasilkan kebutuhan verifikasi tambahan (mis. meminta dokumen ke pihak ketiga), tetapkan tenggat waktu, penanggung jawab, dan konsekuensi jika tidak terpenuhi. Semua follow-up harus diproses melalui jalur tertulis resmi.
  7. Amanat kepatuhan hukum. Pastikan mekanisme klarifikasi sesuai dengan ketentuan pengadaan yang berlaku—apabila ada batasan untuk komunikasi setelah pembukaan penawaran, patuhi aturan tersebut. Pelanggaran prosedur ini bisa berakibat pada keberatan formal atau gugatan administratif.

Pengaturan teknis yang rapi membuat proses klarifikasi efisien, adil, dan mudah diaudit, sekaligus memperkecil kesalahan prosedural yang bisa merugikan semua pihak.

7. Menangani Konflik, Keberatan, dan Pengambilan Keputusan

Dalam proses klarifikasi tak jarang muncul sengketa kecil—keberatan penyedia terhadap pertanyaan, klaim bahwa permintaan panitia tidak adil, atau interpretasi berbeda terhadap persyaratan. Menangani konflik dengan prosedural dan prinsip fairness esensial.

  1. Siapkan mekanisme pengaduan internal yang mudah diakses: hotline email resmi atau formulir pengaduan yang menjelaskan langkah-langkah penanganan, tenggat waktu jawaban, dan pihak yang berwenang menilai. Mekanisme ini memberi saluran formal bagi penyedia mengajukan keberatan sebelum mengambil jalur hukum.
  2. Terapkan prinsip audi alteram partem (hak didengar). Jika penyedia mengajukan keberatan, panitia wajib memberi kesempatan jawaban dan klarifikasi. Evaluasi keberatan dengan mengundang pihak terkait untuk hearing singkat dan dokumentasikan hasilnya. Keputusan harus berdasarkan fakta dan rujukan peraturan pengadaan.
  3. Gunakan standar bukti dan rujukan. Keputusan panitia harus mendasarkan pada dokumen pengadaan, peraturan pengadaan, dan fakta yang terverifikasi. Hindari keputusan berdasarkan opini semata. Jika interpretasi regulasi menjadi perdebatan, mintalah advis hukum internal atau eksternal sebelum memutuskan.
  4. Pengambilan keputusan kolegial dan transparan. Keputusan penting (mis. memberi kesempatan perbaikan, mendiskualifikasi penawar, atau menurunkan skor) harus diambil dalam rapat panitia dengan notulen tertulis dan tanda tangan. Keputusan kolegial mengurangi risiko tudingan keberpihakan.
  5. Kontrol eskalasi. Bila keberatan tidak diselesaikan secara internal, tetapkan prosedur eskalasi yang jelas ke tingkat manajemen pengadaan atau lembaga pengawas. Namun, upayakan penyelesaian administratif terlebih dahulu untuk menghindari litigasi yang memakan waktu.
  6. Komunikasikan keputusan secara resmi. Setelah keputusan diambil, kirim surat resmi yang menjelaskan pertimbangan, dasar hukum, dan langkah selanjutnya. Bila keputusan menguntungkan atau merugikan penyedia, jelaskan mekanisme banding yang tersedia.
  7. Ambil pelajaran dari sengketa. Dokumentasikan penyebab konflik dan revisi SOP jika perlu untuk mencegah berulangnya isu serupa pada proses pengadaan berikutnya. Membuka ruang perbaikan internal meningkatkan kualitas proses jangka panjang.

Pendekatan yang adil, berlandaskan bukti, dan terdokumentasi membuat penanganan konflik menjadi bagian konstruktif dari proses klarifikasi, bukan sumber krisis.

8. Dokumentasi, Audit Trail, dan Tindak Lanjut Pasca Klarifikasi

Dokumentasi yang komprehensif adalah jantung akuntabilitas. Semua langkah klarifikasi harus terekam rapi sehingga proses dapat diaudit, dipertanggungjawabkan, dan menjadi sumber pembelajaran.

  1. Simpan seluruh bukti komunikasi: surat permintaan klarifikasi, jawaban penyedia, notulen rapat, rekaman pertemuan, scan dokumen asli, dan email. Idealnya disimpan dalam repositori elektronik dengan sistem versioning dan backup. Metadata setiap file harus mencakup tanggal penerimaan, nama pemberi, dan nomor berkas.
  2. Buat Berita Acara Klarifikasi untuk setiap penyedia yang diklarifikasi. Berita Acara memuat poin permasalahan, jawaban penyedia, verifikasi panitia, dan keputusan sementara (cukup, perlu verifikasi lebih lanjut, atau tidak cukup sehingga berisiko diskualifikasi). Berita Acara ditandatangani oleh ketua panitia dan perwakilan penyedia sebagai pengakuan atas isi.
  3. Catat audit trail keputusan panitia. Ketika panitia memutuskan memberi toleransi dokumen, menolak, atau meminta perbaikan, harus ada catatan alasan yang merujuk pada ketentuan dokumen pengadaan atau peraturan. Audit trail membantu menjawab pertanyaan auditor eksternal dan pihak pengawas.
  4. Susun log tindak lanjut dengan status dan tenggat waktu: verifikasi pihak ketiga, permintaan dokumen tambahan, hasil verifikasi lapangan, dan keputusan akhir. Gunakan dashboard sederhana untuk memantau status per penyedia sehingga tidak ada follow-up yang terlewat.
  5. Arsipkan hasil verifikasi pihak ketiga. Bila verifikasi melibatkan notaris, bank, klien referensi, atau instansi penerbit, simpan bukti korespondensi dan hasil verifikasi. Ini memperkuat klaim keabsahan data penyedia.
  6. Laporkan hasil klarifikasi dalam laporan evaluasi. Ringkasan temuan klarifikasi harus menjadi bagian dari berkas evaluasi teknis/administratif lengkap yang diajukan untuk pengambilan keputusan selanjutnya. Lampirkan matriks temuan dan dokumen pendukung untuk memudahkan penelaahan manajemen.
  7. Susun lessons learned dan perbarui SOP. Setelah proses berakhir, lakukan sesi evaluasi internal: apa yang berjalan baik, kendala, dan rekomendasi perbaikan. Pembaruan SOP berdasarkan pengalaman nyata memperkuat kualitas proses di masa depan.

Dokumentasi rapi dan tindak lanjut yang disiplin menjadikan proses klarifikasi bukan hanya alat seleksi, tetapi mekanisme tata kelola yang meningkatkan kepercayaan publik dan integritas pengadaan.

Kesimpulan

Proses klarifikasi kualifikasi yang profesional adalah fondasi bagi pengadaan yang adil, transparan, dan akuntabel. Mulai dari pemahaman tujuan dan batasan klarifikasi, persiapan dokumen serta checklist, pembentukan tim yang kompeten, teknik komunikasi yang benar, metodologi verifikasi yang sistematik, tata pelaksanaan yang rapi, penanganan konflik yang terstruktur, hingga dokumentasi lengkap—semua elemen ini saling terkait dan menentukan kualitas hasil akhir. Prinsip yang harus selalu dijaga adalah fairness (kesetaraan perlakuan), due process (prosedur yang benar), dan evidence-based decision (keputusan berbasis bukti).

Implementasi tips yang disajikan—dengan adaptasi pada konteks regulasi dan kapasitas institusi—akan mengurangi risiko sengketa, mempercepat proses evaluasi, dan meningkatkan kemungkinan memilih penyedia yang benar-benar kompeten. Ingatlah bahwa klarifikasi bukan alat untuk “membenarkan” penawaran yang cacat, melainkan mekanisme memastikan kelayakan penawaran yang wajar. Dengan komitmen pimpinan, pelatihan tim, dan dokumentasi yang disiplin, proses klarifikasi menjadi bagian integral dari tata kelola pengadaan yang profesional dan dipercaya publik.