Sistem Approval Berlapis: Penghambat atau Pengaman?

Pendahuluan

Pengadaan barang dan jasa merupakan tulang punggung operasional organisasi, baik di sektor publik maupun swasta. Dalam upaya memastikan keandalan, transparansi, dan akuntabilitas, banyak instansi menerapkan sistem approval berlapis-yakni mekanisme pengesahan yang melewati beberapa tingkatan otorisasi. Sistem ini dianggap sebagai benteng terakhir untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan anggaran, korupsi, dan kesalahan administrasi. Namun, di sisi lain, lapisan persetujuan yang berlebihan berpotensi memperlambat proses, meningkatkan birokrasi, dan menimbulkan beban administratif yang tak perlu. Dalam artikel ini, kita akan mengulas mendalam dinamika sistem approval berlapis dalam konteks pengadaan, memaparkan argumen pro dan kontra, serta merumuskan rekomendasi kebijakan agar sistem ini berfungsi sebagai pengaman optimal, bukan sebagai penghambat produktivitas.

Pada era digitalisasi dan tuntutan efisiensi, perusahaan dan instansi pemerintahan dituntut untuk mempercepat proses pengadaan tanpa mengorbankan prinsip good governance. Tantangan inilah yang memicu perdebatan: sejauh mana lapisan otorisasi perlu diperketat, dan di titik mana ketatnya prosedur justru menyurutkan laju bisnis? Artikel ini terdiri atas beberapa bagian, dimulai dari definisi dan landasan teoritis, diikuti dengan tinjauan manfaat, tantangan, dan dampak sistem approval berlapis. Setelah itu, kita akan menelaah studi kasus implementasi, strategi optimalisasi, peran teknologi, serta rekomendasi kebijakan terbaik. Akhirnya, kesimpulan merangkum temuan dengan penekanan pada keseimbangan antara kecepatan dan kontrol serta pentingnya continuous improvement dalam tata kelola pengadaan.

Definisi dan Landasan Teoritis

Sistem approval berlapis dapat dipahami sebagai rangkaian proses verifikasi dan otorisasi yang harus dilalui setiap permintaan pengadaan sebelum ditindaklanjuti. Pada umumnya, level approval mencakup verifikasi awal oleh unit pemohon, review anggaran oleh bagian keuangan, evaluasi kesesuaian teknis oleh tim user, hingga persetujuan akhir dari manajemen puncak atau pejabat berwenang. Dari perspektif teori birokrasi Max Weber, struktur hierarkis semacam ini mencerminkan prinsip rasional-legal; setiap keputusan didasari oleh wewenang formal yang terdefinisi dengan jelas untuk mencegah arbitrariness dalam pengelolaan sumber daya.

Lebih jauh, teori kontrol manajerial menekankan pentingnya checks and balances dalam setiap aktivitas organisasi, termasuk pengadaan. Dual control-di mana dua pihak independen memverifikasi transaksi-merupakan elemen kunci dalam mencegah fraud dan error. Namun, ketatnya kontrol harus seimbang dengan fleksibilitas agar proses tidak menjadi stagnan. Di sinilah muncul konsep agility dalam governance: mekanisme yang memungkinkan percepatan persetujuan dengan tetap mempertahankan integritas kontrol, misalnya melalui delegation of authority yang tepat, penggunaan threshold value, dan exception handling yang jelas.

Tujuan dan Manfaat Approval Berlapis

Tujuan utama sistem approval berlapis adalah memastikan bahwa setiap pengeluaran organisasi sesuai dengan kebutuhan, anggaran, dan kebijakan yang berlaku. Dengan adanya beberapa tingkatan otorisasi, potensi manipulasi data maupun penyalahgunaan wewenang dapat diminimalisir. Selain itu, dokumentasi yang lengkap pada setiap level approval menciptakan jejak audit (audit trail) yang transparan, memudahkan fungsi internal audit dan eksternal regulator dalam melakukan pemeriksaan.

Dari segi manfaat, sistem ini juga meningkatkan kualitas keputusan pengadaan. Tim teknis yang memeriksa aspek fungsionalitas dan spesifikasi memastikan barang atau jasa yang dibeli sesuai standar, sedangkan tim keuangan memverifikasi ketersediaan anggaran dan efisiensi biaya. Manajemen puncak, dengan perspektif strategis, dapat mengevaluasi keselarasan pengadaan dengan visi misi organisasi. Dengan demikian, approval berlapis tidak hanya berfungsi sebagai pengaman, tetapi juga sebagai forum kolaborasi lintas fungsi yang menghasilkan keputusan pengadaan lebih berkualitas.

Tantangan dan Potensi Hambatan

Kelemahan paling mencolok dari approval berlapis adalah birokrasi yang berbelit. Banyaknya level persetujuan menambah waktu siklus pengadaan-dari permintaan hingga pengiriman barang. Dalam kondisi normal, penundaan satu hari di setiap level bisa menumpuk menjadi keterlambatan berminggu-minggu. Bagi industri yang bergerak cepat, seperti manufaktur atau teknologi, jeda waktu ini dapat memicu kerugian produktivitas dan peluang pasar.

Selain itu, beban administratif yang tinggi seringkali menimbulkan frustasi bagi pemohon. Formulir panjang, upload dokumen berulang, hingga koordinasi dengan berbagai pihak menambah biaya transaksi non-produktif. Di sisi kulturnya, karyawan cenderung mencari jalan pintas-mengabaikan prosedur, melobi pejabat, atau ‘menerabas’ level approval demi kebutuhan mendesak. Praktik-praktik semacam ini justru melemahkan tujuan awal sistem, serta membuka celah bagi risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Dampak pada Efisiensi Pengadaan

Efisiensi pengadaan diukur dari dua indikator utama: time-to-procurement dan cost-to-procurement. Sistem approval berlapis, bila diterapkan tanpa optimasi, dapat memperbesar kedua indikator ini. Penundaan proses persetujuan meningkatkan biaya denda keterlambatan, biaya administrasi, dan potensi overstock atau stockout. Dalam jangka panjang, hal tersebut menurunkan ROI (return on investment) dan menggerus kepercayaan stakeholder, termasuk pemasok strategis.

Di sisi lain, jika setiap level approval benar-benar menambah nilai-misalnya dengan mendeteksi potensi penyimpangan atau menemukan alternatif supplier lebih kompetitif-maka sedikit waktu tambahan bisa terbayar melalui cost savings yang signifikan. Oleh karena itu, kunci efisiensi bukan hanya pada jumlah lapisan approval, tetapi pada kualitas review di setiap tahap. Pengukuran kinerja internal, seperti persentase approval on first review atau average review time per layer, menjadi penting untuk memetakan peluang peningkatan efisiensi.

Studi Kasus Implementasi di Berbagai Sektor

Di sektor pemerintahan, sistem approval berlapis sering kali ditetapkan oleh regulasi, seperti Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa. Salah satu contoh sukses datang dari pemerintah provinsi yang menerapkan e-procurement terintegrasi. Mereka menerapkan threshold nilai: untuk pengadaan di bawah Rp50 juta, approval hanya melewati tiga level, sedangkan untuk nilai di atas Rp500 juta, memerlukan persetujuan komite pengadaan. Pendekatan ini terbukti memangkas waktu rata-rata pengadaan 30% dibandingkan model tanpa tiered approval, sekaligus menurunkan angka temuan audit sebesar 40%.

Sementara di sektor swasta, perusahaan ritel global X Corp mengadopsi delegation of authority berbasis role-based access control (RBAC). Approval otomatis diberikan jika permintaan memenuhi parameter tertentu-misalnya jenis barang yang sudah terstandardisasi, supplier yang telah tersertifikasi, dan nilai di bawah threshold. Hasilnya, X Corp mampu memotong siklus pengadaan standard items hingga 80% tanpa mengendurkan kontrol. Namun, untuk strategic items-seperti investasi teknologi-mereka tetap mempertahankan approval berlapis penuh guna menjaga kesesuaian dengan roadmap jangka panjang.

Strategi Optimalisasi Approval Berlapis

Untuk menjadikan approval berlapis lebih efisien, organisasi perlu menerapkan beberapa strategi. Pertama, risk-based approval: mengklasifikasikan permintaan berdasarkan risiko finansial, operasional, dan reputasi. Low-risk requests dapat diproses cepat dengan sedikit lapisan, sedangkan high-risk requests dikawal lebih ketat. Kedua, threshold value yang dinamis: menyesuaikan batas nilai approval berdasarkan performance supplier, historical data, dan kondisi pasar terkini. Pendekatan ini menambah fleksibilitas.

Ketiga, continuous monitoring dan feedback loop. Dengan memanfaatkan KPI pengadaan-seperti average approval time dan rejection rate-manajemen dapat mengidentifikasi bottleneck dan memodifikasi SOP secara iteratif. Keempat, clear escalation path: apabila approval terhambat, jalur eskalasi yang terdefinisi memastikan masalah diselesaikan cepat, bukan dibiarkan menunggu dalam antrean. Kelima, pelatihan dan change management: memastikan seluruh stakeholder memahami tujuan dan manfaat approval berlapis, sehingga komitmen untuk mengikuti prosedur tidak sekadar formalitas.

Peran Teknologi dalam Mendukung Approval Berlapis

Digitalisasi pengadaan melalui e-procurement platform menjadi katalisator utama optimalisasi approval berlapis. Fitur workflow automation memungkinkan routing permintaan secara otomatis sesuai rule-based logic. Integrasi dengan ERP (Enterprise Resource Planning) dan BI (Business Intelligence) memberikan akses real-time ke data anggaran, histori pembelian, dan performa supplier. Notifikasi dan reminder otomatis meminimalisir human error dan mempercepat respons.

Lebih jauh, kecerdasan buatan (AI) dan machine learning dapat memprediksi potensi fraud berdasarkan pola transaksi historis, sehingga layer review dapat difokuskan pada high-risk cases. Chatbot dan digital assistant internal membantu pemohon mengisi form dengan benar, mengurangi rejection karena kesalahan administratif. Teknologi blockchain juga menjanjikan jejak audit yang immutable, memperkuat trust di antara pihak internal dan regulator eksternal.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik Terbaik

Berdasarkan tinjauan di atas, beberapa rekomendasi dapat disampaikan. Pertama, tetapkan prinsip proportionality: sesuaikan lapisan approval dengan tingkat risiko dan nilai transaksi. Kedua, adopsi model hybrid: kombinasi automation untuk case standar, serta manual review untuk kasus kompleks. Ketiga, tingkatkan kolaborasi lintas fungsi-keuangan, procurement, teknis, dan compliance-dengan memfasilitasi komunikasi real-time dan integrasi data.

Keempat, lakukan evaluasi berkala atas threshold dan aturan approval, menyesuaikan dengan dinamika pasar dan perubahan regulasi. Kelima, kembangkan program pelatihan berkelanjutan untuk pemangku kepentingan, menanamkan budaya kepatuhan dan continuous improvement. Keenam, gunakan metrics yang tepat-misalnya cycle time, cost savings, dan audit findings-sebagai dasar pengambilan keputusan untuk memperbaiki sistem.

Kesimpulan

Sistem approval berlapis dalam pengadaan sejatinya dirancang sebagai pengaman untuk melindungi organisasi dari risiko finansial, hukum, dan reputasi. Bila diterapkan dengan proporsional, didukung oleh teknologi, serta dilengkapi mekanisme risk-based approval dan continuous improvement, lapisan otorisasi dapat meningkatkan kualitas pengadaan tanpa mengorbankan kecepatan. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan antara kontrol dan agility, serta memastikan setiap layer review memberi nilai tambah nyata.

Di era yang menuntut respon cepat dan transparansi tinggi, organisasi perlu berpandangan fleksibel: approval berlapis bukan musuh efisiensi, melainkan pondasi tata kelola yang kokoh apabila dikelola dengan tepat. Dengan mengadopsi praktik terbaik, memanfaatkan otomasi cerdas, serta melakukan evaluasi berkelanjutan, perusahaan maupun instansi dapat mengubah sistem approval berlapis dari penghambat menjadi pengaman dinamis yang mendukung kesuksesan operasional dan reputasi jangka panjang.