Risiko Penyedia Tunggal dan Solusinya

1. Pendahuluan: Fenomena Penyedia Tunggal dalam Sistem Pengadaan

Dalam sistem pengadaan barang dan jasa, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta, salah satu tantangan yang cukup kompleks adalah keberadaan penyedia tunggal (single source vendor). Istilah ini mengacu pada kondisi ketika dalam suatu proses pengadaan, hanya ada satu pihak yang dapat atau diperbolehkan untuk menyuplai barang atau jasa tertentu. Keadaan ini bisa muncul secara alami karena kondisi pasar yang belum berkembang, atau secara rekayasa karena adanya spesifikasi teknis yang disusun terlalu sempit.

Fenomena penyedia tunggal biasanya muncul pada sektor-sektor strategis, teknologi spesifik, atau di wilayah yang secara geografis terpencil. Misalnya, dalam pengadaan suku cadang pesawat, perangkat lunak sistem informasi tertentu, atau pengadaan material konstruksi di daerah pegunungan terpencil, di mana secara realistis hanya ada satu atau dua penyedia yang benar-benar memiliki kapasitas untuk mengeksekusi proyek.

Meskipun terlihat sebagai solusi praktis dalam kondisi tertentu, penyedia tunggal menimbulkan berbagai kekhawatiran dari sudut pandang tata kelola yang baik (good governance). Ketika tidak ada kompetisi dalam pengadaan, maka mekanisme pembentukan harga, pengendalian kualitas, dan jaminan keberlanjutan operasional menjadi rapuh. Tanpa pesaing yang menawarkan opsi alternatif, posisi penyedia tunggal menjadi sangat dominan, dan ini menciptakan risiko sistemik yang berbahaya.

Lebih jauh lagi, penyedia tunggal dapat menyebabkan kontrak yang berat sebelah, mengikis prinsip transparansi, serta membuka ruang untuk praktik penyimpangan anggaran. Oleh karena itu, diskusi tentang risiko dan solusi dari keberadaan penyedia tunggal menjadi penting untuk menjamin efisiensi belanja, akuntabilitas publik, serta keberlanjutan layanan yang bergantung pada barang dan jasa yang dipasok oleh vendor tersebut.

2. Apa Itu Penyedia Tunggal dan Mengapa Bisa Terjadi?

Penyedia tunggal adalah entitas bisnis atau lembaga yang menjadi satu-satunya sumber yang dapat atau diperbolehkan untuk menyediakan kebutuhan tertentu dalam suatu proses pengadaan. Artinya, ketika suatu proyek dirancang dan diumumkan, hanya satu penyedia yang secara faktual atau legal memenuhi semua syarat yang ditentukan.

Penyedia tunggal bisa muncul karena berbagai alasan, antara lain:

a. Spesifikasi Terlalu Ketat atau Over-Specified

Sering kali, panitia pengadaan tanpa sadar (atau disengaja) membuat dokumen teknis dengan spesifikasi yang sangat spesifik, seperti menyebut merek tertentu tanpa disertai frasa “atau yang setara”. Ini menyebabkan penyedia lain yang sebenarnya mampu, akhirnya tidak bisa masuk karena tidak memiliki produk yang sesuai dengan spesifikasi sempit tersebut.

b. Penguasaan Hak Paten atau Merek

Dalam dunia perangkat lunak atau teknologi informasi, banyak sistem yang bersifat eksklusif dan dilindungi oleh hak kekayaan intelektual. Misalnya, hanya penyedia asli (original software developer) yang dapat melakukan perawatan, modifikasi, atau upgrade sistem tersebut karena kode sumbernya tidak dibuka (proprietary).

c. Lokasi Geografis

Di beberapa wilayah terpencil atau daerah perbatasan, jumlah penyedia sangat terbatas. Bahkan, untuk proyek yang sederhana seperti pembangunan jalan desa, hanya ada satu kontraktor lokal yang memenuhi syarat teknis dan legal, sehingga tidak ada pilihan lain.

d. Struktur Pasar yang Tidak Seimbang

Beberapa sektor industri memang secara alami bersifat monopolistik atau oligopolistik. Sebagai contoh, penyedia obat-obatan tertentu yang hanya diproduksi oleh satu pabrik farmasi, atau mesin industri berat yang hanya dibuat oleh satu produsen dunia. Dalam kasus ini, penyedia tunggal muncul bukan karena disengaja, tetapi karena memang belum ada alternatif yang setara di pasar.

Meskipun regulasi di Indonesia memperbolehkan penunjukan langsung kepada penyedia tunggal dengan syarat dan pembenaran yang ketat (misalnya dalam Perpres No. 12 Tahun 2021), tetap saja pelaksanaannya harus tunduk pada prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas. Tanpa itu, proses pengadaan berisiko dimanipulasi untuk menguntungkan pihak tertentu.

3. Risiko Utama dari Ketergantungan terhadap Penyedia Tunggal

Memilih penyedia tunggal—apalagi tanpa kontrol yang ketat—ibarat menaruh semua telur dalam satu keranjang. Ketika keranjang itu rusak, semua telur pecah. Ketergantungan tinggi terhadap satu penyedia mengandung banyak risiko yang dapat merugikan baik dari sisi biaya, kualitas, maupun kesinambungan layanan. Berikut adalah beberapa risiko utamanya:

3.1. Harga Tidak Kompetitif

Tanpa persaingan, tidak ada mekanisme alami yang bisa menurunkan harga. Penyedia tunggal bisa menetapkan harga lebih tinggi dari harga pasar karena mereka tahu bahwa tidak ada pesaing yang bisa memberikan alternatif. Dalam banyak kasus, pembeli berada dalam posisi lemah dan tidak memiliki daya tawar untuk menegosiasikan harga yang lebih adil. Ini tentu bertentangan dengan prinsip pengadaan yang mengutamakan value for money.

Situasi ini diperparah jika tidak ada standar harga acuan atau benchmarking pasar yang dilakukan oleh panitia pengadaan. Tanpa referensi harga yang kredibel, pengambilan keputusan menjadi spekulatif dan rawan inefisiensi anggaran.

3.2. Kualitas Sulit Diverifikasi

Biasanya, kualitas barang dan jasa dapat dibandingkan antar penyedia untuk menentukan mana yang paling baik. Namun, jika hanya satu penyedia yang tersedia, maka tidak ada standar pembanding. Ini membuat panitia sulit menilai apakah kualitas barang/jasa yang diberikan benar-benar optimal. Bahkan, penyedia bisa saja memberikan barang dengan spesifikasi di bawah standar tanpa risiko kehilangan kontrak.

Ketiadaan opsi kompetitor juga mempersulit panitia dalam mendorong peningkatan layanan, inovasi, atau nilai tambah lainnya karena penyedia merasa aman dari persaingan.

3.3. Ketergantungan Teknologi (Vendor Lock-In)

Salah satu risiko jangka panjang dari penyedia tunggal adalah vendor lock-in, di mana organisasi pembeli menjadi sangat tergantung pada teknologi, sistem, atau perangkat yang hanya bisa dioperasikan oleh penyedia tersebut. Contohnya: sistem informasi yang dibangun secara tertutup dan tidak dapat diakses atau diubah oleh pihak lain selain penyedia asli.

Dalam kondisi seperti ini, pembeli tidak memiliki keleluasaan untuk berpindah ke vendor lain tanpa kehilangan data, kompatibilitas, atau kestabilan sistem. Biaya migrasi menjadi sangat tinggi, dan kadang lebih besar daripada membuat sistem baru dari awal.

3.4. Kegagalan Operasional Jika Penyedia Bermasalah

Ketika hanya satu penyedia yang menguasai layanan, gangguan pada penyedia tersebut akan langsung berdampak pada kelangsungan proyek. Jika penyedia bangkrut, terkena sanksi hukum, atau mengalami gangguan logistik, maka tidak ada cadangan atau alternatif yang siap menggantikan.

Akibatnya, proyek bisa tertunda atau bahkan gagal total. Situasi ini sangat berisiko, terutama pada pengadaan barang/jasa yang menyangkut pelayanan publik vital seperti air bersih, listrik, layanan kesehatan, atau sistem informasi kependudukan.

3.5. Meningkatnya Risiko Korupsi dan Rekayasa

Ketiadaan kompetitor menciptakan ekosistem yang kurang transparan. Panitia dan penyedia bisa berkolusi untuk menetapkan harga, kualitas, dan jadwal tanpa pengawasan publik yang memadai. Dalam banyak studi kasus, penyedia tunggal dijadikan kedok untuk menyembunyikan rekayasa tender yang disengaja—misalnya dengan membuat spesifikasi teknis yang sudah disesuaikan hanya untuk vendor tertentu.

Lebih jauh, penunjukan langsung yang tidak disertai dengan dokumentasi lengkap dan justifikasi yang logis, rawan dipermasalahkan oleh auditor, aparat penegak hukum, atau media. Dalam jangka panjang, praktik seperti ini merusak kredibilitas institusi pengadaan dan menurunkan kepercayaan publik..

4. Solusi Struktural dan Kebijakan

Menghadapi risiko penyedia tunggal tidak cukup hanya dengan intervensi teknis semata. Dibutuhkan langkah-langkah struktural dan kebijakan yang lebih luas dan menyeluruh. Hal ini mencakup pembenahan sistem pengadaan secara makro, peningkatan kapasitas pasar lokal, serta reformulasi cara lembaga merancang kebutuhan pengadaan. Berikut adalah berbagai solusi kebijakan dan struktural yang dapat diterapkan:

4.1. Diversifikasi Penyedia Melalui Intervensi Pasar

Salah satu penyebab utama munculnya penyedia tunggal adalah kurangnya jumlah pelaku usaha yang mampu dan berminat mengikuti proses pengadaan. Untuk itu, pemerintah perlu aktif mendorong diversifikasi penyedia melalui program pelatihan, pendampingan legalitas usaha, serta fasilitasi akses terhadap pasar pengadaan.

Langkah konkret yang bisa diambil antara lain:

  • Pelatihan teknis dan manajerial bagi UMK lokal agar mampu memenuhi syarat sebagai penyedia pemerintah.
  • Pendirian vendor development center di daerah untuk meningkatkan kapasitas pelaku usaha.
  • Penyederhanaan prosedur pendaftaran penyedia pada sistem e‑procurement (SPSE).
  • Penyediaan insentif bagi penyedia pemula (new entry vendor) seperti pengurangan biaya jaminan.

Diversifikasi ini tidak hanya memperluas basis penyedia tetapi juga meningkatkan ketahanan sistem pengadaan terhadap guncangan akibat dominasi satu vendor.

4.2. Perancangan Spesifikasi yang Inklusif dan Adaptif

Panitia pengadaan harus menghindari penyusunan spesifikasi teknis yang secara tidak langsung “mengunci” kompetisi hanya pada satu penyedia. Desain spesifikasi seharusnya bersifat function-based, yaitu berdasarkan kebutuhan fungsional barang atau jasa, bukan berbasis merek atau model tertentu kecuali memang tidak ada substitusi yang layak.

Langkah-langkah untuk menjamin spesifikasi terbuka:

  • Menyertakan frasa “atau yang setara” dalam setiap penyebutan merek atau tipe.
  • Menyusun matriks komparatif terhadap produk-produk lain di pasar sebelum menetapkan spesifikasi.
  • Melibatkan tenaga ahli independen dalam proses penyusunan KAK/TOR.

Dengan pendekatan ini, penyedia lain yang sebenarnya mampu namun memiliki merek berbeda, tetap dapat berpartisipasi dalam tender secara sah dan adil.

4.3. Kajian Pasar (Market Sounding) Sebelum Tender

Sebelum melakukan tender atau penunjukan langsung, panitia sangat dianjurkan untuk melakukan market sounding atau kajian pasar guna memahami struktur penyedia yang tersedia. Kegiatan ini penting untuk:

  • Mengetahui jumlah penyedia potensial yang aktif di sektor terkait.
  • Mengidentifikasi hambatan partisipasi yang dialami oleh penyedia lain.
  • Memastikan bahwa keputusan menunjuk satu penyedia benar-benar didasarkan pada kondisi pasar, bukan asumsi panitia.

Market sounding bisa dilakukan melalui forum dialog, survei pasar, atau workshop dengan asosiasi industri dan penyedia lokal.

4.4. Optimalisasi e-Katalog sebagai Instrumen Transparansi

Salah satu inovasi terbesar dalam sistem pengadaan nasional adalah e‑Katalog LKPP. Platform ini memungkinkan pembandingan harga dan spesifikasi produk secara langsung antar penyedia. Dalam konteks penyedia tunggal, penggunaan e‑Katalog dapat mengurangi dominasi pasar dengan memperlihatkan bahwa tersedia banyak produk serupa dari penyedia berbeda.

Manfaat e‑Katalog antara lain:

  • Memudahkan pembeli membandingkan harga dan kualitas.
  • Memberikan ruang bagi UMK dan produsen lokal untuk masuk pasar nasional.
  • Mempercepat proses pengadaan karena tidak perlu lelang konvensional.

Namun, e‑Katalog hanya efektif jika datanya diperbarui secara berkala, penyedia dilatih untuk memanfaatkannya, dan sistem ini terintegrasi dengan SPSE serta platform monitoring kinerja vendor.

4.5. Penerapan Vendor Management System (VMS)

Penguatan manajemen penyedia melalui sistem VMS membantu organisasi mengelola relasi jangka panjang dengan penyedia. VMS mencatat seluruh riwayat kinerja penyedia, termasuk aspek teknis, administratif, keuangan, dan perilaku bisnis.

Melalui sistem ini, panitia dapat:

  • Menilai reputasi penyedia sebelum menetapkan kontrak.
  • Mengidentifikasi penyedia yang terlalu dominan atau rawan konflik kepentingan.
  • Menganalisis risiko berlanjutnya hubungan kontraktual dengan penyedia tunggal yang lemah dari sisi kapasitas.

VMS juga dapat dilengkapi dengan fitur rating dari pengguna akhir, sehingga pengambilan keputusan pengadaan menjadi lebih berbasis data, bukan sekadar pertimbangan administratif.

5. Solusi Operasional Jika Penyedia Tunggal Tidak Terelakkan

Dalam kenyataannya, ada kondisi objektif di mana hanya tersedia satu penyedia yang benar-benar memenuhi syarat teknis dan legal. Misalnya di daerah terpencil, untuk produk dengan paten tertentu, atau dalam pengadaan darurat. Dalam situasi seperti itu, panitia tidak serta merta melanggar prinsip persaingan, asalkan penerapan penyedia tunggal tetap dilakukan dengan prinsip akuntabilitas dan mitigasi risiko.

5.1. Penetapan Harga Acuan yang Rasional

Untuk menghindari pemborosan anggaran, panitia harus menetapkan batas atas harga berdasarkan:

  • Harga referensi nasional (misalnya BPS atau e-Katalog LKPP).
  • Data pembanding dari kontrak serupa sebelumnya.
  • Konsultasi pakar atau asosiasi industri untuk memastikan kewajaran biaya.

Harga penyedia harus dibandingkan dengan acuan tersebut, dan jika terlalu tinggi tanpa justifikasi teknis, maka proses perlu dikaji ulang atau bahkan dibatalkan.

5.2. Verifikasi Lapangan Terhadap Kelayakan Penyedia

Karena hanya ada satu penyedia, proses seleksi harus lebih ketat dan tidak hanya bergantung pada dokumen administratif. Panitia bisa membentuk tim verifikasi untuk:

  • Meninjau lokasi produksi.
  • Memeriksa kapasitas SDM dan alat kerja.
  • Menganalisis rekam jejak pelaksanaan proyek serupa.

Hasil verifikasi ini menjadi syarat wajib untuk memutuskan apakah penyedia layak mendapatkan kontrak atau perlu dicarikan alternatif lain.

5.3. Sistem Kontrak Bertahap dan Evaluatif

Kontrak tunggal bisa menjadi sangat berisiko jika tidak disusun secara bertahap. Oleh karena itu, penggunaan kontrak termin dengan indikator kinerja jelas (milestone) dapat menjadi solusi cerdas.

Beberapa langkah mitigasi:

  • Pembayaran dilakukan secara berkala sesuai progres.
  • Evaluasi kinerja dilakukan pada setiap tahap sebelum berlanjut ke tahap berikutnya.
  • Jika performa buruk, kontrak dapat dihentikan tanpa konsekuensi hukum besar.

Pendekatan ini menyeimbangkan antara kebutuhan kelancaran operasional dan kehati-hatian dalam penggunaan dana publik.

5.4. Pelibatan Auditor Eksternal dan APIP

Untuk memastikan semua prosedur berjalan transparan, panitia disarankan melibatkan:

  • APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) untuk audit preventif.
  • Akuntan publik atau auditor teknis independen dalam pengadaan besar.

Kehadiran pihak ketiga ini akan memperkuat legitimasi proses, membantu dokumentasi, serta memberikan pertimbangan obyektif jika ada sanggahan atau keberatan dari pihak luar.

6. Studi Kasus dan Pembelajaran

6.1. Kasus Vendor Software Pemerintah Daerah

Banyak pemerintah daerah mengalami hambatan dalam melakukan perbaikan sistem informasi karena terkunci oleh vendor awal. Salah satu contoh umum adalah aplikasi pelayanan perizinan yang dibangun oleh satu penyedia tanpa penyerahan source code. Akibatnya:

  • Proses perbaikan memerlukan biaya mahal.
  • Migrasi sistem tidak memungkinkan tanpa kehilangan data.
  • Lembaga menjadi “tergantung secara teknologi.”

Solusinya adalah dengan mendorong penggunaan open-source atau minimal mewajibkan penyerahan seluruh dokumentasi teknis dan hak pakai kode sumber kepada pengguna sejak awal kontrak. LKPP saat ini mendorong perjanjian semacam ini sebagai standar dalam pengadaan TIK.

6.2. Pengadaan Alat Medis di Masa Pandemi COVID-19

Pada awal pandemi, terjadi lonjakan kebutuhan alat kesehatan seperti ventilator dan APD. Karena hanya sedikit produsen global, banyak pemerintah daerah menghadapi kondisi penyedia tunggal. Penunjukan langsung menjadi satu-satunya opsi untuk mempercepat penanganan.

Namun, proses tersebut dikawal dengan prinsip kehati-hatian melalui:

  • Laporan justifikasi tertulis tentang ketiadaan penyedia alternatif.
  • Audit pasca-pelaksanaan oleh BPKP dan Inspektorat Daerah.
  • Dokumentasi transparan di website instansi.

Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa kondisi darurat sekalipun tidak boleh mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Justru dalam situasi krisis, kualitas tata kelola harus ditingkatkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

7. Reformasi Sistemik Jangka Panjang

Mengatasi risiko penyedia tunggal secara berkelanjutan tidak cukup hanya dengan solusi operasional dan kebijakan sesaat. Diperlukan reformasi sistemik yang bersifat jangka panjang, menyentuh fondasi desain sistem pengadaan nasional. Reformasi ini tidak hanya berfokus pada proses tender, tetapi juga pada struktur pasar, manajemen informasi, dan pembangunan kapasitas pelaku usaha. Berikut ini adalah sejumlah inisiatif yang dapat memperkuat ekosistem pengadaan menuju lebih sehat, terbuka, dan kompetitif:

7.1. Pembukaan Data Pengadaan Secara Terbuka (Open Contracting)

Penerapan prinsip open contracting memungkinkan masyarakat, media, akademisi, dan lembaga pengawas untuk memantau proses pengadaan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporan. Transparansi penuh atas data penyedia, nilai kontrak, kriteria evaluasi, dan hasil pemilihan akan menciptakan tekanan sosial dan politik terhadap praktik monopoli terselubung.

Manfaat pembukaan data pengadaan antara lain:

  • Menekan praktik rekayasa spesifikasi yang mengarah ke penyedia tunggal.
  • Memberikan ruang bagi penyedia baru untuk menganalisis peluang dan menyiapkan diri.
  • Menyediakan early warning system bagi auditor dan pengawas eksternal jika ditemukan anomali.

Platform seperti Open Contracting Data Standard (OCDS) yang telah diadopsi di banyak negara dapat menjadi acuan implementasi di Indonesia.

7.2. Integrasi Database Penyedia Lintas Sektor

Salah satu kendala dalam mendorong persaingan sehat adalah keterbatasan data lintas sektor. Banyak UKPBJ tidak memiliki akses ke informasi penyedia di sektor lain (misalnya, data sertifikasi alat kesehatan, rekam jejak kontraktor konstruksi, atau status kepemilikan teknologi perangkat lunak).

Maka dibutuhkan sistem yang mengintegrasikan:

  • Database penyedia sektoral (kesehatan, konstruksi, digital, pertanian, dsb.)
  • Data perizinan usaha dari OSS dan Kementerian terkait
  • Data reputasi dan blacklist dari LKPP, BPKP, dan Kemenkeu

Integrasi ini memungkinkan panitia melihat profil penyedia secara holistik dan menghindari penilaian yang hanya berdasarkan dokumen lelang saat ini.

7.3. Digitalisasi Spesifikasi dan Penilaian Pasokan Berbasis AI

Pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat membantu mengurangi dominasi penyedia tunggal dengan menyusun spesifikasi teknis otomatis yang inklusif, berdasarkan data ribuan pengadaan sebelumnya.

Dengan AI dan machine learning, sistem pengadaan bisa:

  • Menyusun draft spesifikasi yang lebih terbuka (berbasis kinerja dan bukan merek).
  • Memberikan rekomendasi produk substitusi yang setara dari penyedia berbeda.
  • Mendeteksi pola-pola spesifikasi yang berulang dan berisiko mengarah ke vendor tertentu.

Implementasi teknologi ini memang memerlukan investasi awal dan peningkatan kapasitas SDM, tetapi dalam jangka panjang akan meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pengadaan.

7.4. Pembentukan Unit Riset Pasar di UKPBJ

Selama ini, UKPBJ lebih banyak berperan sebagai pelaksana teknis administrasi pengadaan. Padahal, pengadaan yang berkualitas memerlukan dukungan intelijen pasar yang andal. Maka, dibutuhkan unit khusus dalam UKPBJ yang berfungsi sebagai:

  • Divisi riset pasar dan vendor profiling.
  • Tim penyusun harga referensi dan benchmark industri.
  • Tim pengawas tren kompetisi pasar, termasuk mendeteksi potensi oligopoli atau penyedia dominan.

Unit ini akan menjadi tulang punggung dalam pencegahan dominasi penyedia tunggal berbasis data dan analisis mendalam.

7.5. Dukungan Finansial bagi Penyedia Kecil dan Startup

Dalam banyak kasus, penyedia kecil atau startup memiliki kapasitas teknis dan inovasi yang baik, tetapi gagal berpartisipasi karena terbatasnya akses ke pembiayaan, jaminan bank, atau dokumen legal. Maka reformasi jangka panjang perlu mencakup:

  • Skema jaminan pembiayaan pengadaan (guarantee fund) khusus UMK.
  • Insentif perpajakan atau pengurangan biaya jaminan untuk penyedia pemula.
  • Kredit lunak atau modal kerja bergulir melalui BUMN pembiayaan, seperti PT PII atau Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.

Dengan mendukung keberadaan penyedia alternatif, maka pasar akan lebih dinamis dan risiko ketergantungan dapat ditekan.

8. Kesimpulan: Menyeimbangkan Kebutuhan Praktis dan Prinsip Tata Kelola

Fenomena penyedia tunggal adalah tantangan nyata dalam sistem pengadaan yang tidak selalu dapat dihindari, namun bisa dan harus dikelola secara cermat. Dalam kondisi tertentu, menunjuk satu penyedia memang menjadi solusi yang paling efisien dan cepat. Namun jika tidak disertai kontrol yang ketat, risiko yang ditimbulkan—dari pemborosan anggaran hingga penurunan kualitas layanan—bisa berdampak sistemik.

Di sisi lain, reformasi sistemik juga penting untuk membangun ekosistem pengadaan yang adil dan resilien, dengan membentuk unit riset pasar, membuka akses pembiayaan, dan mengembangkan database lintas sektor yang terintegrasi.

Singkatnya, keberadaan penyedia tunggal tidak boleh menjadi normalitas yang dibiarkan berulang. Ia harus dipandang sebagai sinyal adanya ketimpangan pasar atau kelemahan desain sistem pengadaan. Dengan komitmen untuk menjaga prinsip efisiensi, transparansi, dan inklusivitas, maka risiko penyedia tunggal tidak hanya dapat diminimalkan, tetapi juga diubah menjadi peluang perbaikan menyeluruh bagi tata kelola pengadaan barang dan jasa di Indonesia.