Pendahuluan: Ketika Fungsi Pengadaan Masih Dianggap Sampingan
Di banyak organisasi, baik sektor publik maupun swasta, fungsi procurement atau pengadaan barang dan jasa masih sering kali diposisikan sebagai unit administratif atau pendukung semata. Perannya dianggap terbatas pada pengurusan dokumen, pelelangan, dan distribusi kontrak. Ini menyebabkan unit procurement hanya dijadikan “alat pelengkap” dari proses besar dalam organisasi-sebuah unit yang bekerja di balik layar, bukan di meja pengambil keputusan strategis. Padahal, jika kita menilik praktik terbaik internasional dan urgensi efisiensi anggaran serta inovasi dalam layanan, procurement seharusnya menjadi tulang punggung strategis yang mampu memberikan nilai tambah jangka panjang bagi organisasi.
Artikel ini membedah secara mendalam mengapa hingga saat ini procurement masih diposisikan sebagai unit pendukung, bukan strategis, serta apa saja implikasi dan langkah yang diperlukan untuk mengubah posisi tersebut.
1. Sejarah dan Tradisi Birokrasi: Warisan Administratif yang Terus Hidup
Akar masalah utama yang membuat procurement sulit dipandang sebagai fungsi strategis berakar dalam tradisi birokrasi yang telah terbangun sejak era administratif kolonial dan reformasi pasca-kemerdekaan. Pada masa kolonial, proses pembelian barang untuk kebutuhan pemerintahan bersifat mekanis: prosedur diprioritaskan di atas nilai strategis, dan arahan bersifat top-down. Setiap permintaan barang atau jasa harus melewati rantai komando yang panjang, dari pejabat paling rendah hingga otoritas pusat, sebelum mendapatkan persetujuan penerbitan anggaran. Rantai prosedural ini diwariskan ke lembaga-lembaga publik modern, di mana keharusan mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) menjadi tolak ukur keberhasilan fungsi procurement.
Dalam konteks administrasi pasca-kemerdekaan, birokrasi di Indonesia semakin mengokohkan corak prosedural tersebut. Modul-modul pelatihan ASN menekankan pentingnya kepatuhan terhadap Peraturan Menteri Keuangan dan Perpres terkait pengadaan. Fokus utama adalah meminimalisasi risiko pelanggaran hukum dan korupsi, sehingga procurement berfungsi sebagai pengawal ketaatan administratif. Akibatnya, procurement menjadi semacam “guardian” dokumen-memastikan setiap form, tanda tangan, dan lampiran lengkap sebelum proses pembelian berjalan. Model ini meminggirkan aspek nilai tambah, seperti negosiasi yang inovatif atau kolaborasi awal dalam merancang solusi bersama unit pengguna. Birokrasi yang kuat juga menciptakan budaya aversi risiko: procurement dipandang sebagai gerbang penjaga yang mencegah potensi pelanggaran.
Kendati niatnya baik, mindset ini sering menghalangi discusi terbuka dengan unit-unit bisnis dan pemangku kepentingan lain. Alih-alih menjadi partner dalam menemukan solusi, procurement dipersepsikan sebagai penghambat karena keharusan memeriksa setiap detail administratif. Ibarat “aman, tapi lamban”, proses pengadaan yang berfokus pada kepatuhan bisa mengorbankan kecepatan eksekusi dan mengurangi fleksibilitas organisasi dalam menghadapi dinamika pasar. Selain itu, tradisi birokrasi ini memperkuat segmentasi tugas yang kaku di dalam organisasi. Procurement diikat pada job description yang sempit: input permintaan dikonversi menjadi purchase order, tanpa ruang untuk mempengaruhi pilihan strategis atau memberikan insight pasar. Proses segregasi ini memecah alur informasi, sehingga pengetahuan kritis tentang kebutuhan jangka panjang pengguna tidak pernah sampai ke fungsi procurement.
Akibatnya, peluang untuk menggabungkan perencanaan materi, teknologi baru, dan inovasi desain malah muncul terlambat setelah keputusan anggaran dibuat. Padahal, jika tradisi administratif ini dapat diubah, procurement berpotensi bertransformasi menjadi agen perubahan (change agent) yang tidak hanya memproses transaksi, tetapi juga berperan dalam merumuskan kebijakan pengadaan, merancang model bisnis yang efisien, dan menjalin kemitraan kolaboratif. Pengabaian aspek strategis hanya karena warisan birokrasi lama merupakan sebuah kerugian yang sulit dikompensasi oleh efisiensi prosedural semata.
2. Ketidakterlibatan Procurement dalam Perencanaan Strategis Organisasi
Salah satu indikator utama bahwa procurement belum menjadi unit strategis adalah ketidakterlibatannya dalam forum-forum perencanaan strategis organisasi. Dalam banyak kasus, procurement baru dilibatkan ketika rencana kerja dan anggaran (RKA) telah ditetapkan oleh bagian perencanaan dan pengguna barang/jasa. Procurement hanya bertugas menjalankan proses lelang dan memastikan kepatuhan pada regulasi. Padahal, pada tahap perencanaan inilah seharusnya procurement memberikan kontribusi penting dalam menentukan metode pengadaan yang paling efisien, risiko pasar, kesiapan vendor, dan spesifikasi yang realistis terhadap kondisi pasar.
Akibat keterlambatan pelibatan ini, sering terjadi kasus spesifikasi barang yang tidak sesuai pasar, harga perkiraan yang tidak realistis, atau kebutuhan anggaran yang tidak sebanding dengan harga pasar sebenarnya. Semua ini bisa diminimalkan jika procurement dilibatkan sejak awal.
3. Struktur Organisasi yang Tidak Memberi Ruang Strategis
Dalam struktur organisasi banyak instansi, posisi procurement masih berada di bawah unit layanan umum, sekretariat, atau administrasi. Ini mencerminkan cara pandang bahwa pengadaan adalah fungsi teknis, bukan strategis. Bahkan dalam beberapa lembaga, Kepala Unit Pengadaan tidak memiliki jabatan struktural yang setara dengan kepala bidang lain yang berorientasi pada hasil dan kinerja utama organisasi.
Konsekuensinya, procurement tidak punya ruang untuk menyampaikan pandangan strategis secara langsung kepada pimpinan. Usulan inovatif dari unit pengadaan pun sering kali tertahan pada level koordinasi antarbidang. Struktur yang tidak sejajar ini menciptakan kesenjangan dalam pengaruh dan peran, sekaligus menutup peluang procurement untuk berkembang sebagai mitra strategis dalam pengambilan keputusan organisasi.
4. Fokus pada Kepatuhan, Bukan Nilai Tambah
Saat ini, mayoritas kegiatan procurement masih fokus pada aspek kepatuhan terhadap regulasi: apakah prosesnya sudah sesuai Perpres, apakah sudah dilakukan tender terbuka, apakah sudah sesuai dengan dokumen RUP, dan lain sebagainya. Sementara itu, aspek-aspek seperti nilai tambah, efisiensi biaya, kualitas penyedia, inovasi pengadaan, dan analisis pasar cenderung tidak mendapatkan perhatian utama.
Kepatuhan memang penting, tetapi jika dijadikan satu-satunya indikator kinerja procurement, maka organisasi kehilangan peluang untuk meningkatkan nilai belanja. Procurement seharusnya tidak hanya bertanya: “Apakah ini sudah sesuai aturan?” tetapi juga: “Apakah ini memberikan manfaat maksimal bagi organisasi?” Tanpa pergeseran perspektif ini, procurement akan terus berada dalam ranah administratif yang sempit.
5. Kurangnya Data dan Analisis Strategis dalam Fungsi Pengadaan
Procurement yang strategis memerlukan dukungan data yang kuat. Namun, dalam banyak instansi, unit pengadaan tidak memiliki sistem informasi yang memadai untuk menganalisis pola belanja, menilai kinerja penyedia, atau memetakan tren pasar. Akibatnya, procurement berjalan berdasarkan kebiasaan, bukan berdasarkan informasi yang berbasis data.
Tanpa data, pengambilan keputusan menjadi reaktif, bukan proaktif. Procurement hanya merespons kebutuhan saat ini, tanpa memperkirakan tren masa depan atau merancang strategi jangka panjang. Padahal, melalui analisis belanja (spend analysis), risk management, dan vendor performance evaluation, unit pengadaan dapat memberikan insight strategis kepada pimpinan organisasi. Ketika peran analitis ini tidak dijalankan, procurement kehilangan posisi tawarnya.
6. Keterbatasan Kapasitas SDM dan Profesionalisme
Aspek sumber daya manusia menjadi penghambat klasik lain dalam transformasi procurement menjadi unit strategis. Banyak unit pengadaan masih diisi oleh pegawai dengan latar belakang administratif, bukan profesional pengadaan yang memiliki kompetensi dalam perencanaan, strategi pengadaan, manajemen risiko, dan analisis pasar.
Ketiadaan sertifikasi, kurangnya pelatihan lanjutan, dan rotasi pegawai yang terlalu cepat membuat pengetahuan procurement bersifat dangkal dan operasional semata. Untuk menjadi unit strategis, procurement harus diisi oleh SDM dengan pemahaman menyeluruh tentang pasar, manajemen kontrak, negosiasi, hingga pengembangan supplier. Tanpa penguatan kapasitas ini, sulit bagi unit pengadaan untuk keluar dari jebakan fungsi administratif.
7. Minimnya Integrasi Teknologi dan Inovasi Digital
Digitalisasi procurement di Indonesia sudah dimulai dengan adanya e-procurement melalui LPSE. Namun, sebagian besar masih bersifat mekanistik, belum strategis. Sistem hanya menggantikan proses manual ke digital, tanpa menambahkan kecerdasan analitik, automasi penilaian kinerja penyedia, atau integrasi dengan sistem perencanaan dan keuangan.
Pengadaan yang strategis membutuhkan integrasi sistem mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi. Artificial Intelligence (AI), blockchain, dan big data dapat digunakan untuk mendeteksi risiko korupsi, menilai kredibilitas penyedia, dan memperkirakan efisiensi harga pasar. Tanpa adopsi teknologi secara komprehensif, procurement tetap tertinggal dari fungsi-fungsi lain yang sudah lebih dahulu bertransformasi digital.
8. Rendahnya Kepercayaan terhadap Fungsi Procurement
Stigma terhadap unit pengadaan sebagai sarang korupsi atau tempat lobi vendor masih melekat di banyak instansi. Hal ini menciptakan lingkungan kerja yang defensif, di mana petugas pengadaan lebih fokus menghindari kesalahan daripada menciptakan nilai. Dalam kondisi ini, procurement menjadi pasif dan cenderung enggan mengambil risiko.
Padahal, untuk menjadi unit strategis, procurement harus berani menawarkan model pengadaan baru, menjalin kemitraan dengan penyedia terpercaya, dan merancang strategi sourcing yang lebih adaptif. Jika procurement terus dibelenggu ketakutan reputasi, maka inisiatif-inisiatif strategis akan mati sebelum tumbuh.
9. Kurangnya Dukungan dari Pimpinan Organisasi
Transformasi fungsi procurement menjadi strategis tidak akan terjadi tanpa dukungan eksplisit dari pimpinan organisasi. Sayangnya, banyak pimpinan masih menganggap procurement sebagai bagian dari urusan internal yang teknis dan tidak perlu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan besar. Hasilnya, procurement menjadi unit yang pasif dan terasing dari proses manajerial utama.
Sebaliknya, organisasi-organisasi yang berhasil menjadikan procurement sebagai fungsi strategis justru menjadikan kepala pengadaan sebagai bagian dari tim eksekutif, bahkan diundang dalam rapat kebijakan dan evaluasi kinerja. Perubahan ini hanya akan terjadi jika pimpinan memiliki visi bahwa pengadaan bukan hanya alat membeli barang, tapi kunci menciptakan nilai dan efisiensi organisasi.
10. Jalan ke Depan: Menjadikan Procurement sebagai Mitra Strategis
Untuk menjadikan procurement sebagai unit strategis, sejumlah langkah konkret perlu dilakukan:
- Reformulasi peran pengadaan dalam struktur organisasi agar sejajar dengan fungsi perencanaan dan keuangan.
- Pelibatan procurement sejak tahap perencanaan program agar bisa mengusulkan strategi sourcing, efisiensi anggaran, dan mitigasi risiko pasar.
- Penguatan kapasitas SDM procurement melalui sertifikasi, pelatihan lanjutan, dan pemagangan ke unit pengadaan strategis di sektor lain.
- Penerapan sistem informasi terintegrasi yang tidak hanya mengelola tender, tetapi juga menganalisis belanja, vendor, dan risiko.
- Membangun budaya kerja kolaboratif antara pengadaan dan pengguna barang/jasa, bukan sebagai hubungan semata-mata administratif.
- Dukungan penuh dari pimpinan organisasi untuk memberi ruang bagi inovasi dan kepercayaan kepada unit procurement.
Dengan langkah-langkah tersebut, procurement tidak lagi sekadar menjalankan prosedur, tapi mampu menciptakan nilai strategis-mulai dari efisiensi biaya, peningkatan kualitas layanan, hingga percepatan pencapaian target organisasi.
Kesimpulan: Dari Fungsi Pendukung ke Pilar Strategis
Kenyataan bahwa procurement masih diposisikan sebagai unit pendukung bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan. Ini adalah hasil dari sejarah, struktur, budaya organisasi, serta keterbatasan sumber daya yang bisa diubah dengan visi dan kepemimpinan yang progresif. Dalam dunia yang semakin menuntut efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas, procurement seharusnya menjadi pilar utama dalam mewujudkan organisasi yang cerdas, adaptif, dan berdaya saing.
Procurement bukan sekadar membeli. Ia adalah fungsi strategis yang, jika dimanfaatkan dengan tepat, dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Saatnya memindahkan procurement dari ruang belakang ke ruang rapat utama. Dari eksekutor ke co-creator strategi organisasi.