Pengalaman atau Sertifikasi: Mana Lebih Penting?

Pendahuluan

Dalam dunia pengadaan barang dan jasa pemerintah maupun swasta, kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu penentu keberhasilan. Tidak cukup hanya dengan sistem yang tertata rapi atau regulasi yang mutakhir, kualitas orang-orang yang terlibat dalam proses pengadaan sangat menentukan kelancaran, efisiensi, hingga akuntabilitas pengelolaan anggaran. Dalam konteks ini, muncul satu perdebatan klasik yang tak pernah usang: antara pengalaman dan sertifikasi, mana yang lebih penting?

Perdebatan ini merentang panjang, tidak hanya di tataran pejabat pengadaan, namun juga dalam proses rekrutmen, seleksi penyedia, hingga pelatihan internal instansi. Sertifikasi sering dianggap sebagai bukti formal atas kompetensi seseorang, sementara pengalaman dianggap sebagai bukti praktis kemampuan menghadapi kenyataan di lapangan. Artikel ini akan menggali secara mendalam nilai dari keduanya, mempertimbangkan konteks, serta mencoba memberikan sintesis agar pelaku pengadaan tidak terjebak dalam dikotomi yang membatasi.

Pengertian Sertifikasi dalam Pengadaan

Sertifikasi dalam dunia pengadaan merujuk pada proses formal yang dilakukan lembaga berwenang-seperti LKPP untuk pengadaan pemerintah-yang menyatakan bahwa seseorang memiliki kompetensi dasar tertentu. Sertifikasi ini biasanya diperoleh melalui pelatihan, ujian, atau kombinasi keduanya. Di Indonesia, contoh sertifikasi paling dikenal adalah Sertifikat Kompetensi Dasar Pengadaan Barang/Jasa yang menjadi prasyarat bagi pejabat pengadaan.

Sertifikasi memiliki nilai administratif dan simbolis. Secara administratif, seseorang tidak dapat bertugas sebagai pejabat pengadaan tanpa sertifikat. Secara simbolis, sertifikasi menunjukkan bahwa individu tersebut telah melalui proses pendidikan formal yang mengajarkan prinsip-prinsip dasar pengadaan yang bersih, adil, dan efisien.

Namun demikian, pertanyaannya adalah: apakah sertifikasi ini cukup? Apakah lulus ujian sertifikasi berarti seseorang siap menangani proyek-proyek bernilai miliaran rupiah dengan kompleksitas tinggi?

Nilai Praktis dari Pengalaman Lapangan

Pengalaman lapangan adalah guru terbaik dalam dunia pengadaan. Seorang pegawai yang telah melewati berbagai siklus proyek-mulai dari perencanaan awal hingga serah terima akhir-membawa serta “jam terbang” yang sulit disaingi oleh teori semata. Berikut ini beberapa aspek praktis yang menegaskan betapa krusialnya pengalaman dalam konteks pengadaan:

  1. Pengenalan Pola dan Tren Memo Tender
    Berpengalaman di lapangan membuat seseorang mampu mengenali pola-pola umum dalam dokumen tender. Misalnya, mereka dapat membaca skrinsut RKS (Rencana Kerja dan Syarat) dan langsung mendeteksi frasa-frasa yang rawan multitafsir, ataupun klausul yang biasanya menjadi pintu masuk bagi penyedia nakal. Kepekaan ini terbentuk karena terbiasa mengoreksi dokumen yang berulang kali bermasalah, sehingga mampu mencegah revisi berulang dan percepatan pelaksanaan proyek.
  2. Manajemen Risiko Dinamis
    Teori pengelolaan risiko mengajarkan langkah-langkah identifikasi, analisis, dan mitigasi. Namun, di lapangan, risiko dapat muncul secara tiba-tiba-misalnya perubahan harga material yang drastis, atau kekurangan pasokan di supplier lokal. Pegawai berpengalaman tahu persis ke siapa mereka harus berkoordinasi (misalnya, logistik, unit keuangan, atau APIP), dan memiliki daftar “plan B” yang siap dijalankan, sehingga tidak terpaku pada gambaran mitigasi risiko yang kaku.
  3. Negosiasi Berdasarkan Wawasan Lapangan
    Negosiasi bukan sekadar menawar harga. Seorang praktisi berpengalaman memahami kondisi pasar lokal-misalnya, waktu-waktu tertentu ketika fluktuasi harga bahan bangunan cenderung naik, atau periode di mana vendor tertentu memberikan diskon volume. Dengan wawasan ini, ia bisa merancang strategi tawar-menawar yang lebih efektif: menunda pemesanan hingga momen yang lebih menguntungkan, atau menggabungkan paket belanja untuk mendapatkan harga satuan lebih rendah.
  4. Kepekaan Budaya dan Politik Organisasi
    Setiap instansi memiliki kultur dan dinamika internal yang unik. Pegawai lama biasanya sudah paham siapa “pemangku kepentingan” yang perlu dilibatkan lebih awal, hingga memahami “politik koridor”-misalnya, kapan waktu tepat menyampaikan rekomendasi perubahan anggaran agar tidak bersinggungan dengan agenda rapat pimpinan. Keterampilan ini tidak diajarkan di ruang kelas, namun sangat menentukan lancarnya proses persetujuan.
  5. Kolaborasi Multidisiplin
    Di lapangan, seorang praktisi pengadaan sering kali harus bekerja sama dengan tim teknis, perencana anggaran, hingga tim hukum. Pengalaman panjang membuatnya mampu berbicara “dua bahasa”-mengartikulasikan kebutuhan teknis ke dalam dokumen pengadaan yang legal-compliant, sekaligus menjelaskan implikasi regulasi kepada rekan teknis. Kemampuan menjembatani ini mencegah miskomunikasi yang berpotensi menunda proyek.
  6. Pemecahan Masalah Secara Kreatif
    Ketika berhadapan dengan kendala teknis di lapangan-misalnya, spesifikasi material yang sulit dipenuhi penyedia lokal-praktisi berpengalaman akan mencari alternatif tanpa melanggar aturan. Mereka mungkin menyusun addendum kontrak yang menyesuaikan kualitas material, atau merancang opsi substitusi yang tetap memenuhi manfaat proyek. Keputusan ini lahir dari pengalaman “trial and error” yang berulang-ulang.
  7. Pembangunan Jejaring dan Kepercayaan
    Selama belasan tahun, seorang praktisi telah membangun hubungan dengan berbagai vendor, konsultan, hingga regulator. Jaringan ini mempermudah komunikasi-vendor yang “percaya” cenderung lebih terbuka soal kapasitas dan keterbatasan mereka, sehingga negosiasi bisa lebih jujur dan transparan. Di momen darurat (misalnya kebutuhan pengadaan dalam waktu singkat), jaringan ini sering menjadi penyelamat.
  8. Pembelajaran Berkelanjutan dari “Kesalahan”
    Kesalahan administrasi atau teknis di satu proyek bukan akhir, melainkan pelajaran berharga bagi praktik selanjutnya. Praktisi berpengalaman memiliki refleksi terdokumentasi-catatan tentang apa yang gagal, mengapa, dan bagaimana solusinya. Budaya dokumentasi ini memastikan bahwa tim tidak mengulangi kesalahan yang sama, serta menyediakan bahan pelatihan informal bagi generasi muda.
  9. Ketahanan Emosional dan Manajemen Konflik
    Pengadaan sering kali melibatkan tekanan tinggi: tenggat waktu yang ketat, tuntutan compliance yang kompleks, dan potensi sengketa dengan vendor. Pegawai berpengalaman telah melewati berbagai fase konflik-membaca gugatan administratif, mediasi internal, hingga rapat klarifikasi. Mereka memahami cara meredam eskalasi emosi, menggunakan pendekatan kolaboratif, dan menjaga hubungan baik demi keberlanjutan proyek.
  10. Kesiapan Menghadapi Perubahan Regulasi dan Teknologi
    Walaupun pengalaman yang tidak terbarui bisa menjadi jebakan, praktisi yang terus “update” justru menjadi garda depan adopsi inovasi. Mereka lebih cepat beradaptasi saat SPSE versi terbaru dirilis, atau saat muncul e-katalog baru. Karena sudah memahami proses inti, mereka mampu mengintegrasikan teknologi tanpa mengorbankan prinsip pengadaan yang benar.

Sertifikasi: Pintu Masuk, Bukan Tujuan Akhir

Banyak instansi yang memperlakukan sertifikasi sebagai akhir dari proses pelatihan. Pegawai dikirim pelatihan, lulus ujian, mendapat sertifikat, lalu dianggap selesai. Padahal, sertifikasi seharusnya menjadi pintu masuk menuju pengembangan profesional yang lebih dalam. Sertifikasi hanya menunjukkan bahwa seseorang memahami dasar-dasar pengadaan. Ia tidak secara otomatis menyiratkan kecakapan menyusun kontrak kompleks, menangani sanggahan penyedia, atau mengelola risiko pengadaan.

Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa sertifikasi adalah fondasi. Sama seperti SIM dalam berkendara: memiliki SIM tidak berarti pengemudi sudah mahir mengemudi dalam segala kondisi cuaca dan lalu lintas. Pengalaman berkendara tetap dibutuhkan untuk menjadi pengemudi yang andal dan aman.

Studi Kasus: Konflik di Lapangan antara yang Berpengalaman dan yang Tersertifikasi

Dalam praktiknya, sering kali terjadi konflik antara pegawai yang telah lama berkecimpung di pengadaan namun belum tersertifikasi, dan pegawai baru yang tersertifikasi namun belum banyak jam terbang. Misalnya, dalam tim pengadaan suatu proyek infrastruktur, seorang staf muda yang baru lulus pelatihan PBJ mencoba menerapkan aturan sesuai modul pelatihan terbaru. Namun ia ditentang oleh staf senior yang merasa caranya lebih sesuai berdasarkan pengalaman proyek sebelumnya.

Situasi ini menciptakan ketegangan. Jika tidak ditangani dengan baik, bisa berdampak pada stagnasi keputusan atau bahkan kesalahan administratif. Padahal, keduanya bisa saling melengkapi. Staf muda membawa semangat dan pengetahuan baru, sementara staf senior membawa intuisi dan pengalaman manajerial. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang mampu menjembatani dan mengintegrasikan kedua kekuatan ini.

Perspektif Regulator: Mengapa Sertifikasi Diwajibkan?

Pemerintah, melalui LKPP, mewajibkan sertifikasi sebagai bagian dari upaya standarisasi kompetensi. Tujuannya adalah agar setiap pejabat pengadaan memiliki pengetahuan dasar yang sama, memahami aturan yang berlaku, serta mampu menghindari praktik-praktik menyimpang. Sertifikasi juga berfungsi sebagai alat akuntabilitas. Ketika terjadi penyimpangan, sertifikat menjadi bukti bahwa seseorang telah diberikan pembekalan yang seharusnya membuatnya mampu bertindak profesional.

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan tantangan tersendiri. Banyak ASN yang merasa beban administratif semakin berat. Mereka harus mengejar sertifikat meskipun sudah puluhan tahun menjalankan tugas pengadaan. Di sisi lain, sistem sertifikasi harus terus diperbaharui agar tidak menjadi formalitas belaka.

Kombinasi Ideal: Sertifikasi dan Pengalaman Harus Berjalan Seiring

Jika ditanya secara tegas mana yang lebih penting-pengalaman atau sertifikasi-jawaban yang paling bijak adalah: keduanya penting. Sertifikasi dan pengalaman tidak seharusnya diperbandingkan secara hitam putih, melainkan disinergikan. Sertifikasi memberikan fondasi legal dan teoritis, sedangkan pengalaman memberikan keterampilan praktis dan kearifan situasional.

Instansi yang ideal adalah instansi yang tidak hanya mendorong pegawainya untuk mendapatkan sertifikasi, tapi juga menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan mereka mengasah pengalaman. Misalnya, dengan sistem rotasi proyek, pembimbingan oleh senior, simulasi kasus, dan evaluasi periodik berbasis kinerja riil, bukan hanya dokumen administratif.

Kebutuhan Era Digital: Pengalaman Harus Diperbaharui, Sertifikasi Harus Kontekstual

Di era digital, tantangan pengadaan tidak hanya soal harga atau spesifikasi barang, tapi juga tentang keamanan data, integrasi sistem, dan keberlanjutan. Pengadaan digital memunculkan kebutuhan baru akan keterampilan seperti pemahaman e-katalog, penggunaan SPSE, serta kemampuan membaca data secara analitik. Dalam hal ini, pengalaman lapangan saja tidak cukup jika tidak disertai update keahlian melalui pelatihan atau sertifikasi tambahan.

Sebaliknya, sertifikasi juga harus relevan dengan dunia nyata. Modul pelatihan harus dikaitkan langsung dengan permasalahan aktual yang sering dihadapi tim pengadaan. Sertifikasi yang hanya menekankan hafalan peraturan tanpa simulasi praktis akan kehilangan daya dorongnya di lapangan.

Strategi Pengembangan SDM Pengadaan: Beyond Sertifikasi

Pengembangan SDM pengadaan seharusnya melampaui sertifikasi. Berikut beberapa strategi yang bisa dipertimbangkan oleh instansi:

  1. Mentoring Terstruktur: Pegawai baru yang tersertifikasi bisa dipasangkan dengan mentor senior untuk transfer pengalaman.
  2. Evaluasi Kinerja Berbasis Kasus: Daripada hanya menilai administratif, pegawai pengadaan bisa diuji lewat simulasi kasus nyata.
  3. Pelatihan Berulang dan Tematik: Misalnya pelatihan khusus untuk pengadaan jasa konstruksi, pengadaan IT, atau pengadaan darurat.
  4. Komunitas Praktisi: Mendorong dialog antar ASN pengadaan melalui forum rutin atau grup diskusi daring untuk berbagi pengalaman.
  5. Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management): Dokumentasi praktik baik dan kesalahan masa lalu agar menjadi pembelajaran kolektif.

Kesalahan Umum Jika Hanya Mengandalkan Salah Satu

Mengandalkan sertifikasi tanpa pengalaman bisa membuat seseorang terlalu kaku dan teoritis. Ia mungkin menolak pendekatan alternatif karena dianggap tidak sesuai teks, padahal praktik lapangan sering kali memerlukan fleksibilitas dalam koridor hukum. Di sisi lain, mengandalkan pengalaman tanpa update melalui sertifikasi bisa membuat seseorang terjebak pada “zona nyaman” dan kebiasaan lama yang sudah tidak sesuai dengan regulasi terbaru.

Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi terjadi bukan karena niat jahat, tapi karena ketidaktahuan akan aturan baru. Pegawai senior merasa sudah tahu segalanya, padahal perubahannya tidak mereka ikuti. Di sisi lain, pegawai muda yang hanya mengandalkan teori bisa membuat proyek tertunda karena terlalu perfeksionis terhadap aturan, tanpa mempertimbangkan aspek teknis dan urgensi di lapangan.

Kesimpulan: Jangan Pilih Salah Satu, Gabungkan Keduanya

Pertanyaan “pengalaman atau sertifikasi, mana lebih penting?” sebetulnya adalah pertanyaan yang salah arah. Yang lebih tepat adalah: bagaimana menggabungkan keduanya secara optimal?

Sertifikasi dan pengalaman seharusnya tidak dilihat sebagai dua kutub yang saling bertentangan, melainkan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama: profesionalisme. Dunia pengadaan membutuhkan orang-orang yang tahu aturan, tapi juga paham praktik. Yang bisa menghindari pelanggaran hukum, tapi juga tidak membuat proyek tersendat karena proseduralisme berlebihan.

Oleh karena itu, instansi publik dan lembaga pelatihan seharusnya mengembangkan pendekatan pengembangan SDM yang holistik-bukan hanya mengejar angka sertifikasi, tapi juga menumbuhkan budaya belajar, praktik reflektif, mentoring, dan kolaborasi antargenerasi. ASN pengadaan yang ideal adalah mereka yang memiliki sertifikat di tangan, tapi juga keringat di lapangan. Yang membaca regulasi dengan cermat, namun juga memahami denyut nadi kebutuhan masyarakat.

Pengadaan adalah urusan serius. Terlalu penting untuk diserahkan hanya pada yang berpengalaman tapi tak tersertifikasi, atau sebaliknya-pada yang tersertifikasi tapi belum teruji. Maka, jangan hanya memilih salah satu. Gabungkan keduanya, dan kita akan mendapatkan pelaku pengadaan yang tak hanya kompeten, tapi juga bijak.