Pendahuluan: Ketergantungan pada Sumber Daya Manusia Kritis
Dalam ekosistem birokrasi atau dunia korporasi, bidang pengadaan barang dan jasa (procurement) merupakan salah satu fungsi strategis yang sangat menentukan jalannya operasional dan tercapainya tujuan pembangunan atau target bisnis. Namun ironisnya, di balik peran vital ini, masih banyak organisasi yang terlalu bergantung pada individu tertentu-sosok karyawan inti yang dianggap sebagai “penjaga gawang”, “ensiklopedia hidup”, atau bahkan “dewa pengadaan”. Ia adalah orang yang tahu segalanya: dari regulasi terbaru, celah risiko tender, nama penyedia yang bisa diandalkan, hingga bagaimana mengatur strategi evaluasi agar tidak tergelincir dalam masalah hukum.
Ketika sosok sentral ini memilih untuk mengundurkan diri, pensiun, berpindah unit, atau bahkan sekadar mengambil cuti panjang, mendadak ruang procurement seperti kehilangan arah. Proses yang semula lancar menjadi tersendat. Tim yang tadinya solid mendadak bingung karena tidak terbiasa mengambil keputusan sendiri. Stakeholder internal mulai mempertanyakan kompetensi unit pengadaan, dan pihak penyedia merasakan perubahan sikap yang membingungkan. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem, proyek-proyek strategis bisa tertunda hanya karena “orang kuncinya sedang tidak ada”.
Kondisi ini menunjukkan satu kenyataan pahit: bahwa ketergantungan terhadap karyawan inti adalah kelemahan sistemik, bukan kekuatan personal. Ini bukan semata soal kehilangan satu orang, tetapi soal bagaimana selama ini organisasi membangun sistemnya. Apakah berbasis tim atau berbasis orang? Apakah sudah membangun dokumentasi dan transfer pengetahuan, atau hanya mengandalkan memori individu? Apakah regenerasi telah dirancang, atau sekadar mengandalkan loyalitas pribadi?
Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di lembaga kecil atau instansi yang baru membentuk unit pengadaan. Bahkan di kementerian besar, BUMN mapan, maupun perusahaan multinasional, permasalahan ini tetap relevan. Justru karena kompleksitas pengadaan yang semakin tinggi-ditambah dengan tekanan publik akan transparansi dan efisiensi-organisasi menjadi semakin tergantung pada sosok-sosok senior yang dianggap sebagai penentu kelancaran proses. Padahal dalam desain kelembagaan yang sehat, individu boleh datang dan pergi, tetapi roda organisasi harus tetap berputar dengan konsisten.
Pendahuluan ini tidak sedang menyalahkan peran karyawan inti-justru sebaliknya, mereka adalah aset tak ternilai. Namun masalah muncul ketika institusi gagal membangun sistem yang mendukung mereka dan menggantikan mereka dengan sistematis. Inilah yang menjadikan kehilangan personel inti bukan sekadar kehilangan figur, tapi menjadi pukulan terhadap stabilitas operasional.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk menjadikan momen ini sebagai refleksi kolektif. Kehilangan adalah bagian dari siklus organisasi. Namun bagaimana kita merespons kehilangan itulah yang akan membedakan organisasi yang tahan uji dengan yang rapuh. Dari sinilah pembelajaran dimulai: bahwa procurement tidak boleh menjadi panggung tunggal, melainkan orkestrasi kolaboratif yang mampu menciptakan kesinambungan meski konduktor berganti.
1. Terbukanya Kelemahan Struktural yang Selama Ini Tersembunyi
Kepergian seorang karyawan inti kerap kali menjadi momen terbukanya kotak pandora. Proses yang selama ini tampak berjalan baik ternyata sangat bergantung pada “orang tertentu”, bukan karena sistemnya kokoh. Misalnya, SOP yang ada hanya formalitas, sementara pekerjaan sehari-hari mengandalkan tacit knowledge atau pengetahuan implisit dari individu tersebut. Begitu ia pergi, barulah terasa bahwa dokumentasi pekerjaan tidak lengkap, alur komunikasi antar unit tidak rapi, atau bahwa tidak ada orang lain yang cukup paham substansi pekerjaan teknis.
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa organisasi perlu secara berkala melakukan audit kelembagaan untuk mengidentifikasi titik-titik kritis yang terlalu tergantung pada individu. Apakah proses pengadaan benar-benar terdokumentasi? Apakah pengambilan keputusan bisa dilakukan oleh tim, atau selalu mengandalkan satu-dua nama?
2. Knowledge Management Harus Jadi Prioritas, Bukan Pelengkap
Salah satu pelajaran terpenting dari kehilangan karyawan inti adalah pentingnya knowledge management. Jika pengetahuan dan pengalaman hanya tersimpan di kepala seseorang, maka itu adalah risiko organisasi. Oleh karena itu, pembelajaran utama adalah perlunya sistem pencatatan dan transfer pengetahuan yang sistematis: SOP yang living document, lesson learned yang dikumpulkan pasca proyek, pelatihan internal, hingga job shadowing atau rotasi tugas.
Organisasi yang sadar akan pentingnya knowledge management biasanya tidak terlalu terguncang saat kehilangan satu-dua orang kunci. Karena pengetahuan bukan milik pribadi, tapi aset bersama. Setiap proses, keputusan, pertimbangan teknis, dan catatan negosiasi dengan penyedia harus terdokumentasi dengan baik dalam sistem manajemen pengadaan.
3. Pembelajaran tentang Ketiadaan Regenerasi
Sering kali, karyawan inti enggan membagikan pengetahuan karena merasa bahwa keahlian tersebut adalah “nilai jual” pribadinya. Di sisi lain, organisasi pun lalai menyiapkan regenerasi. Akibatnya, tidak ada orang yang siap menggantikan saat yang bersangkutan pergi. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada program succession planning, tidak ada penugasan rotasi lintas fungsi, atau karena talenta muda dibiarkan hanya mengerjakan pekerjaan administratif tanpa dilibatkan dalam diskusi teknis atau pengambilan keputusan.
Momen kehilangan personel inti menjadi sinyal keras bahwa regenerasi bukan pilihan, tapi keharusan. Regenerasi bisa dilakukan dengan mempercepat pemagangan, memberi kesempatan kepada staf muda untuk terlibat dalam tender besar, atau menugaskan mereka menulis laporan evaluasi yang sebelumnya hanya dikerjakan senior.
4. Sistem Digital Bukan Sekadar Teknologi, Tapi Redundansi Pengetahuan
Salah satu cara terbaik untuk menghindari ketergantungan berlebihan terhadap individu adalah melalui sistem digital yang kuat dan digunakan secara menyeluruh. Dalam banyak kasus, pengetahuan pengadaan seperti rekam jejak penyedia, alasan evaluasi teknis, atau perubahan spesifikasi hanya diketahui oleh satu orang, dan tidak tercatat di sistem. Maka ketika orang itu pergi, informasi hilang.
Sistem digital yang baik menyediakan log pekerjaan, histori dokumen, alur evaluasi, dan catatan komunikasi yang bisa ditelusuri siapa pun, kapan pun. Lebih dari sekadar alat bantu, digitalisasi adalah sarana membangun redundansi. Kepergian satu orang tidak serta-merta menyebabkan kehilangan data atau kebingungan teknis, karena semua terarsip dengan rapi dan terdokumentasi dalam sistem e-procurement yang profesional.
5. Menilai Ulang Beban Kerja dan Desain Organisasi
Kepergian karyawan kunci juga membuka ruang untuk meninjau ulang desain organisasi dan pembagian tugas. Jika satu orang bisa memegang seluruh proses dari perencanaan, pemilihan, hingga pelaporan, maka itu adalah tanda struktur yang terlalu terpusat. Beban kerja harus ditata agar terdistribusi secara merata dan adil.
Desain organisasi pengadaan sebaiknya berbasis fungsi: ada tim perencanaan, tim pemilihan, tim evaluasi, dan tim pelaporan. Penugasan dilakukan berbasis proyek, bukan personal. Dengan begitu, bila satu personel keluar, proyek tetap berjalan dengan dukungan tim lainnya yang sudah paham alur kerja.
6. Komunikasi Internal Jadi Penentu Stabilitas
Dalam situasi transisi akibat kehilangan karyawan kunci, komunikasi internal menjadi faktor kunci. Banyak instansi yang menghadapi kepanikan karena tidak segera memberi tahu siapa pengganti, bagaimana alur sementara, dan siapa penanggung jawab baru. Akibatnya, mitra kerja, penyedia, bahkan rekan satu unit menjadi ragu dan bingung.
Organisasi perlu memiliki protokol komunikasi dalam situasi kehilangan personel penting. Siapa yang akan menyampaikan ke publik, siapa yang memastikan kesinambungan proses, dan bagaimana menenangkan tim agar tetap fokus pada pekerjaan. Ketenangan dan kejelasan pesan akan menentukan stabilitas suasana kerja.
7. Penyedia dan Stakeholder Eksternal Juga Terpengaruh
Dalam banyak kasus, penyedia sudah terbiasa bekerja dengan satu orang. Mereka tahu ritme, gaya komunikasi, ekspektasi teknis, dan cara menyampaikan dokumen. Ketika personel itu diganti, penyedia sering merasa kehilangan arah. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka merasa harus memulai dari nol dalam membangun kepercayaan.
Ini menunjukkan pentingnya menjaga relasi kelembagaan, bukan personal. Seluruh komunikasi dan keputusan dalam pengadaan sebaiknya tercatat dan dilakukan secara kolektif agar tidak membangun ketergantungan dengan individu tertentu. Saat ada pergantian personel, penyedia hanya cukup beradaptasi dengan gaya komunikasi baru, bukan sistem kerja baru.
8. Pengadaan Butuh Kultur Kolaboratif, Bukan Heroik
Kehilangan karyawan inti juga menjadi refleksi atas budaya kerja. Jika selama ini pengadaan identik dengan “satu orang jagoan”, maka sudah waktunya beralih ke budaya kolaboratif. Tidak ada lagi superman. Yang ada adalah superteam.
Kultur kolaboratif ditandai dengan berbagi beban kerja, keterlibatan lintas bidang, serta transparansi dalam pengambilan keputusan. Karyawan baru pun tidak merasa terintimidasi untuk belajar, karena tidak ada eksklusivitas informasi. Semua terdokumentasi, terbuka, dan bisa dipelajari. Kultur seperti inilah yang menjadikan pengadaan tangguh, bukan rapuh saat ditinggal satu orang.
9. Momen Introspeksi dan Inovasi
Kepergian karyawan inti sebenarnya bisa menjadi momentum introspeksi organisasi. Inilah saatnya meninjau ulang cara kerja, efektivitas SOP, efisiensi alur, hingga peluang otomatisasi. Karyawan baru atau tim pengganti bisa membawa perspektif segar untuk memperbaiki praktik yang sebelumnya dianggap “sudah biasa”.
Organisasi sebaiknya membuka diri terhadap inovasi. Alih-alih hanya berupaya meniru gaya kerja personel lama, manfaatkan kepergian ini sebagai titik tolak perubahan positif. Apakah selama ini proses tender terlalu panjang? Apakah terlalu banyak dokumen yang tidak relevan? Apakah ada cara lebih efisien melakukan klarifikasi atau evaluasi? Inilah saatnya menjawab semua pertanyaan itu dengan terbuka.
10. Penghargaan terhadap Karyawan yang Penuh Dedikasi
Terakhir, kehilangan karyawan inti juga menyadarkan pentingnya memberi apresiasi kepada mereka yang selama ini telah bekerja keras menjaga integritas dan kualitas pengadaan. Banyak dari mereka bekerja dalam tekanan, menjaga netralitas di tengah tarik-menarik kepentingan, serta terus belajar agar bisa menyesuaikan diri dengan regulasi yang terus berubah.
Penghargaan tidak harus berupa uang. Bisa dalam bentuk pelibatan dalam pengambilan keputusan strategis, promosi karier, atau sekadar pengakuan publik atas kontribusi mereka. Dengan demikian, organisasi bisa menjaga loyalitas dan menciptakan iklim kerja yang sehat, di mana orang ingin tetap bertahan dan berbagi pengetahuan.
Kesimpulan: Dari Ketergantungan ke Ketangguhan
Kepergian karyawan inti dalam unit procurement sering kali membuka mata banyak pihak bahwa sistem yang selama ini tampak solid ternyata memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap individu tertentu. Realita ini bukan sekadar mengungkap absennya satu orang dari struktur, melainkan menyingkap banyak lapisan permasalahan yang lebih dalam: lemahnya dokumentasi, ketiadaan regenerasi, tidak adanya sistem manajemen pengetahuan, serta budaya kerja yang masih mengandalkan figur “superman”, bukan kekuatan tim.
Dari fenomena ini, kita belajar bahwa fondasi procurement yang sehat seharusnya tidak dibangun di atas pundak satu atau dua orang saja. Ia harus dibangun di atas sistem yang kolektif, terdokumentasi, transparan, dan adaptif. Ketika sistem kuat, individu boleh datang dan pergi tanpa harus mengguncang operasional. Namun jika sistem rapuh dan semua proses bergantung pada satu orang, maka absensinya akan memunculkan kekacauan, keresahan, dan dalam kasus tertentu, kerugian yang tidak kecil.
Pelajaran utama yang bisa kita petik adalah pentingnya memperlakukan pengetahuan sebagai aset bersama, bukan milik pribadi. Dokumentasi kerja harus menjadi budaya, bukan sekadar kewajiban formal. Regenerasi perlu dirancang sejak dini, bukan menunggu saat darurat. Sistem digital harus dimanfaatkan secara menyeluruh untuk memastikan semua proses terdokumentasi, dapat diakses, dan dapat dilanjutkan oleh siapa pun yang ditugaskan. Lebih dari itu, organisasi perlu mulai menggeser paradigma dari “kerja heroik individual” menuju “kerja kolaboratif kelembagaan”.
Kehilangan memang tak dapat dihindari-orang bisa pindah, pensiun, atau berhenti kapan saja. Namun, organisasi yang matang adalah mereka yang tidak runtuh ketika orang kunci pergi. Justru pada saat itulah ketangguhan sistem diuji. Apakah proses tetap berjalan? Apakah kualitas tetap terjaga? Apakah tim mampu mengambil alih tanpa rasa panik? Inilah indikator keberhasilan yang sebenarnya dalam manajemen procurement.
Lebih lanjut, situasi ini juga menjadi momen emas bagi organisasi untuk berbenah. Mumpung terjadi guncangan, ini saatnya melakukan refleksi kelembagaan: apakah pembagian tugas sudah merata? Apakah struktur organisasi masih relevan dengan beban kerja saat ini? Apakah pelatihan sudah menyasar staf muda secara adil? Apakah budaya kerja sudah kondusif untuk berbagi ilmu dan pengalaman?
Dengan menjadikan setiap kehilangan sebagai bahan introspeksi dan titik awal perubahan, organisasi akan tumbuh menjadi lebih resilien. Procurement bukan hanya soal belanja barang atau memilih penyedia, tetapi tentang menciptakan sistem pelayanan publik yang adil, efisien, dan berintegritas. Dan sistem seperti itu hanya bisa dibangun jika organisasi melepaskan ketergantungannya pada individu, dan mulai menanamkan ketangguhan pada institusi.
Pada akhirnya, pertanyaan terpenting bukanlah “Siapa yang pergi?” melainkan “Apa yang kita siapkan agar sistem tetap berjalan saat siapa pun pergi?” Jika pertanyaan ini bisa dijawab dengan yakin, maka kita telah melangkah menuju masa depan pengadaan yang lebih kokoh, berkelanjutan, dan bebas dari krisis struktural.