Mark-up Harga: Modus Lama, Korban Baru

Pendahuluan

Pada era pengadaan barang dan jasa pemerintah yang semakin kompleks, praktik mark‑up harga tetap berakar kuat sebagai salah satu modus kecurangan yang berulang setiap tahun. Meskipun regulasi tata kelola pengadaan telah diperbarui secara berkala dan teknologi informasi semakin memadai untuk mendeteksi anomali, para pelaku korupsi-baik di kalangan penyedia maupun penyelenggara-terus memodifikasi teknik mereka agar sulit terlacak. Fenomena ini tidak hanya merugikan anggaran negara, tetapi juga menimbulkan kerugian sosial yang luas: masyarakat tidak mendapatkan manfaat optimal dari anggaran publik, infrastruktur yang dibangun kerap tidak sesuai spesifikasi, dan kepercayaan publik terhadap lembaga negara menurun drastis. Dalam konteks etika dan tata kelola, mark‑up harga merupakan gambaran klasik tentang bagaimana niat buruk dapat mengelabui sistem yang sebenarnya sudah punya banyak celah pengawasan. Oleh karena itu, memahami secara mendalam sejarah, mekanisme, dampak, serta upaya penanggulangan mark‑up harga menjadi langkah penting bagi semua pihak yang terlibat dalam ekosistem pengadaan-mulai dari pejabat pengadaan, auditor, akademisi, hingga masyarakat sipil yang memantau jalannya proses.

Bagian I: Sejarah dan Evolusi Mark‑up Harga dalam Pengadaan

Sejak diberlakukannya praktik lelang terbuka sebagai metode utama pengadaan publik pada era reformasi, fenomena mark‑up sudah muncul dalam berbagai bentuk. Pada dekade awal, mark‑up biasanya dilakukan dengan menaikkan harga satuan barang tanpa mengubah tabel spesifikasi, sehingga dalam dokumen lelang tertulis harga yang tampak wajar tetapi pada kenyataannya jauh di atas harga pasar. Seiring waktu, para pelaku mulai memanipulasi dokumen pendukung seperti surat penawaran harga, daftar kuantitas, dan bahkan memanfaatkan kurasi vendor cadangan untuk menyamarkan angka mark‑up.

Perkembangan teknologi e‑procurement seharusnya mengurangi ruang gerak praktik ilegal ini, namun ikatan personal dan jaringan lobi masih menjadi saluran efektif untuk mengamankan persetujuan harga tertinggi. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik mark‑up malah berpindah ke komponen biaya tidak langsung, seperti biaya administrasi, transportasi fiktif, dan margin keuntungan tersembunyi, yang sulit dipantau oleh sistem otomatis. Evolusi ini menunjukkan bahwa modus lama-yaitu mark‑up harga-terus menyempurnakan dirinya agar tetap relevan meski sistem pengawasan diperketat.

Bagian II: Mekanisme Operasional Modus Mark‑up Harga

Secara operasional, mark‑up harga melibatkan beberapa tahap: identifikasi paket pengadaan yang rendah pengawasannya, kolusi awal antara penyedia dan panitia, serta penyusunan harga penawaran yang telah ditambah persentase mark‑up tertentu. Pada tahap identifikasi, pelaku mencari proyek yang dianggap “aman” karena histori panitia yang kurang kritis atau karena nilai paket cukup kecil sehingga pengawasannya tidak seketat paket besar. Tahap kolusi dilakukan jauh sebelum proses lelang resmi: penyedia akan memberikan komisi atau janji proyek berkelanjutan kepada panitia, dan kedua belah pihak menyepakati harga tertinggi yang masih dapat diterima publik.

Tahap terpenting adalah presentasi harga penawaran: dokumen disusun sedemikian rupa sehingga angka mark‑up tampak sebagai biaya logistik atau tunjangan risiko. Bahkan dalam e‑procurement modern, panitia yang berwenang dapat memanipulasi undangan penawaran atau memfokuskan kualifikasi pada vendor tertentu. Akhirnya, setelah kontrak ditandatangani, pembayaran sesuai harga mark‑up dilakukan, dan sebagian dana dialihkan kembali ke panitia atau jaringan perantara. Keseluruhan mekanisme ini menuntut keahlian administratif, koordinasi jaringan, dan intimidasi terhadap auditor atau pengawas yang mencoba menelusuri jejak uang.

Bagian III: Dampak dan Korban dari Praktik Mark‑up Harga

Korban utama dari mark‑up harga adalah publik-warga negara yang membayar pajak. Dana yang seharusnya dipergunakan untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, atau pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, tergerus oleh biaya tidak seharusnya. Sebagai konsekuensi riil, banyak proyek publik yang hasilnya mengecewakan: jalan berlubang, gedung sekolah kekurangan fasilitas, atau distribusi bantuan sosial yang tidak merata. Selain itu, dampak jangka panjang berupa menurunnya kualitas layanan dan infrastruktur memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal dan menurunkan daya saing daerah.

Secara psiko-sosial, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah melemah, yang dapat memicu apatisme dan mengurangi partisipasi publik dalam pengawasan pengadaan. Korban kedua adalah penyedia jujur yang kalah bersaing; mereka menjual barang pada harga wajar, namun gagal memenangkan lelang di mana harga tidak realistis digunakan sebagai senjata utama. Korban lain adalah pegawai negeri yang berintegritas; tekanan moral dan potensi intimidasi dari jaringan korup dapat merusak semangat kerja bahkan menimbulkan stres berkepanjangan.

Bagian IV: Faktor Penyebab dan Pemicu Praktik Mark‑up Harga

Ada beberapa faktor penyebab mengapa mark‑up harga tetap persisten.

  • Pertama, lemahnya penegakan hukum dan kurangnya tindakan tegas terhadap pelaku; statistik penyelidikan dan penuntutan KPK menunjukkan hanya sebagian kecil kasus yang berujung vonis bersalah dengan hukuman maksimal.
  • Kedua, budaya risiko rendah-di mana sanksi administratif seringkali hanya berupa teguran ringan tanpa pemulihan kerugian negara-mendorong pelaku merasa aman untuk mengulangi tindakan.
  • Ketiga, kompleksitas regulasi pengadaan yang saling tumpang tindih, membuat audit dan investigasi memakan waktu lama dan sumber daya besar.
  • Keempat, gap kompetensi panitia pengadaan; banyak panitia yang terbatas wawasan teknis dan keuangan sehingga sulit mendeteksi harga abnormal.
  • Kelima, pengaruh lobby dan politik lokal, di mana tokoh berpengaruh menggunakan proyek sebagai instrumen konsolidasi kekuasaan.

Keseluruhan faktor ini saling memperkuat dan menciptakan ekosistem di mana mark‑up harga dapat tumbuh subur.

Bagian V: Upaya Penanggulangan dan Reformasi Pengadaan Publik

Berbagai upaya telah digulirkan untuk menekan praktik mark‑up harga. Modernisasi sistem e‑procurement dengan modul analytics untuk mendeteksi harga menyimpang adalah salah satu jalan; algoritma dapat membandingkan penawaran dengan database harga historis dan harga pasar terkini, lalu memicu alert jika terjadi deviasi signifikan. Pelatihan intensif bagi panitia mengenai analisis harga satuan, evaluasi biaya tidak langsung, dan teknik wawancara vendor juga krusial. Selain itu, mekanisme whistleblower dan reward bagi pelapor pelanggaran dapat mengundang partisipasi publik dalam pengawasan.

Dari sisi regulasi, penyederhanaan kebijakan pengadaan dan harmonisasi antara kementerian/lembaga serta standar nasional menggunakan SNI untuk komponen barang dapat mengurangi celah manipulasi spesifikasi. Peran lembaga pengawasan eksternal, seperti BPK dan KPK, perlu ditingkatkan melalui kerja sama lintas sektor, misalnya pertukaran data real time antara sistem keuangan negara dan sistem e‑procurement. Di tatanan pencegahan, pendidikan nilai-nilai integritas sejak awal karir pegawai negeri dan implementasi rotasi jabatan pengadaan dapat memutus jejaring kolusi.

Kesimpulan

Mark‑up harga dalam pengadaan publik adalah modus lama yang terus bertransformasi, menghadirkan korban baru setiap harinya-mereka yang menanggung kerugian anggaran, kualitas hidup, dan kepercayaan terhadap pemerintahan. Meski upaya teknologi dan regulasi telah banyak dilakukan, celah praktik ini tetap terbuka akibat lemahnya penegakan hukum, kompleksitas regulasi, dan budaya risiko rendah. Oleh karena itu, upaya penanggulangan mustahil hanya mengandalkan satu strategi; kombinasi antara modernisasi teknologi, peningkatan kapasitas aparat, pengetatan sanksi, dan partisipasi aktif masyarakat harus dijalankan secara terintegrasi.

Keberhasilan reformasi pengadaan publik membutuhkan kemauan politik yang kuat, komitmen antikorupsi, serta kesadaran kolektif bahwa setiap rupiah yang dihemat dalam pengadaan berarti peningkatan kesejahteraan rakyat. Hanya dengan demikian, modus mark‑up harga yang sudah berusia puluhan tahun dapat kita hentikan, dan korban baru dapat dicegah muncul di depan mata kita.