Evaluasi Administrasi, Teknis, dan Harga: Urutannya?

Pendahuluan

Proses pengadaan barang dan jasa, baik di lingkungan pemerintah maupun korporasi swasta, menuntut serangkaian tahapan penilaian yang ketat agar diperoleh mitra yang kompeten, transparan, dan memberikan nilai optimal. Tiga pilar utama dalam penilaian tersebut adalah evaluasi administrasi, evaluasi teknis, dan evaluasi harga. Menurut praktik terbaik dan ketentuan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa, ketiga tahapan ini memiliki urutan dan prioritas tertentu yang bukanlah kebetulan semata, melainkan dirancang untuk menjaga keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas. Artikel berikut menguraikan secara komprehensif setiap aspek evaluasi—dari pengertian, struktur, urutan pelaksanaan, hingga implikasi praktis di lapangan—dengan kalimat panjang dan mendalam agar memudahkan pembaca memahami kerangka kerja penilaian pengadaan secara utuh.

1. Kerangka Teoritis dan Landasan Regulasi

Sebelum membahas urutan evaluasi, perlu dipahami bahwa proses pengadaan di Indonesia diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya (Perpres 12/2021). Di dalamnya, tertulis bahwa setiap paket pengadaan harus melalui tiga tahap evaluasi utama: administrasi, teknis, dan harga. Landasan regulasi mengamanatkan bahwa evaluasi administrasi dilakukan terlebih dahulu untuk menyingkirkan peserta yang tidak memenuhi persyaratan dasar, sehingga proses selanjutnya hanya melibatkan peserta yang telah lolos seleksi administrasi. Tahap berikutnya, evaluasi teknis, menilai kesesuaian solusi atau produk yang ditawarkan dengan kebutuhan pengguna. Terakhir, evaluasi harga membandingkan aspek komersial penawaran peserta yang sudah dinyatakan memenuhi aspek administratif dan teknis. Ketentuan ini bertujuan menjaga agar penilaian harga tidak mempengaruhi penilaian teknis, sehingga kualitas dan kesesuaian solusi tetap menjadi titik fokus utama sebelum aspek biaya dipertimbangkan.

2. Evaluasi Administrasi: Gerbang Awal Seleksi

2.1. Definisi dan Tujuan

Evaluasi administrasi adalah tahapan penyaringan paling awal dalam proses pengadaan yang bertujuan untuk memverifikasi bahwa peserta tender memenuhi persyaratan dasar administratif dan legal untuk dapat melanjutkan ke tahapan evaluasi teknis dan harga. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan penghalang utama untuk memastikan bahwa hanya penyedia yang terdaftar secara sah, memiliki izin usaha yang sesuai, serta layak secara hukum dan administratif yang boleh bersaing lebih lanjut.

Tujuan utamanya adalah mencegah peserta tidak memenuhi syarat (non-qualified) menyusup ke dalam proses teknis dan harga, yang pada akhirnya dapat menimbulkan sengketa, gagal kontrak, atau kerugian negara. Dalam banyak kasus, kegagalan proyek bermula dari lemahnya evaluasi administrasi, di mana peserta yang tidak memiliki izin sah, atau sedang bermasalah secara hukum, tetap lolos ke tahap akhir karena pemeriksaan administratif yang longgar. Oleh karena itu, ketelitian pada tahap ini sangat menentukan kualitas kompetisi berikutnya.

Lebih jauh lagi, evaluasi administrasi menjadi titik awal penguatan akuntabilitas publik karena menciptakan jejak awal dokumen yang dapat diaudit, termasuk akta perusahaan, NPWP, SIUP, dan jaminan penawaran. Dalam pengadaan berbasis SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik), hasil evaluasi ini biasanya akan tertaut otomatis dalam sistem, sehingga kesalahan pada tahap ini akan berdampak sistemik dan sulit diperbaiki setelah evaluasi teknis dimulai.

2.2. Komponen Dokumen Administratif

Untuk memastikan ketertiban dan keseragaman, dokumen administratif dikelompokkan dalam empat kategori utama yang masing-masing memiliki peran penting:

a. Dokumen Legalitas Usaha

Kategori ini berfungsi membuktikan bahwa penyedia jasa atau barang adalah entitas bisnis yang sah dan aktif, terdaftar pada instansi pemerintah, dan memiliki legal standing untuk menjalankan usaha yang ditenderkan.

Komponen utamanya antara lain:

  • Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditawarkan.
  • Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang aktif dan sesuai nama badan usaha.
  • Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah disahkan Kementerian Hukum dan HAM.
  • Surat Keterangan Domisili Usaha, sebagai bukti eksistensi fisik usaha.
b. Dokumen Kualifikasi Keuangan

Aspek keuangan sering diabaikan, padahal sangat krusial. Peserta harus menunjukkan bahwa mereka memiliki kondisi finansial yang sehat dan kemampuan modal untuk menyelesaikan pekerjaan.

Beberapa dokumen yang wajib ada:

  • Laporan keuangan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Laporan ini digunakan untuk menilai likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas.
  • Surat referensi bank atau bank garansi sebagai bentuk jaminan finansial pelaksanaan proyek.
  • Surat pernyataan tidak sedang dalam status pailit atau sengketa hukum terkait keuangan.
c. Dokumen Kualifikasi Teknis-Administratif

Walau disebut administratif, dokumen di kategori ini menyinggung aspek teknis secara tidak langsung. Tujuannya adalah membuktikan bahwa peserta memiliki rekam jejak dan kapasitas organisasi yang memadai untuk menyelesaikan pekerjaan yang dilelang.

  • Sertifikat asosiasi atau badan keahlian, seperti LPJK, GAPKI, GPI, dan lainnya.
  • Daftar pengalaman pekerjaan serupa (experience list) dalam kurun 5 tahun terakhir.
  • Surat pernyataan kesanggupan, yang menunjukkan komitmen untuk menjalankan pekerjaan sesuai ketentuan.
d. Jaminan Penawaran

Aspek ini menjamin bahwa peserta tidak main-main dan bersedia kehilangan jaminan apabila melakukan wanprestasi. Bentuknya bisa berupa:

  • Bank garansi, jaminan tunai, atau asuransi.
  • Nilainya umumnya 2–5% dari HPS (Harga Perkiraan Sendiri).

2.3. Prosedur Pelaksanaan

Prosedur evaluasi administrasi yang sistematis dan terdokumentasi dengan baik akan meminimalisir keberatan atau sanggahan peserta.

a. Pemeriksaan Kelengkapan (Completeness Check)

Proses ini dilakukan segera setelah batas waktu pengumpulan penawaran ditutup. Tim administrasi akan membuka dokumen peserta dan menandai checklist kelengkapan. Kesalahan kecil seperti dokumen dalam format Word bukan PDF, nama perusahaan berbeda, atau tanggal tidak sesuai, bisa menyebabkan keguguran. Oleh karena itu, checklist elektronik menjadi alat bantu penting.

b. Verifikasi Keabsahan (Authenticity Verification)

Tim akan memverifikasi keabsahan dokumen melalui berbagai sumber:

  • Sistem OSS untuk SIUP
  • Direktorat Jenderal Pajak untuk NPWP
  • Kemenkumham untuk akta notaris
  • OJK atau auditor independen untuk laporan keuangan

Validasi manual juga bisa dilakukan, terutama jika terjadi keraguan keabsahan dokumen.

c. Pencatatan dan Dokumentasi Hasil

Setiap hasil evaluasi harus terdokumentasi dengan tanda tangan semua tim evaluasi. Disusun Berita Acara Evaluasi Administrasi (BAEA) yang mencantumkan siapa saja yang lulus dan gugur serta alasannya.

2.4. Implikasi Kesalahan

Kelalaian dalam tahap ini bisa sangat fatal. Misalnya, peserta yang seharusnya lolos dianggap gugur karena kesalahan nama file, atau sebaliknya, peserta ilegal lolos karena sistem tidak mengecek keabsahan SIUP. Akibatnya adalah:

  • Munculnya sanggahan administratif dan potensi konflik hukum.
  • Terhambatnya jadwal tender dan potensi pembatalan.
  • Menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem pengadaan.

Oleh karena itu, evaluasi administrasi bukan sekadar formalitas, melainkan “penjaga gerbang” menuju pengadaan yang akuntabel.

3. Evaluasi Teknis: Mengukur Kesesuaian Solusi

3.1. Definisi dan Ruang Lingkup

Evaluasi teknis merupakan tahap kritis dalam proses pengadaan, karena pada tahap inilah panitia berhadapan langsung dengan “isi sesungguhnya” dari penawaran peserta. Jika evaluasi administrasi adalah proses penyaringan awal yang memastikan peserta layak dari segi legalitas dan kelengkapan dokumen, maka evaluasi teknis adalah jantung dari proses seleksi kualitas, yang menentukan apakah solusi yang ditawarkan benar-benar relevan, layak, dan dapat diimplementasikan sesuai kebutuhan instansi.

Evaluasi teknis bertujuan untuk memastikan bahwa penyedia barang/jasa benar-benar memahami kebutuhan pengguna (end-user) dan mampu memberikan solusi yang tepat dari sisi desain, mutu, pendekatan pelaksanaan, hingga keberlanjutan proyek. Penilaian tidak lagi terbatas pada “apa yang dibawa”, tetapi juga “bagaimana cara kerja, siapa yang akan mengerjakan, dan seberapa baik rekam jejak peserta dalam menyelesaikan pekerjaan serupa”.

Adapun ruang lingkup utama dari evaluasi teknis mencakup:

a. Spesifikasi Teknis

Apakah barang atau jasa yang ditawarkan sesuai dengan Parameter Teknis Kinerja (PTK) yang ditetapkan dalam RFP/KAK? Misalnya, dalam pengadaan perangkat lunak, apakah sistem yang ditawarkan kompatibel dengan platform yang digunakan instansi? Apakah teknologi yang digunakan sudah terkini? Apakah ada sertifikasi atau hasil uji laboratorium yang menyertai spesifikasi tersebut?

b. Metodologi dan Rencana Kerja

Apakah peserta memiliki rencana kerja yang terstruktur dan realistis? Hal ini meliputi jadwal pelaksanaan proyek, tahapan kerja, strategi manajemen sumber daya, dan pendekatan manajemen risiko. Penilai juga memperhatikan detail seperti Gantt Chart, skema supervisi, kontrol mutu, dan perencanaan logistik.

c. Pengalaman dan Kapabilitas

Penyedia yang sudah memiliki rekam jejak dalam proyek sejenis biasanya lebih mampu memahami tantangan teknis dan non-teknis yang mungkin muncul. Panel akan memeriksa portofolio proyek, referensi kerja, dan bukti kontrak atau serah terima pekerjaan yang relevan. Semakin kompleks proyek yang pernah dikerjakan, semakin tinggi nilai pengalaman yang dapat diberikan.

d. Personel Kunci dan Organisasi Pelaksana

Kompetensi tenaga ahli sangat memengaruhi kualitas pelaksanaan proyek. Penilaian mencakup latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, sertifikasi profesional, dan peran yang diemban dalam proyek. Apakah tenaga ahli bekerja penuh waktu atau hanya sebagai konsultan lepas? Apakah tim kerja memiliki struktur yang mendukung kolaborasi lintas fungsi?

Dengan cakupan tersebut, evaluasi teknis bukan hanya soal angka dan bobot nilai, tetapi merupakan proses mendalam yang menggambarkan kesesuaian antara kebutuhan pengguna dan kemampuan penyedia, serta memastikan bahwa penyedia dapat menyelesaikan pekerjaan tanpa penyimpangan besar dari target teknis yang ditetapkan.

3.2. Metode Penilaian Teknis

Evaluasi teknis tidak dapat dilakukan sembarangan atau berdasarkan insting. Oleh karena itu, panitia pengadaan harus menggunakan metode penilaian yang sistematis, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam praktik umum pengadaan pemerintah, terdapat beberapa pendekatan yang umum digunakan:

a. Skor Kualitatif Terstruktur

Setiap aspek teknis diberikan bobot yang telah ditetapkan sebelumnya, misalnya:

  • 40% untuk pengalaman perusahaan,
  • 30% untuk metodologi pelaksanaan,
  • 30% untuk sumber daya manusia dan dukungan teknis.

Panel teknis akan menggunakan lembar skoring dengan panduan kriteria detail (rubrik) yang memungkinkan mereka memberi nilai secara konsisten. Misalnya, metodologi yang tidak menjelaskan mitigasi risiko akan mendapat skor rendah, sedangkan metode pelaksanaan berbasis teknologi mutakhir dan didukung simulasi/prototipe bisa memperoleh nilai tinggi.

b. Kualifikasi Personel

Penilaian terhadap personel mencakup:

  • Verifikasi ijazah dan sertifikasi.
  • Verifikasi pengalaman kerja sebelumnya.
  • Kejelasan posisi dan tanggung jawab dalam tim pelaksana.
  • Komitmen kerja eksklusif selama proyek berlangsung.

Bila proyek memerlukan sertifikasi khusus—misalnya ISO, PMP, ITIL, atau sertifikasi bidang teknik—maka dokumen sertifikasi harus dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga profesi internasional.

c. Penilaian Risiko dan Rencana Mitigasi

Pengadaan modern sangat menekankan aspek risiko. Oleh karena itu, peserta diminta menyusun rencana manajemen risiko, termasuk:

  • Identifikasi risiko (cuaca, logistik, hukum, personel),
  • Langkah-langkah mitigasi dan alternatif solusi,
  • Rencana pemulihan (contingency plan) jika risiko menjadi kenyataan.

Peserta yang memiliki rekam jejak dalam menghadapi krisis di proyek sebelumnya dan berhasil melewatinya akan mendapat poin tambahan.

d. Site Visit dan Demonstrasi

Untuk pengadaan proyek konstruksi atau pengadaan berbasis perangkat lunak/peralatan, panitia bisa melakukan kunjungan lapangan (site visit) ke lokasi proyek terdahulu milik peserta. Hal ini membantu:

  • Memastikan klaim pengalaman yang tertulis benar adanya.
  • Melihat langsung kualitas pekerjaan.
  • Menilai efektivitas implementasi lapangan.

Demonstrasi sistem atau perangkat juga umum dilakukan dalam pengadaan teknologi informasi, agar tim teknis dapat melihat performa produk secara langsung dan menilai user interface, kecepatan respons, hingga fitur-fitur yang ditawarkan.

3.3. Prosedur Evaluasi Teknis

Agar proses evaluasi teknis berjalan tertib dan sah secara hukum, panitia perlu mengikuti alur prosedural yang ketat:

a. Pembentukan Tim Panel Teknis

Tim penilai teknis dibentuk dengan melibatkan:

  • Ahli internal dari dinas pengguna atau unit teknis terkait.
  • Konsultan teknis independen (jika diperlukan).
  • Wakil pengguna akhir (user) yang memahami kebutuhan praktis.

Anggota panel harus memiliki keahlian sesuai lingkup pekerjaan. Misalnya, untuk pengadaan sistem informasi, perlu ada ahli sistem, ahli keamanan siber, dan perwakilan pengguna.

b. Sesi Evaluasi Dokumen
  • Tim menilai dokumen proposal teknis menggunakan rubrik standar.
  • Skor dimasukkan dalam sistem elektronik untuk memastikan integritas data.
  • Klarifikasi teknis bisa dilakukan jika terdapat informasi kurang jelas, namun tidak boleh menambah/mengubah substansi penawaran.
c. Diskusi Panel dan Harmonisasi Nilai

Apabila terdapat perbedaan nilai yang mencolok antar anggota panel (>15–20%), maka diadakan rapat harmonisasi untuk menyamakan persepsi dan memberikan nilai final yang disepakati bersama. Proses ini direkam dalam Berita Acara Harmonisasi Evaluasi Teknis, yang menjadi dasar hukum penetapan nilai akhir.

d. Rekapitulasi Hasil Evaluasi Teknis

Hasil akhir ditampilkan dalam bentuk tabel atau matriks nilai yang mencantumkan:

  • Nama peserta.
  • Skor per komponen evaluasi (pengalaman, metodologi, personel).
  • Skor akhir teknis.
  • Catatan khusus (jika ada).

Pengumuman hasil ini bisa disampaikan lewat portal e-procurement dan menjadi dasar kelanjutan ke tahap evaluasi harga bagi peserta yang memenuhi batas ambang teknis (passing grade).

3.4. Pitfalls dan Cara Mitigasi

Evaluasi teknis yang dilakukan tanpa kehati-hatian dapat menimbulkan masalah serius, termasuk sanggahan, gugatan hukum, dan kegagalan proyek. Berikut beberapa risiko umum (pitfalls) yang harus diantisipasi:

a. Subjektivitas Penilai

Tanpa rubrik penilaian yang rinci, evaluasi teknis sangat rawan dipengaruhi persepsi pribadi, relasi non-profesional, atau konflik kepentingan. Mitigasi dilakukan dengan:

  • Menyusun panduan penilaian (rubrik) secara terukur.
  • Menggunakan metode dual scoring dan mengambil rata-rata skor.
  • Menghindari evaluator tunggal untuk komponen yang kompleks.
b. Kriteria Tidak Konsisten

Kriteria evaluasi yang tidak sinkron antara RFP dan dokumen evaluasi dapat menimbulkan celah sanggahan. Solusinya adalah:

  • Uji coba (simulasi) rubrik sebelum tender diumumkan.
  • Review silang antara dokumen pengadaan dan rubrik evaluasi.
  • Melibatkan pengendali mutu internal atau auditor pengadaan.
c. Keengganan untuk Verifikasi Eksternal

Beberapa panitia enggan memverifikasi langsung ke lapangan karena keterbatasan anggaran atau waktu. Ini sangat berisiko bila peserta melakukan klaim palsu. Untuk itu:

  • Sediakan anggaran verifikasi pada tahap perencanaan.
  • Wajibkan peserta menyertakan referensi kerja dan kontak person proyek sebelumnya.
  • Libatkan konsultan independen atau pihak ketiga sebagai verifikator.
d. Pengabaian Aspek Kontekstual

Sering kali panitia hanya menilai dokumen tanpa memahami konteks bisnis atau teknologi terbaru. Hal ini menyebabkan perusahaan inovatif dengan pendekatan baru dinilai lebih rendah karena tidak sesuai “pakem lama”. Maka, perlu ada ruang dalam evaluasi teknis untuk:

  • Menilai inovasi dan pendekatan non-konvensional.
  • Memberi bobot pada kemampuan adaptasi teknologi.
  • Mengadakan sesi presentasi atau uji coba terbatas (pilot).

4. Evaluasi Harga: Menghitung Nilai Ekonomis

4.1. Definisi dan Prinsip

Setelah peserta berhasil melewati tahapan evaluasi administrasi dan teknis, maka mereka akan memasuki tahap terakhir: evaluasi harga. Tahapan ini bukan sekadar adu murah, melainkan proses yang strategis dan penuh pertimbangan untuk menemukan solusi yang paling bernilai (best value for money), bukan sekadar termurah secara nominal.

Prinsip utama dari evaluasi harga adalah menyeimbangkan antara biaya dan manfaat. Dalam pengadaan pemerintah dan lembaga publik, prinsip value for money telah menjadi standar yang disarankan oleh LKPP dan banyak badan pengadaan internasional. Hal ini berarti harga yang ditawarkan harus dipertimbangkan dalam konteks kualitas yang dijanjikan, biaya tambahan yang mungkin timbul (biaya tersembunyi), serta total biaya selama siklus hidup produk atau jasa.

Harga terendah tidak selalu merupakan pilihan terbaik. Dalam banyak kasus, penawaran dengan harga yang sangat rendah seringkali berujung pada kegagalan proyek, pelaksanaan tidak sesuai jadwal, atau penggunaan material di bawah standar. Oleh karena itu, evaluasi harga harus dibingkai dalam konteks ekonomis yang lebih luas dan disinergikan secara proporsional dengan hasil evaluasi teknis.

4.2. Metode Penghitungan Harga

Ada beberapa metode evaluasi harga yang umum diterapkan untuk memastikan penilaian yang objektif, transparan, dan logis:

a. Nilai Perbandingan Harga (NPH)

NPH adalah metode evaluasi harga berbasis komparasi terhadap penawaran terendah. Formula yang digunakan adalah:

NPH Peserta=(Harga Peserta/Harga Terendah​)×100

Nilai NPH dari tiap peserta akan dikalikan dengan bobot evaluasi harga, misalnya 30% dari total skor keseluruhan. Sementara skor teknis dihitung dari evaluasi sebelumnya dan diberikan bobot, misalnya 70%.

Contoh:

  • Peserta A mengajukan Rp 900 juta, Peserta B Rp 1 miliar, dan Peserta C Rp 1,1 miliar.
  • Maka, NPH Peserta A = (900/900) × 100 = 100
  • NPH Peserta B = (900/1000) × 100 = 90
  • NPH Peserta C = (900/1100) × 100 ≈ 81,82

Nilai ini akan dikalikan dengan bobot harga dan digabungkan dengan skor teknis untuk menentukan skor akhir.

b. Total Cost of Ownership (TCO)

Dalam pengadaan yang kompleks, terutama yang melibatkan teknologi, alat berat, atau infrastruktur, hanya menilai harga beli (capital cost) tidak cukup. Harus diperhitungkan juga:

  • Biaya pengoperasian dan pemeliharaan rutin (O&M).
  • Biaya pelatihan personel pengguna.
  • Biaya suku cadang dan layanan purna jual.
  • Estimasi konsumsi energi atau bahan bakar.

Penawaran dengan harga beli yang rendah tetapi biaya operasional sangat tinggi selama masa pakai, akan menghasilkan TCO yang lebih besar dibanding peserta lain yang menawarkan harga beli lebih tinggi namun efisien di masa depan. Oleh karena itu, pendekatan TCO memastikan penghematan jangka panjang.

c. Penyesuaian Harga (Correction Factor)

Dalam beberapa situasi, perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga penawaran berdasarkan faktor-faktor non-teknis namun relevan, seperti:

  • Diskon pembayaran cepat (early payment discount).
  • Insentif kinerja (bonus untuk percepatan).
  • Penalti atas keterlambatan (apakah ditanggung penyedia?).

Panitia dapat memperhitungkan koreksi harga dalam model matematis untuk menyempurnakan perbandingan antar-penawaran. Misalnya, penawaran dengan diskon 2% untuk pembayaran 15 hari bisa mendapatkan koreksi nilai harga yang meningkatkan daya saingnya.

4.3. Prosedur Evaluasi Harga

Tahap ini terdiri atas serangkaian langkah sistematis dan terdokumentasi yang harus diikuti panitia untuk menjamin hasil evaluasi harga berbasis data, dapat diaudit, dan tidak menimbulkan interpretasi ganda.

a. Verifikasi Harga Penawaran

Langkah awal adalah memverifikasi bahwa harga yang dicantumkan peserta:

  • Sudah mencakup semua komponen biaya, termasuk PPN, PPh, biaya distribusi, dan administrasi.
  • Tidak mengandung biaya tersembunyi atau bersyarat, seperti “harga akan berubah tergantung kurs” atau “biaya pengiriman ditanggung kemudian”.
  • Konsisten antara harga satuan dan harga total. Ketidaksesuaian antara keduanya harus dikoreksi sesuai ketentuan RFP.

Jika ditemukan kesalahan matematis atau penggandaan item, panitia harus merujuk pada ketentuan koreksi dalam dokumen pengadaan. Kesalahan kecil dapat dikoreksi, namun kesalahan besar yang memengaruhi struktur harga secara signifikan dapat menyebabkan diskualifikasi.

b. Penghitungan NPH Secara Sistematis

Dalam sistem e-Procurement (SPSE), perhitungan NPH dilakukan secara otomatis setelah harga peserta dimasukkan ke dalam sistem. Ini menghindari kesalahan manual dan mempercepat evaluasi.

Jika pengadaan dilakukan secara manual atau semi-digital, maka perhitungan NPH dilakukan oleh panitia dengan menggunakan spreadsheet resmi yang telah dibakukan dan diverifikasi.

c. Integrasi dengan Skor Teknis

Nilai akhir peserta ditentukan melalui formula integratif:

Skor Akhir=(Skor Teknis×Bobot Teknis)+(NPH×Bobot Harga)

Contoh:

  • Peserta A: Skor Teknis 85, NPH 100
  • Peserta B: Skor Teknis 90, NPH 90
  • Bobot Teknis 70%, Harga 30%

Maka:

  • Skor Akhir A = (85×70%) + (100×30%) = 59,5 + 30 = 89,5
  • Skor Akhir B = (90×70%) + (90×30%) = 63 + 27 = 90

Peserta B menang walaupun NPH-nya lebih rendah, karena keunggulan pada aspek teknis.

d. Pengumuman Skor Harga

Sesuai prinsip transparansi, hasil evaluasi harga harus disampaikan secara resmi:

  • Ditampilkan dalam berita acara evaluasi.
  • Dimuat di SPSE atau papan pengumuman elektronik pengadaan.
  • Disertai penjelasan mengenai metode dan perhitungan, termasuk koreksi jika ada.

Dokumen ini menjadi rujukan jika terjadi sanggahan atau audit di kemudian hari.

4.4. Tantangan dan Solusi

Evaluasi harga bukan tanpa kendala. Banyak dinamika yang dapat menyulitkan panitia, baik dari sisi struktur penawaran, strategi peserta, hingga kapasitas SDM evaluasi. Berikut tantangan paling umum beserta pendekatan solusinya:

a. Harga Diskon Berlebihan (Predatory Pricing)

Beberapa peserta mengajukan harga sangat rendah untuk memenangkan tender, lalu mengompensasi dengan menurunkan kualitas. Hal ini bisa memicu:

  • Gagal fungsi pada infrastruktur atau barang.
  • Permintaan addendum harga di tengah pelaksanaan.

Solusi:

  • Terapkan prinsip TCO.
  • Lakukan klarifikasi teknis ulang jika ada kecurigaan predatory pricing.
  • Tanyakan spesifikasi detail dan uji kualitas produk.
b. Perbandingan Tidak Setara

Penawaran dari peserta sering memiliki struktur harga yang berbeda: ada yang menyatukan komponen, ada yang memisah, bahkan ada yang menyisipkan item tidak diminta.

Solusi:

  • Terapkan format baku daftar kuantitas dan harga (Bill of Quantity/BoQ).
  • Wajibkan peserta mengisi format template harga yang disediakan sistem.
  • Tolak penawaran yang tidak sesuai format atau tambahkan penalti administratif.
c. Manipulasi Struktur Harga (Mother Bid)

Mother bid adalah strategi rekayasa harga oleh sekelompok vendor untuk membuat satu peserta “ditunjuk menang” dengan skenario harga tertentu, sedangkan yang lain hanya penggembira.

Solusi:

  • Audit struktur harga secara independen oleh inspektorat atau tim APIP.
  • Periksa konsistensi antara biaya overhead, profit, dan komponen material.
  • Gunakan big data e-catalogue atau referensi harga pemerintah untuk benchmark.
d. Ketidakmampuan Memverifikasi Harga Pasar

Jika tim pengadaan tidak memiliki referensi harga pasar terkini, mereka bisa salah menilai apakah harga penawaran wajar atau tidak.

Solusi:

  • Gunakan e-Katalog LKPP dan aplikasi SiRUP untuk menilai kewajaran harga.
  • Konsultasikan dengan dinas teknis dan instansi sektoral terkait.
  • Gunakan referensi harga tahun-tahun sebelumnya sebagai baseline.

Dengan pelaksanaan evaluasi harga yang teliti dan berbasis sistem, proses pengadaan menjadi lebih kredibel, partisipatif, dan akuntabel. Tahap ini tidak bisa disepelekan, karena keputusan yang keliru akan berdampak pada efisiensi anggaran negara dan keberhasilan layanan publik yang diharapkan dari proyek tersebut.

5. Integrasi Hasil dan Penetapan Pemenang

Setelah tahapan evaluasi administrasi, teknis, dan harga selesai dilakukan, tibalah saat yang sangat krusial dalam seluruh proses pengadaan, yaitu integrasi hasil evaluasi dan penetapan pemenang. Tahapan ini bukan hanya bersifat administratif, melainkan juga simbol kepercayaan publik terhadap integritas proses tender. Karena itu, integrasi hasil evaluasi tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa atau serampangan. Semua temuan, nilai, rekomendasi, dan catatan evaluasi harus diharmonisasi, direkonsiliasi, dan dituangkan dalam bentuk dokumen resmi yang dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan.

5.1. Konsolidasi Berita Acara Evaluasi

Setiap tahapan evaluasi sebelumnya—baik administrasi, teknis, maupun harga—akan menghasilkan Berita Acara Evaluasi Tahap, yang masing-masing ditandatangani oleh anggota panitia pengadaan yang terkait dengan tahapan tersebut. Di tahap integrasi, seluruh berita acara tersebut harus digabung dalam satu dokumen utuh, yaitu Berita Acara Evaluasi Gabungan.

Dokumen ini mencantumkan:

  • Daftar lengkap peserta yang mengikuti tender.
  • Status kelolosan administrasi masing-masing peserta.
  • Skor teknis dan bobot teknis masing-masing peserta yang lolos administrasi.
  • Nilai NPH dan skor akhir yang dihitung dari kombinasi teknis dan harga.
  • Rekomendasi pemenang tender berdasarkan skor akhir tertinggi.

Penting dicatat bahwa dokumen ini harus ditandatangani seluruh anggota panitia yang terlibat dalam evaluasi dari awal hingga akhir. Ketiadaan tanda tangan salah satu anggota tanpa alasan yang sah bisa membuka ruang gugatan hukum atau sanggahan dari peserta.

5.2. Verifikasi Konsistensi dan Harmonisasi Nilai

Sebelum dokumen ini ditetapkan sebagai dasar penetapan pemenang, panitia harus melakukan verifikasi silang untuk memastikan bahwa:

  • Tidak ada perubahan nilai teknis/harga yang tidak disertai alasan tertulis.
  • Bobot penilaian yang digunakan sesuai dengan yang diumumkan dalam RFP atau KAK.
  • Format dokumen dan urutan peserta konsisten di seluruh tahapan evaluasi.

Apabila terdapat ketidaksesuaian atau perbedaan nilai antar evaluator teknis, maka panitia wajib melakukan rapat harmonisasi nilai untuk menyepakati skor akhir yang adil dan berdasar.

5.3. Masa Sanggah

Setelah pemenang tender diumumkan, proses belum serta merta selesai. Undang-undang memberikan waktu masa sanggah selama 2×24 jam sejak tanggal pengumuman, di mana peserta lain memiliki hak penuh untuk menyampaikan keberatan secara tertulis dan berbasis bukti. Selama masa ini, panitia dilarang menandatangani kontrak kerja sama atau melanjutkan ke pelaksanaan teknis.

Hal-hal penting dalam masa sanggah:

  • Panitia harus siaga dan menyediakan kanal resmi (email SPSE, nomor telepon) untuk menerima sanggahan.
  • Setiap sanggahan wajib dicatat dan ditanggapi secara tertulis maksimal 5 hari kerja setelah diterima.
  • Bila sanggahan dinilai tidak berdasar, proses dilanjutkan ke penetapan. Namun bila sanggahan terbukti relevan, panitia wajib melakukan koreksi dan mengumumkan ulang hasil evaluasi.

Dengan memberikan ruang ini, sistem tender menunjukkan komitmennya terhadap mekanisme koreksi internal (internal remedies) sebelum peserta menempuh jalur hukum seperti ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

5.4. Rapat Penetapan Pemenang dan Pengumuman Resmi

Setelah masa sanggah berlalu tanpa adanya keberatan, atau setelah seluruh sanggahan ditanggapi secara profesional dan tidak terbukti, maka panitia akan melakukan rapat final untuk menyampaikan rekomendasi pemenang tender kepada:

  • Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
  • Atau Kepala Instansi (untuk tender strategis).

Dalam rapat ini, biasanya disertai pemaparan:

  • Skor peserta 1 per 1 dalam bentuk matriks pembanding.
  • Argumentasi pemilihan pemenang, bukan hanya karena harga terendah, tetapi kombinasi teknis dan harga (best value for money).
  • Risiko atau catatan khusus terkait pelaksanaan kontrak.

Setelah disetujui, maka nama pemenang akan diumumkan secara resmi melalui:

  • Portal SPSE.
  • Papan pengumuman unit pengadaan.
  • Surat elektronik kepada peserta lain.

6. Studi Kasus dan Best Practices

Agar lebih konkret, bagian ini menyajikan pembelajaran dari praktik nyata pengadaan dan juga sejumlah rekomendasi (best practices) yang dapat diadopsi oleh panitia pengadaan di mana pun.

6.1. Studi Kasus: Pengadaan Konstruksi Jalan Daerah

Dalam proyek pembangunan jalan kabupaten sepanjang 5 km dengan nilai HPS sebesar Rp 50 miliar, panitia pengadaan menghadapi tantangan klasik dalam mengelola banyak peserta dengan variasi dokumen yang kompleks. Tercatat ada 10 peserta yang mendaftar, dan seluruhnya mengunggah dokumen secara daring melalui SPSE.

Tahap Administrasi:
Dua peserta langsung gugur karena SIUP mereka tidak mencantumkan kode KBLI yang relevan dengan pekerjaan konstruksi jalan. Panitia memverifikasi dokumen melalui OSS dan menemukan SIUP tersebut hanya berlaku untuk jasa konstruksi bangunan gedung, bukan jalan.

Tahap Teknis:
Dari 8 peserta yang lolos, dua di antaranya mengajukan metodologi pengerjaan pemadatan aspal menggunakan teknologi yang tidak diakui dalam standar nasional (SNI). Meskipun harga yang mereka tawarkan tergolong rendah, skor teknis mereka rendah (di bawah ambang batas 70), sehingga tidak masuk tahap evaluasi harga.

Tahap Harga:
Enam peserta masuk ke evaluasi harga. Setelah dihitung menggunakan formula NPH, satu peserta muncul dengan skor akhir 88,5—kombinasi antara skor teknis 75 dan harga yang kompetitif. Peserta ini akhirnya direkomendasikan sebagai pemenang.

Hasil:
Tidak ada satu pun peserta yang mengajukan sanggahan, karena semua proses terdokumentasi baik. Setiap keputusan yang diambil panitia disertai berita acara, perhitungan terbuka, dan komunikasi aktif melalui forum klarifikasi. Jadwal addendum juga diumumkan minimal 5 hari sebelum tenggat.

6.2. Best Practices: Rekomendasi Praktik Terbaik

Berdasarkan praktik di lapangan dan temuan dari berbagai pengadaan di sektor publik, berikut sejumlah strategi terbaik (best practices) yang sangat direkomendasikan untuk mencegah kegagalan proses tender dan menghindari sanggahan:

a. Simulasi Internal Sebelum Tender

Sebelum dokumen tender dipublikasikan, panitia melakukan simulasi evaluasi internal terhadap RFP, BoQ, dan metode penilaian. Ini berguna untuk:

  • Mendeteksi celah ambiguitas pada kriteria evaluasi.
  • Menyesuaikan bobot teknis-harga agar mencerminkan prioritas proyek.
  • Melatih panitia menggunakan sistem SPSE atau metode scoring.
b. Dual Scoring Teknis

Gunakan dua evaluator teknis yang menilai secara independen, lalu hasilnya digabungkan dan dihitung rata-rata. Teknik ini mencegah:

  • Subjektivitas penilai.
  • Konflik kepentingan.
  • Salah tafsir spesifikasi teknis.
c. Audit Trail Otomatis

Manfaatkan fitur audit trail dalam SPSE untuk merekam semua tindakan:

  • Siapa mengunggah dokumen.
  • Kapan dokumen dibuka, diedit, dinilai.
  • Siapa yang menandatangani evaluasi.

Jejak digital ini berguna jika terjadi audit dari BPK atau dalam menghadapi gugatan.

d. Analisis Total Cost of Ownership (TCO)

Terapkan TCO terutama untuk pengadaan aset jangka panjang seperti alat berat, sistem IT, atau infrastruktur air. Ini memastikan panitia tidak terjebak pada harga murah tetapi biaya pemeliharaan tinggi.

e. Addendum Minimal 3 Hari Kerja Sebelum Penutupan

Apabila terjadi perubahan dokumen, waktu minimal 3 hari kerja diberikan agar peserta memiliki waktu cukup untuk menyesuaikan penawaran. Addendum mendadak di akhir batas waktu rawan menjadi dasar sanggahan.

Dengan tahapan integrasi hasil dan studi kasus yang kaya akan pembelajaran lapangan seperti ini, diharapkan panitia pengadaan dan semua pemangku kepentingan memahami bahwa evaluasi tender bukanlah sekadar tahapan administratif, tetapi sebuah sistem kompleks yang harus dijalankan dengan transparansi, konsistensi, dan integritas penuh. Proses ini menjadi fondasi kepercayaan publik terhadap penggunaan anggaran negara, dan dengan penerapan praktik terbaik, kita dapat mendorong kualitas belanja pemerintah yang lebih efektif dan efisien.

7. Rekomendasi dan Kesimpulan

7.1. Rekomendasi Praktis: Membangun Proses Evaluasi yang Kuat dan Tahan Sanggahan

Untuk memastikan bahwa evaluasi tender tidak hanya berjalan sesuai prosedur, tetapi juga tahan terhadap kritik dan potensi sanggahan, maka diperlukan pendekatan proaktif berbasis sistem, kompetensi, dan teknologi. Beberapa rekomendasi berikut disusun untuk memperkuat fondasi proses evaluasi pengadaan secara menyeluruh:

a. Standarisasi Dokumen Evaluasi dengan Checklist Multi-level

Salah satu sumber utama kekeliruan dalam evaluasi administrasi dan teknis adalah ketidakseragaman format dan isi dokumen, baik yang dikirim oleh peserta maupun yang diperiksa oleh panitia. Oleh karena itu, diperlukan template dokumen dan checklist multi-level yang:

  • Dirancang berdasarkan Perpres dan Juknis LKPP terbaru.
  • Membedakan antara syarat wajib dan syarat tambahan.
  • Memiliki kolom “verifikasi lapangan” untuk memastikan dokumen bukan hanya formalitas, tapi memiliki validitas nyata.

Checklist ini juga harus diisi oleh dua personel berbeda sebagai bentuk verifikasi silang (cross check) agar peluang error akibat kelalaian individu dapat diminimalkan.

b. Pelatihan Evaluator secara Berkala dan Terfokus

Seringkali, panitia pengadaan hanya diberikan pelatihan awal saat pertama kali ditugaskan, tanpa penyegaran atau simulasi rutin. Padahal peraturan terus berubah, pendekatan evaluasi semakin kompleks, dan teknologi pengadaan terus berkembang. Untuk itu, pelatihan teknis dan simulasi evaluasi perlu dilakukan secara berkala dengan fokus pada:

  • Penerapan rubric evaluasi yang objektif dan terukur.
  • Identifikasi risiko manipulasi dokumen atau harga.
  • Penggunaan sistem SPSE dan fitur audit trail secara optimal.

Selain itu, simulasi role play (misalnya, sebagai peserta yang mengajukan sanggahan) dapat memperkuat sensitivitas panitia terhadap potensi konflik dan meningkatkan kualitas keputusan evaluatif.

c. Integrasi Teknologi: e-Procurement Adaptif dan Chatbot Informasi

Sistem pengadaan elektronik (e-Procurement) saat ini masih dominan digunakan untuk unggah dokumen dan input penawaran. Namun untuk evaluasi yang andal, sistem digital yang adaptif perlu dikembangkan, termasuk fitur:

  • Auto-verifikasi dokumen berdasarkan tanggal berlaku, format, dan lampiran yang wajib.
  • Perhitungan otomatis skor teknis dan harga berdasarkan input nilai manual evaluator.
  • Chatbot FAQ untuk menjawab pertanyaan peserta secara real-time terkait format dokumen, jadwal tender, dan kriteria evaluasi.

Teknologi seperti ini tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga mengurangi beban komunikasi panitia, menghindari salah informasi, dan memperkecil kemungkinan sanggahan karena miskomunikasi.

d. Transparansi Maksimal: Evaluasi yang Bisa Diaudit dan Diakses

Setiap hasil evaluasi sebaiknya tidak hanya diumumkan dalam satu paragraf ringkas, melainkan:

  • Disertai lampiran skor teknis dan skor harga peserta.
  • Dicantumkan alasan diskualifikasi secara singkat namun substantif.
  • Diberikan akses terbatas ke skor yang diberikan oleh masing-masing evaluator (tanpa nama) untuk menunjukkan objektivitas.

Model ini sudah banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem pengadaan canggih, seperti Korea Selatan dan Estonia, yang menekankan bahwa transparansi bukan hanya soal keterbukaan harga, tetapi keterbukaan proses dan alasan di balik setiap keputusan.

e. Audit Internal dan Audit Eksternal Berkala

Rekomendasi terakhir adalah pentingnya memiliki siklus audit internal dalam unit pengadaan. Audit ini dilakukan minimal setiap triwulan untuk:

  • Menelusuri potensi kelemahan prosedural pada tender sebelumnya.
  • Mendeteksi pola gugurnya peserta yang terlalu seragam (indikasi diskriminasi).
  • Mengevaluasi konsistensi scoring antar proyek atau antar evaluator.

Audit juga dapat dilakukan oleh pihak independen seperti Inspektorat Daerah, BPKP, atau bahkan tim khusus bentukan kepala daerah, agar proses pengadaan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral dan etis dalam pandangan publik.

7.2. Kesimpulan: Evaluasi Tender adalah Fondasi Integritas Belanja Negara

Mengelola proses evaluasi tender bukan sekadar menjalankan prosedur administratif, tetapi sejatinya adalah menjalankan mandat etis dan legal untuk memastikan bahwa setiap rupiah uang negara dibelanjakan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Oleh karena itu, urutan evaluasi administrasi → teknis → harga bukan sekadar warisan sistem atau formalitas birokrasi, melainkan mekanisme penyaringan bertingkat untuk memastikan bahwa:

  • Hanya peserta yang memiliki legalitas sah yang dapat melanjutkan ke tahapan teknis.
  • Hanya peserta yang menawarkan solusi terbaik dan sesuai kebutuhan pengguna yang masuk tahap evaluasi harga.
  • Hanya peserta yang menawarkan harga terbaik dalam bingkai kualitas dan keandalan teknis yang dapat ditetapkan sebagai pemenang.

Kegagalan memahami urutan ini seringkali menjadi sumber utama sanggahan, konflik antar peserta, hingga potensi korupsi dalam pengadaan. Sebaliknya, keberhasilan menerapkannya secara konsisten akan mempercepat pelaksanaan proyek, menurunkan biaya sengketa, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem pengadaan pemerintah.

Untuk itu, panitia pengadaan di semua tingkatan—dari pusat hingga daerah—perlu terus memperbarui kompetensinya, memperkuat sistemnya, dan memperluas kolaborasi lintas sektor agar proses evaluasi tender menjadi contoh nyata praktik tata kelola yang baik (good governance).