Penawaran di Bawah HPS: Risiko atau Peluang?

Pendahuluan

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah salah satu tolok ukur penting dalam proses pengadaan barang/jasa. HPS menjadi acuan bagi panitia untuk menilai kewajaran harga penawaran dan mengidentifikasi anomali. Namun dalam praktik lelang sering muncul penawaran yang nilainya berada di bawah HPS — apakah ini tanda efisiensi dan persaingan sehat, atau justru alarm risiko yang harus diwaspadai? Pertanyaan ini bukan sekadar akademis: keputusan menerima atau menolak penawaran di bawah HPS memiliki konsekuensi finansial, teknis, dan hukum.

Artikel ini membedah fenomena penawaran di bawah HPS dari berbagai sudut: definisi dan dasar penetapan HPS, motivasi penyedia mengajukan harga lebih rendah, risiko nyata yang mungkin menyertainya, peluang strategis yang bisa dimanfaatkan, serta langkah praktis yang dapat diambil panitia dan penyedia untuk menilai serta mengelola situasi secara profesional. Setiap bagian memberikan penjelasan, indikator yang perlu diperiksa, dan rekomendasi tindakan konkret. Tujuannya memberi panduan yang seimbang: tidak menyudutkan penawar murah secara otomatis, namun juga tidak membiarkan keputusan penting dibuat tanpa verifikasi dan mitigasi. Mari kita uraikan mekanisme dan prinsip yang perlu dipahami agar keputusan pengadaan tetap efisien, adil, dan terlindungi dari risiko.

1. Apa itu HPS dan Dasar Penetapannya

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah estimasi biaya yang dibuat oleh pemilik proyek atau panitia pengadaan sebagai pedoman kewajaran harga saat proses tender. HPS dirancang berdasarkan survei pasar, histori pengadaan sebelumnya, katalog, referensi vendor, hingga perhitungan komponen biaya (material, tenaga kerja, overhead, margin). HPS bukan sekadar angka; ia mewakili ekspektasi owner terhadap biaya yang layak untuk mendapatkan barang/jasa dengan spesifikasi dan kualitas tertentu.

Penetapan HPS idealnya dilakukan melalui langkah sistematis. Pertama, identifikasi komponen biaya utama: daftar bill of quantities (BOQ) untuk proyek fisik, spesifikasi item dan quantity untuk barang, atau scope of work untuk jasa. Kedua, lakukan market survey: bandingkan harga supplier, data e-katalog, dan penawaran historis. Ketiga, tambahkan asumsi wajar untuk biaya logistik, pajak, dan kontinjensi. Terakhir periksa implikasi waktu: apakah ada volatilitas harga bahan baku atau kurs yang perlu diindeks. Semua langkah ini didokumentasikan agar HPS dapat dipertanggungjawabkan secara audit.

Karena HPS bergantung pada asumsi dan data yang tersedia, ia memiliki rentang ketidakpastian. Faktor eksternal—mis. perubahan harga global, fluktuasi kurs, atau inovasi teknologi—dapat membuat HPS cepat usang. Oleh sebab itu HPS sebaiknya dinyatakan lengkap dengan catatan asumsi, periode referensi data, dan margin toleransi. Dalam praktik pengadaan, HPS sering dipakai sebagai alat screening awal: penawaran jauh di atas HPS memerlukan klarifikasi untuk membuktikan komponen biaya yang tinggi, sementara penawaran jauh di bawah HPS menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan realisasi harga tersebut.

Penting juga memahami perbedaan konteks HPS berdasarkan jenis pengadaan: untuk barang standar dengan banyak sumber, HPS cenderung akurat dan kompetitif; untuk barang/layanan khusus atau proyek infrastruktur kompleks, HPS mengandung unsur estimasi yang lebih besar. Memahami proses pembuatan HPS membantu panitia dan pemangku kepentingan menilai apakah penawaran di bawahnya wajar atau membutuhkan investigasi lebih lanjut.

2. Mengapa Penyedia Mengajukan Penawaran di Bawah HPS: Motif dan Strategi

Ketika penyedia menawarkan harga di bawah HPS, motif di baliknya bisa beragam — mulai dari strategi bisnis wajar hingga praktik berisiko. Memahami motivasi ini membantu panitia memutuskan apakah fenomena tersebut adalah peluang kompetitif atau sinyal bahaya.

Salah satu motif wajar adalah strategi penetrasi pasar. Penyedia baru atau yang ingin memperluas pangsa pasar mungkin menurunkan margin untuk memenangkan kontrak, dengan harapan mendapatkan track record, referensi, atau peluang pekerjaan lanjutan. Ini umum pada penyedia yang punya modal kuat dan strategi jangka panjang. Di sisi lain, penyedia mungkin memiliki efisiensi biaya nyata—mis. akses bahan baku lebih murah, proses produksi yang otomatis, atau penggunaan teknologi yang menurunkan OPEX—sehingga mampu memberikan harga kompetitif secara berkelanjutan.

Motif lain adalah optimisasi arus kas. Penyedia yang memiliki kapasitas finansial stabil bisa menawarkan harga lebih rendah dengan syarat pembayaran yang menguntungkan mereka (mis. termin pembayaran lebih cepat atau persentase di muka). Strategi ini masuk akal bila perusahaan memiliki bargaining power pada rantai pasokan atau skala ekonomi.

Tetapi ada pula motif berisiko atau tak etis. Dumping price—menawarkan harga sangat rendah untuk mengeliminasi pesaing—dapat dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan jangka pendek (memenangkan kontrak lalu mengajukan klaim adendum atau menurunkan mutu pelaksanaan). Praktik under-quantification juga kerap muncul: penyedia memasukkan quantity lebih kecil atau mengecualikan beberapa layanan (exclusions) sehingga harga tampak rendah, tetapi kemudian menagih biaya tambahan saat pelaksanaan.

Alasan lain yang sering terlihat: salah perhitungan internal (error), regulasi yang tidak dipahami sehingga biaya tidak dihitung lengkap, atau bahkan informasi tidak lengkap mengenai kondisi lapangan. Ada juga strategi cross-subsidization jika penyedia berharap menjual produk pendukung berharga tinggi di masa depan.

Bagi panitia, mengenali motif ini memerlukan analisis konteks: profil penyedia, struktur penawaran (termin, exclusions), bukti efisiensi (bukti supplier murah, sertifikat), serta rekam jejak. Menilai motif membantu membedakan antara peluang kompetitif yang sah dan risiko yang memerlukan klarifikasi mendalam.

3. Risiko Teknis dan Operasional dari Penawaran di Bawah HPS

Penawaran di bawah HPS dapat membawa beberapa risiko teknis dan operasional yang serius jika tidak ditangani dengan benar.

  • Risiko Underperformance — penyedia mungkin memang berniat melaksanakan pekerjaan, tetapi harga yang terlalu rendah mencerminkan alokasi sumber daya yang tidak memadai: tenaga yang kurang, penggunaan material murah atau sub-standar, atau pengurangan tahapan quality control. Hasilnya adalah kualitas buruk, sering kali terlihat setelah masa serah terima ketika biaya remedial harus ditanggung owner.
  • Risiko keterlambatan. Penyedia yang berusaha menghemat biaya mungkin mengurangi jumlah tenaga atau mengandalkan subkontraktor murah yang kapasitasnya tidak sesuai, sehingga proyek meleset dari jadwal. Keterlambatan menyebabkan dampak berantai: biaya tambahan, gangguan operasional pemilik, sampai penalti atau klaim kontrak.
  • Risik keselamatan dan kepatuhan. Tekanan margin dapat membuat penyedia mengesampingkan standar K3 (keselamatan kerja) atau peraturan lingkungan untuk memangkas biaya. Pelanggaran K3 berpotensi menimbulkan kecelakaan serius, sanksi hukum, dan kerugian reputasi.
  • Risiko finansial terhadap pemilik proyek. Penawaran di bawah HPS kerap diikuti oleh permintaan adendum atau perubahan scope (change order) ketika kondisi nyata di lapangan tidak sesuai asumsi penyedia. Hal ini berpotensi menyebabkan biaya akhir jauh melampaui estimasi awal, bahkan lebih tinggi daripada jika pemilihan awal dilakukan berdasarkan penawaran wajar.
  • Risiko supply chain. Penyedia yang menawar murah kemungkinan tergantung pada satu sumber pemasok murah tanpa alternatif, meningkatkan risiko keterlambatan atau kualitas tak terjamin. Jika pemasok tersebut gagal, dampaknya langsung ke proyek.

Mitigasi terhadap risiko-risiko ini memerlukan verifikasi teknis dan operasional menyeluruh sebelum pengumuman pemenang: onsite visit untuk cross-check klaim pengalaman, uji sample material, verifikasi kapasitas peralatan, dan memastikan rencana manajemen mutu. Kontrak harus memuat pasal proteksi (performance bond, retensi, milestone acceptance) serta sanksi tegas jika mutu atau jadwal tidak tercapai. Tanpa langkah mitigasi tersebut, memilih penawaran di bawah HPS bisa berubah dari peluang menjadi jebakan finansial dan reputasional.

4. Risiko Finansial dan Hukum dari Penawaran di Bawah HPS

Selain aspek teknis, penawaran di bawah HPS juga memunculkan risiko finansial dan hukum yang tidak boleh diabaikan. Dari sisi finansial, risiko paling langsung adalah kemungkinan biaya tersembunyi dan perubahan kontraktual yang membengkakkan anggaran. Penyedia yang tidak bisa menutupi biaya pelaksanaan mungkin mengajukan klaim perubahan atau harga tambahan dengan dalih kondisi lapangan berbeda, ketentuan yang ambigu, atau kebutuhan tambahan yang, menurut mereka, tidak termasuk dalam scope awal.

Risiko likuiditas bagi penyedia juga dapat berimbas pada proyek: penyedia yang kehabisan modal saat proyek berjalan bisa menghentikan pekerjaan, meminta fase pembayaran lebih awal, atau bahkan pailit — yang memaksa owner mencari mitra pengganti dengan biaya lebih tinggi dan jeda waktu signifikan. Untuk owner, risiko ini berarti potensi beban finansial berkali lipat.

Dari sisi hukum, penawaran di bawah HPS memicu risiko sengketa. Jika panitia mengabaikan indikator anomali dan kemudian menutup kontrak, pihak lain dapat mengajukan keberatan administrasi, terutama jika ada dugaan prosedural tidak wajar atau konflik kepentingan dalam proses evaluasi. Sebaliknya, jika panitia menolak penawaran murah tanpa alasan operasional yang jelas, penyedia dapat menggugat keputusan tersebut melalui mekanisme banding pengadaan. Oleh karena itu keputusan menolak atau menerima penawaran harus dibangun atas dasar verifikasi dan dokumentasi yang kuat.

Masalah lain: penawaran di bawah HPS yang disertai dokumen palsu (mis. pengalaman fiktif, laporan keuangan yang dimanipulasi) menimbulkan risiko pidana dan perdata. Bila ditemukan bukti pemalsuan, tindakan hukum terhadap penyedia dapat ditempuh, namun proses ini memakan waktu dan sering berujung pada proyek yang terganggu.

Pengaturan kontraktual menjadi kunci mitigasi: klausul payment milestones terikat deliverables, performance bond yang memadai, retensi pembayaran, serta klausul penalti keterlambatan dan jaminan purna jual. Selain itu, panitia harus memastikan proses evaluasi transparan, ada audit trail untuk setiap keputusan, dan dokumentasi verifikasi yang jelas agar jika terjadi sengketa, lembaga memiliki bukti kuat atas alasan yang diambil.

5. Peluang dari Penawaran di Bawah HPS: Efisiensi, Inovasi, dan Kompetisi Sehat

Walaupun ada risiko, penawaran di bawah HPS tidak selalu negatif. Dalam kondisi tertentu, proposal murah dapat mencerminkan efisiensi nyata, inovasi proses, atau dinamika kompetisi yang sehat. Menyikapi fenomena ini secara lump-sum sebagai ancaman membuat pemilik proyek kehilangan kesempatan nilai tambah.

  • Efisiensi biaya yang sah. Perusahaan dengan rantai pasok yang efisien, skala produksi besar, atau teknologi otomasi dapat mengurangi biaya unit tanpa mengurangi kualitas. Jika penawaran disertai bukti efisiensi (kontrak pasokan bahan baku dengan harga khusus, penggunaan teknologi hemat biaya, fuel efficiency), hal ini layak dihargai. Dalam kasus seperti ini, owner mendapatkan value for money: output yang sama atau lebih baik dengan biaya lebih rendah.
  • Inovasi produk atau metode pelaksanaan. Penyedia yang mengusulkan metode modular, prefab, atau metode konstruksi cepat dapat memangkas biaya tenaga dan waktu, sehingga mampu menawar lebih rendah. Untuk proyek IT, penggunaan open-source atau arsitektur cloud yang lebih murah dibandingkan solusi on-premises juga dapat menurunkan total cost.
  • Kompetisi pasar yang sehat. Penawaran di bawah HPS kadang merupakan sinyal kompetisi tinggi, terutama di sektor dengan banyak pemain. Hal ini menekan harga pasar ke tingkat yang lebih menguntungkan pemilik anggaran—selama kompetisi tidak melahirkan praktik destruktif.
  • Peluang untuk owner dalam negosiasi value addition. Bila panitia proaktif, penawaran murah bisa menjadi basis negosiasi untuk memperluas scope yang memberikan manfaat lebih (mis. menambah training, perpanjangan garansi, atau perbaikan layanan purna jual) tanpa menambah biaya signifikan bagi penyedia.

Namun, memetik peluang ini memerlukan ketelitian: bukti efisiensi harus diverifikasi; inovasi harus diuji; dan mekanisme kontrak dibuat untuk mengikat kesepakatan. Bila semua diverifikasi, penawaran di bawah HPS bisa menjadi win-win—meningkatkan efisiensi pengeluaran publik sambil memberi peluang bisnis bagi penyedia yang inovatif dan efisien.

6. Langkah Verifikasi dan Klarifikasi yang Harus Dilakukan Panitia

Ketika menerima penawaran di bawah HPS, panitia tidak boleh langsung menolak atau langsung menerima; langkah verifikasi dan klarifikasi yang sistematis harus dilakukan. Proses ini bertujuan memastikan fairness sekaligus mengungkap alasan di balik harga rendah.

  • Screening administratif. Periksa kelengkapan dokumen wajib: surat penawaran, NPWP, NIB/SIUP, laporan keuangan, jaminan penawaran, dan surat kuasa bila ada. Ketidaksesuaian administratif harus diklarifikasi terlebih dahulu, namun jangan memberi peluang memperbaiki substansi yang mengubah kompetisi.
  • Cek aritmatika dan BOQ. Pastikan perhitungan unit price × quantity konsisten, tidak ada under-quantification yang disengaja. Periksa apakah beberapa item penting dikecualikan (exclusions) yang membuat total terlihat lebih rendah.
  • Klarifikasi termin dan syarat pembayaran. Terkadang harga rendah disertai termin yang menguntungkan penyedia (mis. 80% di muka). Evaluasi dampaknya terhadap cashflow owner dan tambahkan NPV jika relevant.
  • Verifikasi teknis dan kapasitas. Mintalah bukti supplier, datasheet, sertifikat, atau bukti pengalaman (kontrak, BAST, surat klien). Untuk klaim efisiensi atau teknologi baru, minta demonstrasi teknis, sample, atau FAT/SAT. Kunjungan lapangan pada proyek referensi menyentuh aspek verifikasi performance.
  • Cek financial capability. Verifikasi laporan keuangan, surat keterangan bank, fasilitas kredit, atau track record penyelesaian proyek sejenis. Penyedia dengan modal kerja yang lemah adalah risiko.
  • Validasi legalitas dan reputasi. Cek apakah perusahaan sedang menjalani litigasi besar, atau pernah kena sanksi. Sumber publik dan referensi klien membantu di sini.
  • Semua temuan harus dicatat dalam Berita Acara Klarifikasi. Jika jawaban memadai dan bukti valid, panitia bisa melanjutkan evaluasi. Jika jawaban tidak memadai atau terindikasi manipulasi, panitia berhak menilai penawaran tidak layak atau mengajukan diskualifikasi sesuai peraturan. Proses verifikasi yang transparan dan terdokumentasi menjaga integritas proses dan meminimalkan risiko sengketa.

7. Mekanisme Kontrak dan Syarat untuk Memitigasi Risiko Jika Memilih Penawar Murah

Jika panitia memutuskan menerima penawar di bawah HPS setelah verifikasi, perlu langkah kontraktual proaktif untuk mengurangi risiko. Kontrak harus dirancang tidak hanya sebagai dokumen komersial tetapi juga sebagai alat mitigasi risiko.

  • Performance bond atau jaminan pelaksanaan. Besaran bond bisa lebih tinggi untuk penawar murah atau disesuaikan dengan tingkat risiko proyek. Jaminan ini memberikan jaminan finansial bila penyedia gagal memenuhi kewajiban.
  • Penetapan milestone dan pembayaran berbasis deliverables. Hindari pembayaran besar di muka. Struktur pembayaran yang mengikat pembayaran pada pencapaian milestone teknis menekan perilaku oportunistik. Tambahkan acceptance testing (FAT/SAT) dan criteria yang jelas agar pembayaran hanya dilakukan setelah verifikasi independen.
  • Retensi dan warranty period. Simpan sebagian pembayaran (retention) hingga masa pemeliharaan selesai. Perpanjangan warranty period atau kewajiban perbaikan tanpa biaya memperkecil kemungkinan pengurangan kualitas.
  • Klausul penalti dan liquidated damages. Tetapkan penalti yang proporsional untuk keterlambatan dan pelanggaran mutu. Klausul ini harus jelas metodenya dan jumlahnya sehingga efektif sebagai deterrent.
  • Right-to-audit dan reporting requirement. Sertakan hak owner mereview pembukuan proyek, mekanisme pencatatan biaya, dan requirement reporting reguler. Transparansi ini membuat penyedia sulit melakukan creative accounting atau penggelembungan klaim.
  • Subcontracting approval. Batasi penggunaan subkontraktor kritikal tanpa persetujuan owner. Jika penyedia menggunakan subkontraktor murah tanpa kapasitas yang memadai, risiko berkali lipat.
  • Garansi suku cadang dan dukungan purna jual. Untuk barang impor atau sistem teknologi, minta komitmen availability spare parts dalam jangka tertentu.

Pengaturan kontraktual yang kuat menjaga kepentingan owner dan memberi insentif bagi penyedia untuk melaksanakan pekerjaan sesuai amanat. Selalu libatkan penasihat hukum dan unit keuangan saat menyusun klausul mitigasi agar dapat ditegakkan jika terjadi pelanggaran.

8. Rekomendasi Praktis untuk Panitia dan Penyedia: Checklist Keputusan

Untuk memudahkan praktik sehari-hari, berikut checklist praktis yang membantu panitia dan penyedia menghadapi situasi penawaran di bawah HPS.

Untuk Panitia:

  1. Pastikan HPS terdokumentasi lengkap dengan asumsi dan sumber data.
  2. Saat ada penawaran di bawah HPS, lakukan verifikasi administratif dan aritmatika segera.
  3. Periksa BOQ dan cari under-quantification atau exclusions.
  4. Klarifikasi termin pembayaran dan hitung NPV bila relevan.
  5. Verifikasi teknis (datasheet, sertifikat, FAT/SAT, kunjungan referensi).
  6. Periksa kapasitas finansial (laporan keuangan, keterangan bank).
  7. Tentukan mitigasi kontraktual jika memilih penawar murah (performance bond, milestone).
  8. Dokumentasikan semua langkah: permintaan klarifikasi, jawaban, verifikasi pihak ketiga, dan berita acara.
  9. Lakukan uji sensitivitas: bagaimana hasil bila ada kenaikan biaya 10–20%?
  10. Komunikasikan keputusan secara transparan dan sediakan mekanisme banding.

Untuk Penyedia:

  1. Hitung semua komponen biaya dengan rinci; hindari under-quoting.
  2. Jika menawarkan harga rendah sebagai strategi, sertakan penjelasan logis dan bukti efisiensi.
  3. Pastikan termin dan syarat tidak membuat owner dirugikan (ini memperkuat proposisi).
  4. Sertakan bukti dukungan supplier, sample, atau studi kasus sebagai verifikasi.
  5. Siapkan jaminan performance dan kapasitas finansial bila diminta.
  6. Jelaskan asumsi yang dipakai dalam proposal (accessible site, owner-provided utilities, dll).
  7. Hindari klaim yang tidak bisa dibuktikan; itu memicu diskualifikasi.
  8. Sediakan rencana mitigasi risiko dan fallback plan bila kondisi berubah.

Mengikuti checklist ini membantu panitia memutuskan secara rasional dan membantu penyedia memposisikan penawaran murah sebagai peluang yang dapat dipercaya, bukan sekadar trik memenangkan tender.

Kesimpulan

Penawaran di bawah HPS bisa menjadi pisau bermata dua: di satu sisi merepresentasikan efisiensi, inovasi, dan kompetisi sehat; di sisi lain menyimpan risiko teknis, finansial, dan hukum yang signifikan jika tidak dikelola dengan matang. Kunci menghadapi fenomena ini adalah sikap netral yang berbasis bukti: bukan menolak penawaran murah secara otomatis, tetapi juga tidak menerima tanpa verifikasi.

Praktik terbaik meliputi pembuatan HPS yang transparan, verifikasi aritmatika dan BOQ, klarifikasi termin serta asumsi, pemeriksaan kapabilitas teknis dan finansial, serta penguatan klausul kontraktual bila memilih penawar murah. Dokumentasi lengkap dan audit trail menjadi penyangga hukum saat menghadapi keberatan. Bagi penyedia, harga rendah harus disertai bukti efisiensi dan komitmen pelaksanaan—untuk membedakan strategi valid dari praktik oportunistik.

Dengan pendekatan yang sistematis—checklist verifikasi, mitigasi kontraktual, dan analisis risiko—penawaran di bawah HPS dapat dimanfaatkan sebagai peluang meningkatkan nilai pengadaan, sambil meminimalkan potensi jebakan. Keputusan yang baik lahir dari keseimbangan antara keberanian mengambil kesempatan dan kehati-hatian yang didukung bukti; itulah esensi pengadaan yang profesional dan bertanggung jawab.