Menyusun spesifikasi alat kesehatan memerlukan pendekatan komprehensif yang tidak hanya memperhatikan aspek fungsi dan performa, tetapi juga regulasi ketat, standar mutu, keselamatan pasien, serta dukungan teknis jangka panjang. Dokumen spesifikasi yang disusun dengan baik akan membantu penyedia memahami kebutuhan klinis, memudahkan evaluasi, dan memastikan nilai manfaat maksimal bagi tenaga kesehatan dan pasien. Berikut ini adalah panduan mendetail untuk menyusun spesifikasi alat kesehatan secara profesional dan akuntabel:
1. Pahami Kerangka Regulasi dan Standar Keamanan Alat Kesehatan
Langkah paling mendasar namun sangat krusial dalam penyusunan spesifikasi teknis alat kesehatan adalah memahami dengan utuh seluruh regulasi dan standar keamanan yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, regulasi yang berlaku cukup kompleks dan tumpang tindih antara Kementerian Kesehatan dan lembaga teknis seperti BPOM dan BSN, sehingga diperlukan perhatian ekstra dalam memahaminya. Salah satu peraturan penting adalah Permenkes Nomor 1191/MENKES/PER/VI/2010 yang mengatur tentang registrasi dan perizinan alat kesehatan, termasuk keharusan setiap produk untuk memiliki Sertifikat Izin Edar Alat Kesehatan (AKD). Tanpa izin ini, alat tersebut tidak boleh digunakan dalam praktik pelayanan medis, meskipun secara teknis mungkin unggul.
Lebih lanjut, setiap alat kesehatan diklasifikasikan ke dalam empat kelas risiko—mulai dari Kelas I (resiko rendah) seperti tongkat bantu jalan, hingga Kelas IV (resiko sangat tinggi) seperti implant jantung dan perangkat bedah robotik. Penetapan kelas ini bukan hanya administratif, tetapi juga akan memengaruhi kedalaman spesifikasi yang harus disusun, termasuk level pengujian klinis yang dibutuhkan. Oleh karena itu, menyebutkan secara eksplisit kelas risiko alat dalam spesifikasi menjadi kewajiban logis agar penyedia dapat mengajukan bukti registrasi yang sesuai.
Di sisi lain, penyusunan spesifikasi juga harus merujuk pada standar internasional seperti ISO 13485 untuk sistem manajemen mutu pabrikan alat kesehatan, serta IEC 60601 sebagai standar keselamatan elektrik alat medis. Perangkat dengan komponen perangkat lunak juga harus tunduk pada IEC 62304, yang menjamin keamanan siklus hidup software, dari desain hingga pembaruan. Tak kalah penting adalah Permenkes No. 46 tahun 2013 yang mewajibkan pemeliharaan dan kalibrasi alat kesehatan secara berkala, termasuk uji fungsi tahunan di laboratorium kalibrasi terakreditasi KAN.
Menguasai kerangka hukum dan standar ini bukan hanya soal kepatuhan administratif, tetapi menjadi jaminan bahwa spesifikasi yang disusun sah secara hukum, kompatibel secara teknis, dan layak digunakan dalam pelayanan klinis. Tanpa pemahaman mendalam atas regulasi, penyusunan spesifikasi akan berisiko ditolak dalam proses evaluasi atau bahkan menyebabkan masalah hukum pasca pengadaan.
2. Identifikasi Kebutuhan Klinis dan Workflow Pelayanan
Spesifikasi teknis yang baik tidak hanya berbicara tentang teknologi, tetapi lebih jauh harus menjadi jawaban atas kebutuhan riil di lapangan. Oleh karena itu, setiap penyusunan spesifikasi alat kesehatan sebaiknya diawali dengan kajian mendalam terhadap kebutuhan klinis dan alur kerja (workflow) pelayanan kesehatan di fasilitas pengguna. Ini mencakup identifikasi siapa yang akan menggunakan alat tersebut, dalam kondisi apa digunakan, dan bagaimana alat tersebut berinteraksi dengan sistem lain dalam ekosistem rumah sakit atau puskesmas.
Langkah pertama adalah memahami profil pasien dan volume layanan, misalnya berapa jumlah rata-rata pasien per hari, frekuensi tindakan, dan urgensi penggunaannya. Untuk alat seperti ventilator ICU, kapasitas penggunaan 24/7 untuk pasien kritis sangat berbeda kebutuhannya dengan ventilator transport yang hanya digunakan saat pemindahan pasien. Spesifikasi teknis harus mencerminkan kapasitas kerja alat sesuai beban layanan tersebut.
Kemudian, perlu dilakukan analisis skenario penggunaan. Apakah alat akan digunakan di ruang steril seperti ruang operasi, atau di area dengan pergerakan tinggi seperti IGD? Ini akan menentukan kebutuhan fitur seperti IP rating (tahan air/debu), sistem mobilitas, desain ergonomis, dan bahkan kompatibilitas dengan vacuum line atau sistem gas medis sentral. Alat yang digunakan di lingkungan ekstrem seperti ambulans juga harus memenuhi standar guncangan (shock resistance).
Salah satu aspek paling penting adalah mendengar langsung user requirements dari para pemangku kepentingan klinis—termasuk dokter, perawat, dan teknisi. Mereka dapat memberikan wawasan kritis terkait fitur-fitur yang dianggap krusial, seperti antarmuka berbasis touchscreen, sistem alarm multi-level, protokol komunikasi data (RS-232, USB, Wi-Fi), atau integrasi ke sistem informasi rumah sakit. Wawancara mendalam dan observasi penggunaan alat yang lama bisa menjadi metode efektif dalam menyusun spesifikasi yang akurat.
Jika alat akan diintegrasikan ke dalam sistem informasi seperti HIS (Hospital Information System), RIS (Radiology Information System), atau PACS (Picture Archiving and Communication System), maka spesifikasi wajib mencantumkan protokol komunikasi data seperti DICOM, HL7, atau bahkan API publik jika dibutuhkan interkoneksi aplikasi pihak ketiga. Mengabaikan aspek ini akan menyulitkan proses integrasi dan menghambat efisiensi klinis.
Dengan pendekatan berbasis kebutuhan dan workflow, spesifikasi teknis bukan hanya jadi dokumen formalitas, tapi menjadi alat bantu desain sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terintegrasi.
3. Definisikan Spesifikasi Fungsional dan Non-Fungsional secara Terukur
Setelah memahami kebutuhan klinis, langkah berikutnya adalah menyusun spesifikasi teknis yang terbagi dalam dua kelompok besar: fungsional dan non-fungsional. Kedua aspek ini harus ditulis secara terukur, objektif, dan bebas dari muatan merek.
3.1 Spesifikasi Fungsional
Spesifikasi fungsional menggambarkan performa inti dari alat, yaitu fitur dan parameter yang menentukan efektivitas klinisnya. Misalnya pada infusion pump, parameter penting yang wajib dicantumkan mencakup rentang aliran (misal: 0.1–120 mL/jam), akurat ±2%, mode operasi seperti PCA atau TPN, dan kemampuan alarm deteksi oklusi.
Spesifikasi fungsional juga mencakup kontrol operasi (manual vs otomatis), fitur keamanan pasien (misal auto-stop jika tutup terbuka), penyimpanan data historis, kompatibilitas dengan jenis syringe, dan sumber daya listrik, misalnya AC 220V dengan backup baterai minimal 8 jam.
Penulisan parameter harus menggunakan satuan standar (SI unit) seperti mL/jam, kPa, lux, atau dB, dan mencantumkan batas toleransi yang diperbolehkan. Tujuannya adalah agar penyedia dapat menyesuaikan proposal produknya secara presisi dan evaluator dapat menilai dengan cara yang terstandarisasi.
3.2 Spesifikasi Non-Fungsional
Sementara itu, spesifikasi non-fungsional berkaitan dengan aspek kenyamanan penggunaan, daya tahan, estetika, dan kemudahan pemeliharaan. Contohnya adalah berat unit (≤ 5 kg), dimensi maksimal, ergonomi desain, jenis material casing (misalnya ABS fire-retardant), ketersediaan spare part, dan MTBF (mean time between failure) yang menggambarkan keandalan alat.
Lingkungan operasi seperti suhu (10–40 °C) dan kelembaban (10–90% RH) juga harus disebutkan, agar alat yang dibeli sesuai dengan kondisi tempat penggunaan (tropis, steril, outdoor, dsb). Untuk alat digital, kecepatan booting dan antarmuka juga bisa masuk spesifikasi non-fungsional.
Semua parameter ini sebaiknya disusun dalam bentuk tabel spesifikasi teknis dengan kolom: Parameter, Nilai Minimum, Satuan, Toleransi, dan Catatan. Format ini memperjelas isi dokumen, memudahkan vendor dalam menyusun penawaran, dan sangat membantu tim evaluasi dalam melakukan verifikasi.
4. Cantumkan Standar Mutu, Sertifikasi, dan Verifikasi Klinis
Bagian ini adalah pilar yang menjamin bahwa alat kesehatan tidak hanya memenuhi kebutuhan teknis di atas kertas, tetapi juga aman, efektif, dan legal secara medis. Oleh karena itu, dokumen spesifikasi wajib mencantumkan dengan rinci berbagai jenis sertifikasi dan verifikasi yang dibutuhkan untuk membuktikan kualitas alat.
Pertama-tama, wajib disebutkan bahwa pabrikan atau distributor harus memiliki Sistem Manajemen Mutu ISO 13485, yang merupakan syarat minimal produksi alat kesehatan yang terstandarisasi. Tanpa ini, integritas proses produksi tidak dapat dijamin. Untuk alat elektronik medis, tambahan sertifikasi keselamatan IEC 60601-1 dan EMC compliance IEC 60601-1-2 menjadi wajib agar aman digunakan dalam lingkungan rumah sakit yang penuh perangkat elektromagnetik.
Selain sertifikasi teknis, penyedia juga harus melampirkan Clinical Evaluation Report (CER) atau ringkasan uji klinis, validasi laboratorium, dan hasil studi banding (method comparison) seperti uji Bland–Altman analysis untuk alat diagnostik. Dokumen ini penting agar pembeli yakin bahwa alat telah terbukti efektif berdasarkan data nyata, bukan sekadar janji vendor.
Tak kalah penting adalah mekanisme Post-Market Surveillance—yaitu rencana pemantauan alat setelah digunakan di lapangan. Ini meliputi laporan adverse event, recall history, dan rencana corrective action jika ditemukan cacat. Regulasi di Eropa seperti MDR (Medical Device Regulation) bahkan mewajibkan ini untuk setiap alat yang masuk ke pasar.
Semuanya harus diverifikasi melalui dokumen resmi seperti sertifikat CE, FDA approval, atau hasil uji klinis dari institusi kredibel. Tanpa dokumen ini, proses evaluasi tidak akan bisa berjalan objektif, dan penyedia bisa menyembunyikan fakta penting tentang kualitas alatnya..
5. Susun Persyaratan Dokumentasi Komprehensif
Dalam dunia alat kesehatan yang sangat terstandarisasi dan berisiko tinggi, kelengkapan dokumen pendukung bukan sekadar formalitas, melainkan menjadi salah satu unsur paling vital dalam menjamin keberhasilan operasional, pemeliharaan, serta kepatuhan terhadap regulasi nasional maupun internasional. Oleh karena itu, setiap spesifikasi teknis alat kesehatan wajib menyertakan daftar dokumentasi yang rinci, relevan, dan dapat diverifikasi.
Pertama-tama, User Manual harus tersedia dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Manual ini wajib memuat informasi yang detail dan sistematis tentang prosedur pemasangan, pengoperasian, serta langkah-langkah troubleshooting. Dalam prakteknya, manual yang baik harus bisa digunakan oleh tenaga kesehatan yang belum tentu berlatar belakang teknik, sehingga gaya bahasa harus lugas dan aplikatif.
Kedua, Service Manual menjadi acuan mutlak bagi teknisi dalam menjalankan kegiatan preventif maupun korektif. Dokumen ini seharusnya mencakup skema blok sistem, diagram rangkaian elektronik, jadwal perawatan berkala, serta instruksi penggantian komponen kritis. Keberadaan service manual tidak hanya mendukung efisiensi perawatan, tetapi juga mengurangi ketergantungan terhadap vendor atau distributor dalam jangka panjang.
Ketiga, lampirkan Technical Data Sheet (TDS) sebagai dokumen ringkasan teknis seluruh spesifikasi alat, meliputi voltase kerja, berat, dimensi, jenis bahan, sensitivitas, akurasi pengukuran, hingga konsumsi daya listrik. TDS ini akan membantu tim evaluasi teknis melakukan desk review secara cepat dan objektif.
Keempat, apabila alat mengandung zat kimia, radioaktif, atau potensi biologis tertentu, maka wajib dilampirkan Safety Data Sheet (SDS) untuk memberikan informasi mengenai potensi bahaya, prosedur penanganan, penyimpanan, dan mitigasi risiko keamanan.
Kelima, jangan lupakan sertifikat legalitas dan kepatuhan internasional seperti Certificate of Conformity dari BPOM, Kemenkes, CE Marking, atau FDA 510(k) bagi alat impor. Sertifikat ini menjamin bahwa alat telah melalui proses evaluasi regulator yang ketat dan memenuhi persyaratan keselamatan, kinerja, serta keamanan bagi pasien dan tenaga medis.
Terakhir, dokumen pelatihan harus jelas dan terstruktur, mencakup Training Program yang meliputi silabus materi, waktu pelaksanaan minimal 16 jam dalam 4 sesi berbeda, serta pembagian pelatihan untuk tenaga klinis dan teknisi. Tanpa pelatihan yang memadai, alat kesehatan berisiko tidak digunakan secara optimal atau bahkan disalahgunakan.
Kelengkapan dokumentasi ini akan menjadi fondasi yang kuat dalam menjamin keberlanjutan penggunaan alat kesehatan secara mandiri oleh fasilitas kesehatan, sekaligus mengurangi risiko kerusakan, keluhan pengguna, serta kesalahan penggunaan yang dapat berdampak pada keselamatan pasien.
6. Rancang Metode Evaluasi Teknis dan Klinis Terbuka
Salah satu penyebab utama pengadaan alat kesehatan gagal guna adalah tidak optimalnya proses evaluasi teknis dan klinis selama seleksi penyedia. Oleh karena itu, penting untuk merancang metodologi evaluasi yang tidak hanya transparan, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan dari sisi keilmuan, pengalaman lapangan, serta akuntabilitas publik.
Langkah pertama adalah melakukan Desk Evaluation, yakni pemeriksaan seluruh dokumen penawaran terhadap spesifikasi teknis yang telah ditetapkan. Evaluasi ini tidak hanya sekadar mencocokkan item per item, tetapi juga menganalisis konteks integrasi antar spesifikasi—misalnya, apakah kapasitas baterai cukup untuk mendukung durasi operasional selama prosedur klinis tertentu.
Langkah kedua adalah menyusun mekanisme Factory Acceptance Test (FAT), yaitu pengujian performa alat langsung di pabrik atau gudang penyedia. Proses ini penting untuk memverifikasi bahwa spesifikasi yang ditawarkan benar-benar tersedia secara fisik dan bekerja sesuai standar. Dalam FAT, aspek-aspek seperti kecepatan respon, kestabilan output, serta integrasi antarmuka harus diuji langsung.
Ketiga, lakukan Site Acceptance Test (SAT) di lokasi instalasi alat, seperti rumah sakit atau puskesmas. Uji coba ini bukan hanya soal teknis, tapi juga mencakup pengamatan terhadap efektivitas klinis di tangan pengguna akhir. Umpan balik dari dokter, perawat, dan teknisi pada fase ini menjadi input berharga untuk menyaring alat yang sekadar unggul di atas kertas namun tidak fungsional di lapangan.
Keempat, agar objektivitas terjaga, benchmarking terhadap minimal 3 vendor berbeda dapat dilakukan. Perbandingan tidak hanya harga, tapi juga total cost of ownership, kemudahan layanan purna jual, dan tingkat kepuasan pengguna yang telah memakai produk tersebut.
Setiap metode evaluasi harus disertai dokumentasi timeline, daftar personel evaluator (termasuk klinisi dan teknisi), serta kriteria kelulusan berupa pass/fail threshold yang jelas. Hal ini akan mencegah penyalahgunaan diskresi dalam evaluasi serta memberikan ruang audit yang adil dan akurat.
7. Atur Klausa Substitusi “Or Equivalent” dengan Definisi Ketat
Untuk menjaga prinsip persaingan sehat sekaligus membuka peluang inovasi teknologi, setiap item dalam spesifikasi alat kesehatan seyogianya disertai dengan frasa “atau setara”. Namun demikian, tanpa definisi yang ketat, frasa ini justru bisa disalahgunakan oleh penyedia untuk menawarkan barang berkualitas lebih rendah, yang berujung pada rendahnya kepuasan pengguna dan potensi kerugian negara.
Karena itu, frasa “setara” harus diikat dengan parameter teknis yang tegas dan tidak multitafsir. Misalnya, jika menyebut “pompa infus digital dengan akurasi ±5%”, maka alat pengganti wajib menunjukkan hasil pengujian akurasi yang tidak melebihi ±5%, bukan hanya sekadar “fitur mirip”. Demikian juga pada spesifikasi lain seperti kapasitas, kecepatan pemrosesan, interface pengguna, dan jenis sensor yang digunakan.
Agar tidak terjadi klaim kosong, cantumkan persyaratan pengajuan sample test minimal 2 unit dari vendor yang menawarkan produk “setara”. Sample ini akan menjadi objek uji banding teknis dan klinis terhadap alat pembanding. Dengan begitu, penyedia yang benar-benar memiliki produk sekelas akan lolos, sementara yang tidak memenuhi standar dapat tersaring sebelum masuk kontrak.
Di samping itu, tetap wajibkan produk “setara” untuk lulus FAT dan SAT seperti produk utama. Hal ini menjaga agar proses substitusi tidak mengorbankan keselamatan dan efektivitas klinis. Tanpa mekanisme ini, kalimat “atau setara” akan menjadi celah besar yang dapat merugikan institusi pengguna maupun pasien.
8. Pertimbangan Total Cost of Ownership (TCO)
Harga alat kesehatan tidak dapat dinilai hanya dari biaya pembelian awal semata. Justru dalam banyak kasus, biaya operasional dan perawatan selama masa hidup alat (life cycle) jauh lebih besar daripada investasi awal. Oleh sebab itu, analisa Total Cost of Ownership (TCO) wajib menjadi bagian integral dari spesifikasi dan evaluasi penawaran.
Komponen pertama dari TCO adalah harga unit, termasuk opsi pembelian langsung maupun sewa (leasing). Kadang-kadang, skema sewa lebih menguntungkan jika disertai kontrak layanan komprehensif.
Komponen kedua adalah biaya instalasi, kalibrasi awal, dan pelatihan awal—sering kali komponen ini tidak disebut dalam penawaran awal, namun wajib dianggarkan.
Ketiga, rincikan estimasi biaya suku cadang dan consumables yang dibutuhkan setiap tahun. Misalnya, filter, sensor, printer ribbon, atau cartridge. Alat yang murah tapi membutuhkan consumable mahal atau langka bisa menjadi beban fiskal yang tidak terprediksi.
Keempat, cantumkan proyeksi biaya maintenance lima tahunan, baik yang bersifat preventive (perawatan berkala), maupun corrective (perbaikan kerusakan). Vendor sebaiknya menyertakan harga kontrak layanan tahunan (AMC – Annual Maintenance Contract) berikut ruang lingkup layanannya.
Melalui analisa TCO, tim pengadaan dapat menghindari jebakan harga murah semu dan lebih fokus pada efektivitas biaya jangka panjang. Spesifikasi sebaiknya memuat formulir standar atau template TCO untuk memudahkan penyedia mengisi dan panitia membandingkan.
9. Sertakan Syarat Kontrak Layanan dan SLA
Alat kesehatan, terutama yang bernilai tinggi dan berteknologi canggih, memerlukan jaminan layanan purna jual yang jelas dan tertulis secara kontraktual. Tanpa layanan purna jual yang terstruktur, alat bisa menjadi barang rongsokan di gudang hanya dalam hitungan bulan.
Oleh sebab itu, penyusunan spesifikasi wajib memasukkan kontrak layanan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penawaran.
Yang pertama, tetapkan garansi minimal dua tahun full service, mencakup perbaikan, penggantian spare part, serta kalibrasi berkala.
Kedua, tetapkan Service Level Agreement (SLA) dengan parameter terukur. Misalnya, respon teknis harus ≤ 4 jam sejak laporan diterima, dan perbaikan tuntas ≤ 24 jam untuk kasus biasa. Kegagalan memenuhi SLA harus dikenai penalti yang proporsional terhadap risiko klinis.
Ketiga, pastikan ketersediaan spare parts minimal 10 tahun sejak tanggal pengiriman. Ini menjadi faktor penting untuk alat-alat yang diperkirakan digunakan dalam jangka panjang, seperti ventilator, X-ray mobile, atau mesin hemodialisis.
Keempat, cantumkan kewajiban vendor melakukan training refreshment minimal sekali dalam setahun. Training ini penting untuk menangkal rotasi staf atau perubahan kebijakan internal pengguna yang berdampak pada penurunan skill operator.
Dengan spesifikasi kontraktual yang matang, panitia pengadaan akan mampu membangun ekosistem dukungan alat kesehatan yang andal, berkelanjutan, dan mengurangi pemborosan akibat alat yang tidak terpakai karena minim dukungan teknis.
10. Kesimpulan
Menyusun spesifikasi alat kesehatan adalah proses yang sangat krusial dalam siklus pengadaan, karena dokumen ini menjadi dasar utama dalam menentukan jenis, kualitas, dan performa alat yang akan dibeli dan digunakan dalam pelayanan medis. Kesalahan dalam menyusun spesifikasi bisa berdampak fatal, baik dari sisi efisiensi anggaran, efektivitas pelayanan, hingga keselamatan pasien. Oleh karena itu, penyusunan spesifikasi harus dilakukan dengan pendekatan yang cermat, komprehensif, dan berbasis kebutuhan nyata fasilitas kesehatan.
Spesifikasi yang baik tidak boleh sekadar menjiplak dokumen lama atau mengikuti merek tertentu, melainkan harus merujuk pada standar teknis yang netral, menggunakan bahasa yang objektif, dan mencantumkan parameter-parameter teknis yang dapat diukur. Prinsip “tidak menyebut merek” harus dibarengi dengan pemahaman yang mendalam tentang frasa “atau setara” serta kemampuan untuk mendeskripsikan karakteristik teknis yang dapat diverifikasi dan dievaluasi secara adil. Di samping itu, penting pula mempertimbangkan faktor pendukung seperti layanan purna jual, jaminan mutu, keberadaan suku cadang, hingga ketersediaan pelatihan bagi operator.
Kesuksesan penyusunan spesifikasi sangat ditentukan oleh kolaborasi multidisiplin antara pengguna alat, teknisi, tim pengadaan, dan auditor internal. Validasi lapangan dan benchmarking terhadap alat yang sudah digunakan di fasilitas lain juga penting untuk memastikan bahwa spesifikasi yang disusun benar-benar relevan dan aplikatif. Terakhir, membangun basis data spesifikasi yang terdokumentasi dan terus diperbarui akan sangat membantu dalam proses pengadaan selanjutnya, sekaligus mendorong efisiensi dan konsistensi dalam pengelolaan alat kesehatan secara nasional.
Dengan menyusun spesifikasi alat kesehatan secara tepat, akurat, dan terstandar, kita tidak hanya menjamin keberhasilan proses pengadaan, tetapi juga turut berkontribusi langsung terhadap peningkatan kualitas layanan kesehatan publik yang lebih aman, andal, dan berkelanjutan.