Manajemen Konflik antara User dan Procurement

Pendahuluan

Di banyak organisasi, fungsi procurement kerap berinteraksi langsung dengan pengguna internal (user) yang membutuhkan barang atau jasa. Meskipun keduanya memiliki tujuan sama yaitu mendukung operasional perusahaan, seringkali terjadi pergesekan karena perbedaan prioritas, proses, dan gaya komunikasi. Konflik yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan keterlambatan, biaya tambahan, dan menurunnya kepercayaan antar divisi.

1. Memahami Peran User dan Procurement

Agar konflik dapat dikelola secara konstruktif, pemahaman menyeluruh terhadap peran masing-masing pihak sangat penting. Baik user maupun procurement memiliki kepentingan yang sah, namun fokus dan indikator keberhasilan mereka berbeda.

a. Peran User (Pengguna Internal)

User adalah pihak yang menginisiasi kebutuhan pengadaan, biasanya berasal dari unit teknis atau operasional seperti IT, produksi, atau pemasaran. Tugas utama mereka meliputi:

  • Mengidentifikasi kebutuhan barang/jasa berdasarkan operasional sehari-hari.
  • Menyusun spesifikasi teknis secara rinci agar pengadaan memenuhi standar fungsi.
  • Menjadi evaluator teknis saat proses seleksi vendor.
  • Melakukan penerimaan hasil barang/jasa dan memastikan kelayakan penggunaan.

Kinerja user dinilai dari seberapa cepat kebutuhan mereka terpenuhi, seberapa baik hasil pengadaan berfungsi, dan bagaimana dampaknya terhadap operasional.

b. Peran Tim Procurement

Procurement bertanggung jawab mengelola seluruh proses pengadaan secara profesional dan akuntabel. Tugas mereka antara lain:

  • Melakukan perencanaan pengadaan (procurement planning) berdasarkan permintaan user dan anggaran yang tersedia.
  • Menyusun dokumen pengadaan seperti RKS, HPS, dan dokumen tender.
  • Memastikan seluruh proses berjalan sesuai regulasi dan SOP.
  • Melakukan evaluasi administratif dan harga, serta mengelola kontrak dan kinerja vendor.

Kinerja procurement diukur dari efisiensi biaya, kepatuhan terhadap aturan, transparansi, dan minimnya risiko hukum atau audit.

c. Sumber Ketegangan: Gap Perspektif

Konflik sering kali muncul karena perbedaan sudut pandang:

Aspek User Procurement
Fokus Kebutuhan teknis, kecepatan eksekusi Prosedur, efisiensi, legalitas
Ukuran Keberhasilan Produk sesuai fungsi, cepat tersedia Hemat biaya, proses akuntabel
Prioritas Spesifikasi mutakhir, fleksibilitas Kepatuhan aturan, pengendalian risiko
Gaya Kerja Praktis dan fleksibel Sistematis dan dokumentatif

Tanpa komunikasi yang kuat, perbedaan ini dapat menyebabkan frustrasi dan saling menyalahkan.

2. Penyebab Konflik antara User dan Procurement

Konflik antara user dan procurement sering terjadi karena beberapa faktor mendasar yang saling terkait:

a. Perbedaan Prioritas

User ingin pengadaan dilakukan cepat agar kegiatan operasional tidak terganggu. Di sisi lain, procurement dibatasi oleh aturan tender, kebutuhan dokumentasi lengkap, dan tahapan verifikasi. Ketika user mendesak, procurement dianggap menghambat. Sebaliknya, ketika procurement teliti, user merasa diabaikan.

Contoh:

“Kenapa harus tender terbuka kalau saya butuh barang ini minggu depan?”

b. Kurangnya Sinkronisasi Spesifikasi

Kualitas permintaan awal sangat menentukan proses selanjutnya. Ketika user memberikan spesifikasi yang kurang lengkap, ambigu, atau berubah-ubah, procurement mengalami kesulitan dalam membuat dokumen tender, menyusun HPS, dan memilih vendor yang tepat. Akibatnya, proses terhambat dan risiko pengadaan barang tak sesuai meningkat.

Masalah yang muncul:

  • Interpretasi berbeda atas spesifikasi.
  • Ketergantungan pada vendor lama karena user “lebih nyaman”.
  • Revisi dokumen tender yang berulang.

c. Prosedur yang Kompleks dan Birokratis

Dalam banyak organisasi, proses pengadaan mengikuti SOP yang panjang: mulai dari usulan kebutuhan, verifikasi, penyusunan dokumen, tender, evaluasi, hingga kontrak. Bagi user, semua ini terasa lambat dan tidak fleksibel, terlebih jika kebutuhan bersifat mendesak.

Persepsi umum:

“Kalau lewat procurement, butuh waktu 2 bulan. Kalau beli langsung, bisa 2 hari.”

d. Komunikasi yang Inefektif

Kurangnya forum komunikasi atau struktur dialog yang jelas membuat user dan procurement tidak berada dalam satu pemahaman. Proses permintaan bisa berulang karena tidak ada penjelasan tentang dokumen yang salah atau langkah yang harus ditempuh.

Kondisi yang sering terjadi:

  • Procurement menganggap user tidak teliti.
  • User menganggap procurement terlalu kaku dan birokratis.
  • Tidak ada sistem feedback atau evaluasi proses bersama.

e. Keterbatasan Anggaran

User sering kali menyusun spesifikasi ideal tanpa mempertimbangkan ketersediaan anggaran. Procurement, yang bertugas mencari solusi terbaik dalam batas biaya, kemudian dianggap “menurunkan kualitas” padahal sebenarnya hanya menyesuaikan dengan batasan anggaran.

Konflik bisa muncul karena:

  • Ekspektasi terlalu tinggi dari user.
  • Ketidakjelasan dalam komunikasi batasan anggaran sejak awal.

f. Ketidakpahaman Peran

Sebagian user tidak memahami bahwa procurement memiliki tanggung jawab hukum dan audit atas proses pengadaan. Di sisi lain, procurement kadang tidak memahami urgensi teknis dari kebutuhan user. Ketidakseimbangan pemahaman ini membuat kerja sama tidak harmonis.

Contoh:

  • User menginginkan vendor A karena sudah kenal.
  • Procurement harus membuka tender sesuai regulasi.
  • Terjadi tuduhan “tidak membantu” atau “tidak mendukung”.

3. Dampak Negatif Konflik antara User dan Procurement

Konflik yang tidak ditangani dengan baik bukan hanya menjadi masalah hubungan interpersonal, tetapi berdampak langsung pada kinerja organisasi secara keseluruhan. Berikut ini adalah dampak-dampak strategis dan operasional yang umum terjadi:

a. Keterlambatan Proyek

Salah satu konsekuensi paling nyata dari konflik antara user dan procurement adalah keterlambatan dalam pelaksanaan proyek atau kegiatan operasional. Ketidaksepakatan mengenai spesifikasi, revisi dokumen tender, atau lambatnya proses persetujuan internal bisa mengakibatkan:

  • Terhambatnya proses tender atau pengadaan langsung.
  • Penundaan mobilisasi vendor atau pengiriman barang.
  • Mundurnya timeline proyek karena procurement tidak sinkron dengan jadwal kerja teknis.

Keterlambatan ini bisa merambat ke aktivitas lain dalam rantai nilai organisasi dan memperlambat pelayanan publik atau operasional bisnis.

b. Cost Overrun

Ketika konflik menyebabkan perubahan spesifikasi mendadak, pemilihan vendor darurat, atau percepatan proses (expedited procurement), maka biaya yang dikeluarkan cenderung meningkat. Beberapa faktor penyebab cost overrun:

  • Permintaan mendesak dari user yang memerlukan pengadaan cepat dengan harga premium.
  • Kegagalan mengonsolidasikan kebutuhan sehingga tidak mendapatkan volume discount.
  • Pengulangan proses evaluasi atau tender karena ketidaksesuaian dengan ekspektasi user.

c. Menurunnya Kepuasan Internal

Hubungan yang buruk antara user dan procurement menciptakan iklim kerja yang tidak produktif. Akibatnya:

  • User merasa tidak didukung dan kehilangan kepercayaan terhadap tim procurement.
  • Procurement merasa dipinggirkan, terutama jika tekanan datang dari pihak eksekutif yang memihak user.
  • Tumbuhnya budaya saling menyalahkan (blaming culture), yang merusak kolaborasi lintas divisi.

Kepuasan internal yang menurun berpotensi memperburuk retensi SDM dan melemahkan semangat kerja tim.

d. Risiko Kepatuhan

Dalam kondisi tekanan dari user untuk mempercepat proses, procurement bisa tergoda atau terpaksa mengambil jalan pintas, seperti:

  • Mengabaikan proses tender karena permintaan mendesak.
  • Memasukkan vendor favorit user tanpa proses seleksi yang objektif.
  • Menyesuaikan spesifikasi tanpa dokumen resmi.

Tindakan ini dapat menimbulkan temuan audit, sanksi administratif, hingga risiko hukum.

e. Terganggunya Hubungan dengan Vendor

Vendor pun menjadi korban ketika terjadi konflik internal. Ketika user dan procurement tidak selaras, maka vendor:

  • Menerima spesifikasi atau skop kerja yang ambigu.
  • Mengalami perubahan instruksi mendadak di tengah kontrak.
  • Terjebak antara dua kepentingan internal yang saling bertentangan.

Hal ini membuat vendor enggan bekerja sama di masa depan atau menurunkan kualitas layanannya.

4. Strategi Manajemen Konflik

Manajemen konflik bukan sekadar menyelesaikan perbedaan, tapi membangun sistem dan budaya kerja yang memungkinkan sinergi antara user dan procurement. Berikut adalah pendekatan strategis yang dapat diterapkan:

4.1. Komunikasi Efektif

Komunikasi yang terstruktur dan terbuka menjadi fondasi utama penyelesaian konflik.

  • SOP Komunikasi: Buat alur komunikasi resmi dalam setiap proyek pengadaan. Misalnya, tunjuk procurement liaison officer sebagai penghubung utama antar divisi.
  • Rapat Kick-off: Setiap proyek besar sebaiknya diawali dengan rapat antara user dan procurement untuk menyamakan ekspektasi mengenai kebutuhan, anggaran, dan timeline.
  • Feedback Loop: Adakan pertemuan berkala untuk memberi update tentang progres pengadaan. Hal ini mengurangi miskomunikasi dan meningkatkan akuntabilitas kedua pihak.

4.2. Kolaborasi dan Keterlibatan Stakeholder

Konflik berkurang drastis jika kedua pihak merasa dilibatkan secara aktif dalam proses.

  • User Involvement: Libatkan user dalam tahap awal, seperti demand planning, pembuatan HPS, dan penilaian teknis vendor.
  • Cross-Functional Team: Untuk proyek bernilai besar atau berdampak strategis, bentuk tim lintas fungsi yang terdiri dari procurement, user, legal, dan finance.
  • Supplier Council: Untuk vendor strategis, bentuk forum tiga arah antara user, procurement, dan vendor untuk membahas kebutuhan jangka panjang, inovasi produk, dan evaluasi kinerja.

4.3. Negotiation dan Mediasi

Ketika konflik telah memuncak, perlu pendekatan diplomatis untuk menyelesaikannya secara profesional.

  • Mediation Session: Libatkan atasan atau pihak ketiga sebagai mediator. Fokus pada penyelesaian masalah, bukan mencari siapa yang salah.
  • Win-Win Negotiation: Gunakan pendekatan integratif-procurement menjaga anggaran dan compliance, sementara user memperoleh solusi teknis optimal.
  • Service Level Agreement (SLA): Buat SLA internal untuk memperjelas ekspektasi waktu dan kualitas layanan antara unit user dan procurement.

4.4. SOP dan Kebijakan yang Jelas

Ketika prosedur tidak jelas atau tidak relevan dengan kenyataan, konflik mudah muncul.

  • Review SOP Bersama: Libatkan user dalam evaluasi dan revisi SOP procurement. Ini membangun rasa kepemilikan dan mengurangi resistensi.
  • Policy Manual: Buat panduan pengadaan yang praktis-memuat definisi “pengadaan mendesak”, alur persetujuan, dan siapa yang berwenang dalam keputusan krusial.
  • Kontrol Perubahan: Terapkan prosedur change request formal jika ada perubahan spesifikasi, anggaran, atau timeline. Ini mencegah kesalahpahaman dan pengulangan proses.

4.5. Pelatihan dan Edukasi

Konflik sering berakar dari ketidaktahuan. Pelatihan lintas fungsi akan meningkatkan empati dan kolaborasi.

  • Workshop Cross-Training: Adakan pelatihan dasar procurement bagi user dan pelatihan teknis (produk, spesifikasi) bagi procurement.
  • E-Learning Module: Siapkan materi microlearning terkait kebijakan pengadaan, compliance, proses tender, dan pengendalian risiko.
  • Mentoring Program: Pasangkan user champion dan procurement officer dalam proyek-proyek strategis agar terjadi transfer pengetahuan dan pemahaman lintas divisi.

5. Implementasi Alat dan Teknologi

Pemanfaatan teknologi yang tepat dapat menjadi jembatan antara user dan procurement dalam mengurangi gesekan, mempercepat proses, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Beberapa kategori alat dan sistem yang direkomendasikan antara lain:

5.1. E-Procurement Platforms

Platform e-procurement modern memungkinkan proses pengadaan dilakukan secara digital end-to-end. Fitur umum yang sangat bermanfaat mencakup:

  • Pengajuan Kebutuhan Online: User dapat mengisi kebutuhan barang atau jasa melalui formulir elektronik dengan referensi katalog internal.
  • Alur Persetujuan Otomatis: Sistem mendukung workflow persetujuan berjenjang, yang dapat disesuaikan berdasarkan nilai pengadaan dan kategori barang/jasa.
  • Status Real-Time: Baik user maupun procurement dapat memantau perkembangan proses secara langsung, dari permintaan hingga pembayaran.
  • Audit Trail: Semua aktivitas terekam secara digital, memudahkan pelacakan dan kepatuhan.

Contoh platform: SAP Ariba, Oracle Procurement Cloud, eProc Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

5.2. Collaboration Tools

Alat komunikasi kolaboratif menjadi sangat penting terutama dalam proyek lintas fungsi dan lintas lokasi. Fungsi yang krusial meliputi:

  • Channel Khusus Proyek: Dapat dibuat saluran komunikasi tematik, misalnya #pengadaan-jaringan-IT, agar diskusi terorganisir.
  • File Sharing: Spesifikasi teknis, timeline, dan dokumen tender dapat dibagikan dan diedit bersama secara real-time.
  • Notifikasi Otomatis: Memudahkan setiap pihak mendapatkan update terbaru tanpa harus menunggu email panjang.

Contoh platform: Microsoft Teams (dengan integrasi SharePoint dan Planner), Slack, Google Chat + Google Drive.

5.3. Document Management System (DMS)

Sistem manajemen dokumen memastikan bahwa semua dokumen penting terarsip dengan baik dan mudah diakses:

  • Versi Dokumen: Memastikan hanya versi final dari spesifikasi atau kontrak yang digunakan.
  • Akses Terbatas: Mengatur siapa yang dapat membaca, mengedit, atau mengunduh dokumen, menjaga kerahasiaan dan kontrol informasi.
  • Integrasi Legal dan Vendor: Kontrak bisa dikaitkan langsung dengan vendor dan status procurement.

Contoh: M-Files, SharePoint, OpenText.

5.4. Dashboard dan Analytics

Pemantauan kinerja menjadi jauh lebih efektif dengan bantuan dashboard visualisasi yang dapat menampilkan metrik utama, seperti:

  • Lead Time: Waktu dari pengajuan kebutuhan hingga kontrak selesai.
  • Compliance Rate: Tingkat kepatuhan proses terhadap SOP.
  • Satisfaction Index: Survei kepuasan user terhadap proses dan hasil pengadaan.
  • Anomali Deteksi: Sistem dapat memberi peringatan dini bila ada lonjakan harga atau vendor bermasalah.

Dashboard ini dapat disusun berbasis tools seperti Power BI, Tableau, atau Google Looker Studio, dan ditarik langsung dari sistem e-procurement atau ERP perusahaan.

5.5. Chatbot dan Automasi

Automasi proses pengadaan membantu mengurangi beban administratif dan mempercepat respons:

  • Chatbot Procurement: Menjawab pertanyaan umum user seperti status pesanan, daftar vendor, atau dokumen yang dibutuhkan.
  • RPA (Robotic Process Automation): Digunakan untuk tugas berulang seperti verifikasi data vendor, upload dokumen ke sistem, atau pengecekan invoice.
  • Template Generator: Pembuatan dokumen permintaan pengadaan, TOR, atau berita acara melalui template otomatis.

Penggunaan teknologi ini tidak hanya efisien, tetapi juga meningkatkan konsistensi dan akurasi dokumen.

5.6. Platform Feedback dan Survei

Teknologi juga dapat digunakan untuk menangkap umpan balik pengguna secara sistematis, melalui:

  • Post-Procurement Survey: Formulir digital setelah pengadaan selesai, menilai waktu, kualitas barang/jasa, dan koordinasi.
  • Vendor Rating Tools: User memberi nilai pada vendor langsung dari dashboard, menjadi bagian dari penilaian kinerja penyedia.

Platform seperti Typeform, Google Forms, atau sistem feedback internal dapat diintegrasikan ke dalam ekosistem pengadaan.

6. Studi Kasus: Mengatasi Konflik di Proyek Pengadaan IT

Perusahaan ABC mengalami konflik antara divisi IT (user) dan procurement dalam pengadaan perangkat jaringan:

6.1. Latar Belakang

  • IT membutuhkan switch dengan fitur terkini dalam 2 minggu.
  • Procurement terikat tender 1 bulan dan negosiasi harga.

6.2. Solusi

  • Adakan rapid sourcing: procurement membuka mini-tender untuk vendor approved.
  • IT melakukan pendefinisian MVP (Minimum Viable Product) untuk kebutuhan awal.
  • Rapat harian 15 menit (stand-up) untuk mempercepat keputusan.

6.3. Hasil

  • Pengadaan unit awal disuplai dalam 2 minggu.
  • Tender penuh selesai 5 minggu dengan harga 8% di bawah budget.
  • Kepuasan IT meningkat, procurement membangun database vendor lebih responsif.

7. Rekomendasi untuk Organisasi

  1. Bangun Budaya Kolaboratif: Budayakan bahwa procurement adalah mitra bisnis, bukan penghalang.
  2. Terapkan Governance yang Fleksibel: Kombinasi antara kontrol dan agility melalui kebijakan diferensiasi urgensi.
  3. Investasi Teknologi: Pilih platform yang user-friendly dan integrasi dengan sistem lain.
  4. Rutin Evaluasi Proses: Audit proses pengadaan setiap kuartal bersama perwakilan user.
  5. Penguatan Kapasitas: Pelatihan berkala dan cross-functional workshop.

8. Kesimpulan

Konflik antara user dan procurement tidak bisa dihindari, tetapi dapat dikelola agar menghasilkan hasil yang optimal. Kunci keberhasilan terletak pada komunikasi terbuka, kolaborasi lintas fungsi, kebijakan yang responsif, dan teknologi pendukung. Dengan pendekatan manajemen konflik yang sistematis, organisasi dapat meminimalkan dampak negatif, mempercepat pengadaan, dan membangun kepercayaan antar divisi. Pada akhirnya, sinergi antara user dan procurement akan memperkuat kinerja operasional dan mendukung tujuan strategis perusahaan.