Pendahuluan: Mengapa Pengadaan Ulang Sering Terjadi
Dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, istilah “pengadaan ulang” bukanlah hal yang asing. Situasi ini terjadi ketika proses tender sebelumnya dinyatakan gagal, baik karena tidak ada peserta yang memenuhi syarat, terjadi kesalahan dalam dokumen, atau karena peserta yang menang tidak dapat melaksanakan kontrak sebagaimana mestinya. Meskipun pengadaan ulang menjadi solusi normatif dalam regulasi pengadaan, namun kenyataannya ia sering menjadi sumber tambahan biaya, menyita waktu, dan menyisakan frustrasi bagi semua pihak.
Faktanya, pengadaan ulang bukan hanya soal mengulang proses administratif, tetapi menyangkut konsekuensi keuangan, manajerial, dan bahkan sosial. Proyek yang seharusnya selesai dalam waktu tertentu terpaksa mundur, program layanan publik tertunda, dan dalam skala lebih besar, kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi bisa terganggu. Artikel ini akan membahas secara mendalam apa penyebab terjadinya pengadaan ulang, bagaimana dampaknya terhadap anggaran dan waktu, serta langkah-langkah preventif yang bisa dilakukan agar tidak terjebak dalam lingkaran kegagalan pengadaan yang berulang.
1. Definisi dan Landasan Regulasi Pengadaan Ulang
Pengadaan ulang adalah proses pengadaan yang dilakukan kembali setelah proses sebelumnya dinyatakan gagal. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pengadaan ulang dapat dilakukan apabila:
- Tidak ada peserta yang lulus evaluasi;
- Terdapat kesalahan dalam spesifikasi teknis atau dokumen pemilihan;
- Tidak terdapat penyedia yang bersedia menandatangani kontrak;
- Atau, penyedia pemenang terbukti wanprestasi sebelum pelaksanaan dimulai.
Dalam konteks ini, pengadaan ulang merupakan langkah sah secara administratif. Namun, tidak cukup hanya melihatnya dari aspek legal, karena dalam praktiknya, keputusan untuk mengulang pengadaan bukan tanpa biaya.
2. Biaya Tambahan yang Tidak Terlihat
Salah satu dampak utama dari pengadaan ulang adalah meningkatnya total biaya pengadaan. Biaya ini tidak selalu tercatat dalam laporan keuangan sebagai angka eksplisit, tetapi nyata terasa dalam banyak aspek:
a. Biaya Administrasi
Pengulangan proses berarti semua dokumen harus disusun kembali, evaluasi dilakukan ulang, dan panitia atau Pokja pemilihan bekerja dua kali. Ini menyita tenaga dan memakan waktu lembur, rapat tambahan, bahkan kadang konsultasi ulang dengan unit teknis atau penyusunan ulang Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
b. Biaya Operasional
Jika pengadaan terkait penyediaan barang atau layanan rutin seperti pengangkutan sampah, pemeliharaan jalan, atau penyediaan makan minum rumah sakit, maka pengulangan proses dapat menyebabkan kekosongan layanan. Untuk mengatasi hal ini, instansi kadang menggunakan skema darurat atau penunjukan langsung yang biasanya lebih mahal.
c. Opportunity Cost
Waktu yang hilang akibat pengadaan ulang juga berarti hilangnya kesempatan lain untuk menggunakan anggaran secara lebih produktif. Misalnya, dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan fisik yang selesai tepat waktu harus mengendap, atau bahkan menjadi SILPA di akhir tahun karena keterlambatan proses.
3. Dampak Waktu: Proyek Tertunda, Kinerja Tergerus
Waktu adalah dimensi yang paling terasa dampaknya saat terjadi pengadaan ulang. Proses pengadaan ulang tidak bisa dilakukan seketika. Ada prosedur yang harus diulang: mulai dari penetapan ulang Pokja, penyusunan ulang dokumen, pengumuman ulang, masa sanggah, hingga kontrak baru. Akibatnya:
a. Keterlambatan Realisasi Anggaran
Dalam banyak kasus, keterlambatan pengadaan berarti realisasi anggaran juga meleset. Hal ini mengganggu siklus pembangunan yang sudah direncanakan dan berpotensi mengurangi penilaian kinerja instansi.
b. Rantai Proyek Terputus
Jika suatu kegiatan merupakan bagian dari proyek multiyears atau tahapan dari kegiatan besar, maka keterlambatan pada satu komponen bisa mengganggu keseluruhan proyek. Misalnya, keterlambatan pengadaan alat laboratorium menyebabkan pelatihan SDM juga tertunda.
c. Ketergesaan di Akhir Tahun
Sering kali, pengadaan ulang memaksa unit kerja untuk menyelesaikan proyek dalam waktu sempit menjelang tutup tahun anggaran. Akibatnya, pelaksanaan pekerjaan dilakukan dengan terburu-buru, berisiko rendah kualitas, atau bahkan menjadi tidak mungkin diselesaikan tepat waktu.
4. Penyebab Umum Gagalnya Pengadaan Pertama
Untuk memahami kenapa pengadaan ulang bisa terjadi, penting menelaah akar kegagalan dari pengadaan pertama. Berikut beberapa penyebab yang paling umum:
a. Dokumen Pemilihan Tidak Jelas
Spesifikasi teknis yang ambigu, ketidaksesuaian antara HPS dan pasar, atau persyaratan administrasi yang tidak relevan sering membuat penyedia tidak tertarik atau gagal memenuhi syarat.
b. Harga Terlalu Rendah
Sering kali instansi menetapkan HPS yang tidak realistis, terlalu menekan harga tanpa memperhitungkan kondisi pasar. Penyedia pun enggan ikut atau akhirnya mengundurkan diri setelah menang.
c. Kurangnya Sosialisasi dan Jangkauan Informasi
Tender yang tidak dipublikasikan secara luas atau tidak menjangkau penyedia yang relevan akan berujung pada minimnya peserta berkualitas.
d. Gangguan Teknis Sistem
Dalam pengadaan elektronik, sistem yang bermasalah saat proses upload dokumen atau penawaran juga bisa menyebabkan peserta gagal memasukkan penawaran, sehingga lelang menjadi gagal karena peserta tidak memenuhi syarat administrasi.
5. Risiko Hukum dan Kelembagaan
Tidak hanya dari sisi teknis dan biaya, pengadaan ulang juga membawa risiko kelembagaan. Ketika proses pengadaan ulang sering terjadi, dapat muncul persepsi negatif terhadap profesionalisme Pokja atau unit pengadaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, pengadaan ulang bisa dicurigai sebagai manuver untuk memuluskan penyedia tertentu dengan harapan mereka menang di tender berikutnya.
Apalagi jika pengadaan ulang dilakukan berkali-kali dalam satu kegiatan, maka auditor atau aparat penegak hukum bisa menaruh kecurigaan atas proses dan motif di baliknya.
6. Implikasi terhadap Pelayanan Publik
Dalam pengadaan sektor publik, keterlambatan bukan hanya berdampak pada keuangan, tetapi juga pada pelayanan masyarakat. Misalnya:
- Pengadaan obat di rumah sakit yang gagal berujung pada kelangkaan obat.
- Kegagalan tender perbaikan jalan membuat masyarakat menanggung kerusakan infrastruktur lebih lama.
- Pengadaan seragam siswa tidak selesai tepat waktu, membuat siswa tidak dapat seragam secara serentak.
Dengan kata lain, pengadaan ulang bukan sekadar urusan internal birokrasi, tapi berdampak langsung pada kualitas layanan publik.
7. Upaya Pencegahan: Membangun Sistem yang Kuat
Untuk menghindari pengadaan ulang, instansi perlu membangun sistem pencegahan yang kokoh sejak awal proses pengadaan. Beberapa langkah preventif antara lain:
a. Penyusunan Dokumen dengan Tim Ahli
Dokumen pemilihan harus disusun oleh tim yang memahami baik aspek teknis maupun regulasi. Kolaborasi antara Pokja, PPK, dan unit teknis mutlak diperlukan untuk memastikan dokumen tidak bermasalah.
b. Studi Pasar yang Cermat
Sebelum menetapkan HPS dan syarat teknis, perlu dilakukan survei pasar atau market sounding untuk memastikan kondisi pasar sesuai dengan kebutuhan pengadaan.
c. Sosialisasi Pra-Tender
Mengundang calon penyedia dalam forum pra-tender atau market sounding terbukti efektif meningkatkan minat dan pemahaman mereka terhadap paket pengadaan yang akan dilelangkan.
d. Evaluasi Tender Sebelumnya
Jika instansi mengalami pengadaan ulang, penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyebab kegagalan sebelumnya. Jangan hanya mengulang proses tanpa perbaikan.
8. Strategi Manajemen Risiko Saat Terpaksa Pengadaan Ulang
Jika pengadaan ulang tidak bisa dihindari, maka strategi mitigasi juga harus disiapkan, di antaranya:
a. Mempercepat Proses
Gunakan metode pemilihan yang sesuai dan tidak terlalu berbelit jika memungkinkan, seperti pengadaan langsung atau seleksi cepat untuk paket-paket tertentu yang nilainya memenuhi syarat.
b. Skema Kontrak Payung
Untuk pengadaan berulang, seperti pengadaan bahan baku atau alat tulis, gunakan kontrak payung agar saat terjadi kendala tidak perlu memulai dari nol.
c. Pemisahan Paket
Jika satu paket besar selalu gagal karena kompleksitas tinggi, pertimbangkan untuk memecahnya menjadi beberapa paket yang lebih kecil dan spesifik agar menarik lebih banyak penyedia.
Kesimpulan: Jangan Menormalisasi Pengadaan Ulang
Pengadaan ulang adalah gejala, bukan solusi. Ia adalah tanda bahwa ada yang tidak beres dalam siklus pengadaan, mulai dari perencanaan, penyusunan dokumen, hingga pemahaman terhadap pasar dan kapasitas penyedia. Meski secara hukum diperbolehkan dan diatur dengan cukup jelas dalam regulasi, frekuensi terjadinya pengadaan ulang yang tinggi menunjukkan adanya kegagalan sistemik yang perlu dibenahi secara serius.
Dampak dari pengadaan ulang tidak bisa diremehkan. Ia bukan hanya sekadar proses yang diulang, tetapi menciptakan konsekuensi berlapis—menyita waktu, menyerap biaya tambahan, menurunkan kepercayaan publik, serta mengganggu layanan dasar yang seharusnya diterima masyarakat secara tepat waktu dan berkualitas. Lebih dari itu, pengadaan ulang juga dapat menjadi titik lemah dalam aspek akuntabilitas dan kinerja organisasi publik, karena menunjukkan lemahnya kendali mutu internal serta minimnya kemampuan antisipatif dari unit kerja.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dalam beberapa kasus, pengadaan ulang bisa disalahgunakan. Ia menjadi celah tak terlihat dalam praktik manipulatif, seolah proses yang gagal adalah hal lumrah, padahal bisa jadi disengaja untuk mengarahkan hasil tertentu. Inilah mengapa setiap kejadian pengadaan ulang semestinya menjadi alarm introspeksi, bukan sekadar diklasifikasikan sebagai “kendala teknis.”
Maka, solusi jangka pendek seperti percepatan proses, penyesuaian metode pemilihan, atau penggunaan kontrak payung memang penting, tetapi tidak boleh menutupi pentingnya pembenahan struktural jangka panjang. Diperlukan penguatan kapasitas SDM pengadaan, pembaruan mekanisme koordinasi antara Pokja, PPK, dan unit teknis, serta penerapan teknologi yang mendukung transparansi dan efisiensi. Lebih jauh, budaya perencanaan yang berbasis data dan bukti (evidence-based planning) juga harus diperkuat agar proses awal tidak lagi menghasilkan dokumen tender yang bermasalah.
Ke depan, instansi publik perlu memperlakukan setiap pengadaan ulang sebagai insiden penting yang harus ditelaah, dianalisis, dan dievaluasi secara menyeluruh. Bukan untuk mencari kambing hitam, melainkan untuk memperbaiki sistem. Audit internal yang kuat, pelibatan inspektorat dalam menganalisis penyebab kegagalan, hingga pembentukan bank data penyedia dan paket bermasalah bisa menjadi langkah awal untuk menghindari pengulangan masalah serupa.
Dengan demikian, pengadaan publik tidak hanya menjadi alat belanja negara yang efisien, tetapi juga instrumen tata kelola yang bersih, transparan, dan berorientasi pada hasil. Sebab, esensi dari pengadaan adalah menghadirkan manfaat, bukan memperpanjang proses. Ketika pengadaan berjalan tanpa hambatan, waktu bisa disalurkan ke inovasi, anggaran bisa diprioritaskan untuk kegiatan strategis, dan masyarakat bisa menikmati layanan publik yang lebih cepat dan tepat sasaran.
Maka pesan akhirnya jelas: pengadaan ulang adalah kegagalan yang bisa dicegah, selama kita tidak menormalisasikannya. Kini saatnya berbenah, membangun sistem yang tidak hanya taat prosedur, tetapi juga peka terhadap kualitas hasil dan manfaat yang nyata bagi publik.