Konflik Internal: Procurement vs Finance

Pendahuluan: Dua Pilar yang Harusnya Bersinergi

Dalam struktur organisasi pemerintahan maupun swasta, dua fungsi yang sangat krusial dalam memastikan kelancaran operasional dan akuntabilitas adalah pengadaan barang/jasa (procurement) dan keuangan (finance). Idealnya, keduanya bekerja berdampingan sebagai dua pilar penting yang saling menguatkan. Procurement bertugas memastikan barang dan jasa yang dibutuhkan tersedia tepat waktu, sesuai spesifikasi, dan dengan harga terbaik, sementara finance mengontrol arus dana, memastikan kepatuhan terhadap anggaran dan regulasi akuntansi.

Namun realitas di lapangan sering kali jauh dari ideal. Ketegangan antara unit pengadaan dan unit keuangan kerap terjadi. Mulai dari keterlambatan pencairan dana, perbedaan interpretasi terhadap aturan, hingga konflik kepentingan soal prioritas penggunaan anggaran. Konflik ini, jika tidak dikelola dengan baik, berisiko menghambat kinerja organisasi secara keseluruhan, bahkan memicu inefisiensi dan potensi penyimpangan dalam proses pengadaan.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam akar konflik antara procurement dan finance, bentuk-bentuk yang paling sering terjadi, serta solusi strategis untuk membangun harmoni antara dua unit vital ini.

Akar Konflik: Perspektif yang Berbeda

1. Procurement sebagai Agen Kecepatan dan Efisiensi

Tim procurement hidup dalam tekanan untuk memenuhi kebutuhan organisasi secepat mungkin. Mereka memetakan pasar, menyeleksi vendor, mengirimkan undangan tender, dan menegosiasikan harga-all in a day’s work. Keberhasilan mereka diukur dari seberapa cepat proses lelang selesai, pengiriman barang tepat waktu, dan pemenuhan spesifikasi teknis. Dengan demikian, mereka sering mengutamakan fleksibilitas: kemampuan melakukan penyesuaian spesifikasi di tengah jalan jika ditemui hambatan lapangan, ataupun menggunakan prosedur percepatan-selama masih dalam batas aturan-untuk mengejar deadline proyek.

2. Finance sebagai Garda Kontrol dan Kepatuhan

Di sisi lain, finance memiliki mandat untuk melindungi aset organisasi lewat pengendalian anggaran dan validasi transaksi. Setiap rupiah yang keluar harus tercatat sesuai kode akun, didukung dokumen pendukung yang sah, dan sesuai jadwal pelaporan fiskal. Risiko-baik hukum, reputasi, maupun operasional-dibahas dalam setiap rapat validasi berkas. Finance membangun “tembok pertahanan” berupa cek dan verifikasi, sehingga setiap potensi penyimpangan dapat terdeteksi sebelum dana dicairkan.

3. Titik Gesek: Birokrasi vs Kecepatan

Kombinasi mandat yang berbeda ini memunculkan ketegangan. Procurement melihat checklist finance-seperti validasi format Berita Acara Serah Terima, kelengkapan SPM (Surat Perintah Membayar), atau verifikasi VAT-sebagai hambatan birokratis yang mengulur waktu. Sementara finance memandang permintaan percepatan pengadaan tanpa “dokumen lengkap” sebagai pelanggaran prosedur yang bisa menimbulkan temuan audit atau sanksi.

4. Miskomunikasi dan Saling Curiga

Tanpa saluran komunikasi yang terstruktur, kecurigaan pun tumbuh. Procurement merasa finance sengaja menahan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) untuk “menguji kesabaran,” padahal finance mungkin sedang menunggu satu tanda tangan atau klarifikasi kecil. Sebaliknya, finance melihat procurement seolah “mengabaikan” kode anggaran terbaru, padahal tim procurement mungkin tidak diberi info revisi nomenklatur tepat waktu.

5. Eskalasi Konflik: Dari Isu Teknis ke Kultur Organisasi

Ketika perbedaan orientasi tidak dijembatani, perseteruan administratif bisa dengan cepat merembet ke wilayah yang lebih luas: rapat koordinasi berubah menjadi ajang unjuk argumen, laporan inspektorat memuat tudingan saling lempar tanggung jawab, hingga muncul kloter “pendukung procurement” dan “pendukung finance.” Pada titik ini, konflik teknis berubah menjadi isu budaya organisasi-di mana semangat kolaborasi tergerus oleh sikap defensif dan ego sektoral.

Dengan memahami akar konflik ini secara terperinci-bagaimana mandat, ukuran keberhasilan, dan mindset kedua unit berbeda-organisasi dapat merancang intervensi yang lebih tepat: mulai dari penyusunan SOP bersama, forum dialog terstruktur, hingga pelatihan lintas fungsi yang menumbuhkan empati profesional.

Bentuk-Bentuk Konflik yang Sering Terjadi

1. Penolakan Pembayaran karena Dokumen Tidak Lengkap

Salah satu bentuk konflik paling umum terjadi ketika finance menolak memproses pembayaran karena dokumen pengadaan dianggap tidak lengkap atau tidak sesuai standar akuntansi. Bagi tim procurement, hal ini menjadi hambatan besar karena menunda pembayaran ke penyedia dan berisiko mencoreng reputasi instansi di mata vendor. Bagi finance, ini adalah bentuk kehati-hatian yang wajib dilakukan untuk menghindari audit temuan.

Namun yang sering tidak disadari adalah bahwa standar “kelengkapan dokumen” tidak selalu dipahami dengan cara yang sama oleh kedua pihak. Contohnya, format Berita Acara Serah Terima atau kuitansi sering kali menjadi perdebatan, terutama jika tidak disertai SOP terpadu.

2. Permintaan Perubahan Spek Setelah Anggaran Disetujui

Procurement kerap menemui kenyataan bahwa spesifikasi teknis yang diajukan awal ternyata perlu disesuaikan dengan kondisi di lapangan atau perkembangan teknologi. Namun ketika pengadaan sudah masuk tahap eksekusi, perubahan ini sering kali sulit diterima oleh finance karena akan berpengaruh pada kode akun, pagu anggaran, atau proses revisi DIPA. Situasi ini menimbulkan friksi, karena procurement merasa dibatasi fleksibilitasnya, sementara finance khawatir pada konsekuensi hukum jika terjadi perbedaan antara dokumen awal dan realisasi.

3. Keterlambatan Transfer Dana

Kendala pencairan anggaran adalah isu klasik dalam hubungan procurement dan finance. Keterlambatan ini bisa disebabkan karena dokumen yang belum diverifikasi, sistem keuangan yang belum siap, atau prioritas pencairan dana yang tidak sinkron. Procurement merasa frustrasi karena kegiatan pengadaan terganggu, sementara finance merasa bahwa mereka bekerja berdasarkan prioritas dan kehati-hatian yang sah.

Dampak Negatif Konflik: Organisasi yang Tersendat

Konflik yang tidak diselesaikan tidak hanya mengganggu hubungan antarunit, tetapi juga berdampak langsung pada kinerja organisasi. Beberapa dampak yang sering muncul:

1. Terlambatnya Pengadaan Barang dan Jasa

Ketika procurement dan finance tidak bergerak selaras, setiap tahap proses-mulai dari verifikasi dokumen hingga pencairan dana-mudah terhambat. Akibatnya, jadwal implementasi proyek menjadi molor, vendor menunggu pembayaran berhari-hari bahkan berminggu-minggu, dan kebutuhan operasional mendesak tidak terpenuhi. Dalam konteks pelayanan publik, misalnya, keterlambatan ini bisa berarti warga sulit mengakses fasilitas atau layanan yang seharusnya tersedia-mulai distribusi bantuan sosial hingga penyediaan obat dan alat kesehatan di puskesmas.

2. Menurunnya Kepercayaan Vendor terhadap Institusi

Vendor yang merasa diperlakukan tidak konsisten-dokumen yang tiba-tiba berubah format, tenggat pembayaran yang tak menentu, atau tagihan ditolak tanpa alasan yang jelas-akan menurunkan keyakinan mereka untuk bekerjasama kembali. Dalam jangka panjang, institusi bisa kehilangan calon penyedia terbaik, harga menjadi kurang kompetitif karena vendor menaikkan tarif risiko administrasi, dan kerjasama strategis berpotensi bergeser ke organisasi lain yang lebih “ramah bisnis.”

3. Tingginya Beban Kerja Administratif

Bolak-baliknya dokumen antara procurement dan finance memakan banyak waktu yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk tugas strategis. Setiap revisi Berita Acara Serah Terima, Surat Perintah Membayar (SPM), atau faktur yang dikembalikan menambah daftar tugas pegawai-dengan risiko kesalahan baru pada tiap iterasi. Peningkatan beban ini tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan potensi human error: dokumen yang hilang, angka yang typo, atau proses lainnya yang terlewat.

4. Terciptanya Budaya Saling Menyalahkan

Konflik yang terus berulang memupuk sikap defensif: procurement merasa selalu “dikejar” finance, sedangkan finance merasa procurement “ceroboh.” Lama-kelamaan, diskusi solutif berubah menjadi rapat adu argumen, rapat koordinasi menjadi ajang mencari kambing hitam. Dampaknya, moral pegawai menurun-banyak yang enggan berinisiatif atau menolak mengambil tanggung jawab demi menghindari risiko “dipersalahkan.”

5. Potensi Temuan Audit dan Pelanggaran Hukum

Tanpa sinergi yang baik, berkas pengadaan dan laporan keuangan bisa gagal memenuhi standar pemeriksaan auditor-baik internal maupun eksternal. Kesalahan klasifikasi akun, tenggat waktu yang terlewat, serta dokumen pendukung yang tak lengkap membuka celah bagi temuan audit dengan rekomendasi perbaikan, bahkan sanksi. Dalam skenario terburuk, kelalaian administratif ini bisa berujung pada laporan dugaan tindak pidana korupsi, meski sebenarnya tidak ada niat jahat, hanya karena prosedur tidak terpadu.

Studi Kasus: Ketika Ego Institusional Menang

Sebuah instansi pemerintah tingkat daerah pernah menghadapi masalah serius dalam proyek pembangunan fasilitas umum. Unit procurement telah meneken kontrak dengan penyedia, namun dana tidak bisa cair karena finance menemukan bahwa kode akun tidak sesuai dengan nomenklatur anggaran terbaru. Bukannya mencari solusi bersama, masing-masing unit saling menyalahkan. Akibatnya, proyek molor 3 bulan dan anggaran terancam menjadi SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran).

Yang menarik, setelah dilakukan audit internal, ditemukan bahwa tidak ada kesalahan fatal. Hanya saja komunikasi yang buruk dan ketidaksiapan dokumen menjadi akar permasalahan. Jika sejak awal kedua pihak duduk bersama dalam perencanaan dan validasi dokumen, konflik ini bisa dihindari.

Solusi Strategis: Menuju Sinergi dan Kolaborasi

Untuk menghindari dan menyelesaikan konflik antara procurement dan finance, organisasi perlu mengambil pendekatan strategis yang komprehensif. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:

1. Penyeragaman SOP dan Interpretasi Regulasi

Langkah awal adalah menyusun SOP terpadu yang disepakati bersama, khususnya dalam hal persyaratan dokumen, jadwal pencairan dana, dan perubahan teknis dalam pengadaan. SOP ini harus disusun dengan pendekatan lintas unit, bukan oleh salah satu pihak saja. Interpretasi terhadap regulasi perbendaharaan juga harus disamakan, idealnya dengan bimbingan dari unit hukum atau inspektorat.

2. Forum Koordinasi Berkala

Membangun ruang komunikasi reguler antara procurement dan finance adalah kunci pencegahan konflik. Forum ini bisa berupa rapat mingguan, sharing session antarunit, atau evaluasi bulanan pengadaan dan pencairan anggaran. Lewat forum ini, isu-isu kecil bisa segera dibahas sebelum membesar, dan terjadi saling pemahaman terhadap tantangan masing-masing unit.

3. Pelatihan Lintas Fungsi

Pegawai finance perlu memahami dasar-dasar proses pengadaan, begitu juga sebaliknya. Pelatihan lintas fungsi ini membantu membangun empati dan perspektif menyeluruh. Contohnya, finance bisa dilatih soal dinamika tender dan negosiasi harga, sementara procurement belajar soal mekanisme verifikasi SP2D atau kode akun belanja.

4. Digitalisasi dan Integrasi Sistem

Banyak konflik administratif bisa diminimalkan dengan penggunaan sistem digital yang terintegrasi. Sistem e-procurement yang terkoneksi langsung dengan sistem keuangan memungkinkan validasi otomatis dokumen dan status anggaran. Ini mengurangi friksi akibat interpretasi manual atau miskomunikasi antarunit.

5. Budaya Organisasi yang Kolaboratif

Terakhir dan yang paling fundamental, organisasi harus menumbuhkan budaya kerja yang kolaboratif, bukan silo. Ini bisa dicapai dengan insentif berbasis tim lintas fungsi, reward atas sinergi, serta penekanan pada pencapaian tujuan bersama, bukan dominasi unit tertentu. Kepemimpinan yang inklusif dan fasilitatif menjadi kunci keberhasilan pendekatan ini.

Peran Pimpinan: Jembatan Penghubung yang Netral

Dalam banyak kasus, konflik antarunit diperparah oleh absennya peran pimpinan sebagai penengah. Padahal, kepala instansi, sekretaris, atau kepala biro umum memiliki posisi strategis untuk menjembatani perbedaan antara procurement dan finance.

Pimpinan harus bersikap netral, membuka ruang dialog, dan tidak berpihak pada satu unit saja. Mereka juga harus menjadi sponsor dalam penyusunan SOP lintas fungsi, mendorong keterbukaan data, serta memastikan bahwa target organisasi menjadi acuan utama, bukan ego sektoral. Kepemimpinan yang lemah atau permisif hanya akan memperparah konflik dan menciptakan budaya kerja yang disfungsional.

Penutup: Konflik adalah Sinyal, Bukan Musuh

Konflik antara procurement dan finance tidak selalu buruk. Dalam batas tertentu, konflik adalah sinyal bahwa ada proses yang perlu diperbaiki, sistem yang perlu diselaraskan, dan budaya kerja yang perlu ditumbuhkan. Yang salah bukan konflik itu sendiri, tetapi ketika konflik tidak ditangani dengan cara yang konstruktif.

Organisasi yang sehat bukanlah organisasi tanpa konflik, tetapi organisasi yang mampu mengelola konflik menjadi bahan bakar perbaikan. Procurement dan finance bukanlah dua kutub yang harus berseteru, tetapi dua lengan yang jika bersinergi, akan mengangkat kualitas layanan publik dan integritas tata kelola ke level yang lebih tinggi.

Dengan pendekatan yang strategis, komunikasi yang terbuka, dan budaya kolaboratif, konflik internal antara procurement dan finance bisa diubah dari sumber masalah menjadi peluang untuk memperkuat profesionalisme dan efisiensi dalam birokrasi.