Kesalahan Legal Drafting yang Merugikan Perusahaan

Pendahuluan

Legal drafting-penyusunan dokumen hukum seperti kontrak pengadaan-merupakan fondasi dalam memastikan bahwa setiap kegiatan bisnis berjalan lancar dan risiko diminimalkan. Di dalam konteks pengadaan barang atau jasa, dokumen kontrak adalah instrumen utama yang mengikat para pihak dalam hak, kewajiban, dan sanksi atas pelanggaran. Namun, di banyak perusahaan, terutama yang volume pengadaannya tinggi dan kompleksitasnya beragam, masih sering dijumpai kesalahan dalam merancang naskah kontrak. Kesalahan ini tidak hanya berpotensi menimbulkan sengketa dan kerugian finansial yang signifikan, tetapi juga merusak reputasi dan kepercayaan mitra bisnis. Oleh karena itu, penting bagi setiap profesional hukum dan manajer pengadaan untuk memahami dengan mendalam jenis-jenis kesalahan legal drafting yang sering terjadi, agar dapat menerapkan strategi pencegahan-mulai dari penyusunan klausul, pemilihan frasa, hingga mekanisme penyelesaian sengketa. Artikel ini akan mengupas secara mendalam lima kesalahan drafting paling krusial dalam pengadaan, disertai ilustrasi dampak serta cara mitigasinya, sehingga perusahaan dapat memperkuat pijakan hukumnya dan meminimalkan potensi kerugian.

Bagian 1: Tidak Mendefinisikan Ruang Lingkup Kontrak secara Jelas

Salah satu kesalahan fundamental dalam legal drafting adalah kegagalan merumuskan ruang lingkup (scope of work) secara komprehensif dan rinci. Dalam pengadaan, ruang lingkup memuat uraian spesifikasi teknis, volume, kualitas, lokasi pengiriman, dan standar kinerja yang diharapkan. Jika paragraf ini dirumuskan secara umum-misalnya dengan menggunakan istilah “sesuai permintaan” atau “berkualitas baik”-maka potensi dispute akan melejit ketika ekspektasi kedua pihak berbeda. Kasus di lapangan menunjukkan, perusahaan pembeli sering kali menganggap bahwa barang atau jasa yang diterima sudah memenuhi standar, padahal pihak penyedia memiliki interpretasi tersendiri atas istilah “berkualitas baik”.

Akibatnya, ketika terjadi kerusakan atau kegagalan, klaim ganti rugi sukar dibuktikan karena klausul ruang lingkup yang ambigu. Lebih jauh, kesalahan ini juga mempersulit proses manajemen perubahan (change order), karena tidak ada acuan baku dalam menilai apakah permintaan tambahan atau modifikasi masih termasuk dalam ruang lingkup awal. Untuk mengatasi masalah ini, draf legal sebaiknya memuat lampiran teknis terperinci, daftar item dengan spesifikasi numerik, timeline pengiriman, serta metrik kinerja (key performance indicators) yang terukur. Dengan demikian, setiap perubahan harus dikaji ulang dalam kerangka scope yang sudah ditetapkan, sehingga risiko perselisihan dan biaya tambahan dapat diminimalkan.

Bagian 2: Ketentuan Harga dan Jadwal Pembayaran yang Ambigu

Penetapan harga dan mekanisme pembayaran merupakan inti penting lainnya yang kerap menjadi sumber kesalahan drafting. Kesalahan umum mencakup tidak menuliskan mata uang secara spesifik (misalnya menggunakan “Rp” tanpa mengatur kurs valuta asing untuk material impor), tidak mendefinisikan apakah harga sudah termasuk pajak, biaya asuransi, atau ongkos kirim (incoterm), serta jadwal pembayaran yang terlalu longgar. Misalnya, klausul “Pembayaran dilakukan dalam 30 hari setelah penerimaan faktur” dianggap cukup, padahal tidak dijelaskan kapan “tanggal penerimaan faktur” diukur-apakah sejak tanggal faktur dikeluarkan, tanggal dokumen diterima bagian keuangan, atau tanggal material diterima.

Akibatnya, penyedia dapat menagih pembayaran lebih awal sementara pembeli menunda atas dasar penafsiran berbeda, memicu denda keterlambatan atau bahkan tindakan hukum. Selain itu, dalam proyek jangka panjang, fluktuasi harga bahan baku atau kurs dapat menimbulkan risiko margin bagi penyedia. Tanpa klausul price adjustment atau escalation clause yang proporsional, penyedia dapat mengalami kerugian signifikan, bahkan menghentikan pekerjaan sehingga pembeli tertunda suplai. Dengan menerapkan drafting yang akurat-mencakup definisi hari kerja, mata uang, incoterm, komponen harga, serta mekanisme penyesuaian harga-perusahaan dapat menghindari sengketa tentang tagihan dan menjaga arus kas tetap stabil.

Bagian 3: Klausul Kewajiban dan Jaminan yang Tidak Memadai

Dalam setiap kontrak pengadaan, klausul kewajiban (liabilities) dan jaminan (warranties) berfungsi melindungi pihak pembeli dari risiko produk cacat, kerugian finansial, maupun tanggung jawab pihak ketiga. Kesalahan drafting umum terjadi ketika klausul ini di-copy-paste tanpa disesuaikan konteks pengadaan atau ketika pembatasan liability terlalu ekstrim, melampaui batas kewajaran. Contohnya, klausul “Penyedia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tidak langsung, kehilangan keuntungan, atau kerugian akibat force majeure” bisa saja sah, tetapi jika jaminan terhadap cacat produk hanya diberikan selama 7 hari setelah penerimaan, maka pembeli akan kewalahan ketika defect muncul setelah masa tersebut, terutama untuk produk teknologi kompleks.

Begitu pula, pengecualian kewajiban tanpa batas maksimum (cap) bisa menjadikan pembeli tak berdaya setelah mengalami kerugian besar. Idealnya, drafting harus menyeimbangkan kepentingan kedua pihak: durasi jaminan disesuaikan dengan karakteristik barang/jasa, batas liability diukur dalam persentase nilai kontrak (misalnya maksimum 100% nilai kontrak), serta dikecualikan hanya “loss of data” atau “dampak lingkungan” yang dilindungi oleh asuransi terpisah. Dengan perumusan yang tepat, kontrak akan memberikan kepastian hukum dan proteksi finansial yang proporsional bagi pembeli, tanpa membuat penyedia takut mengambil proyek.

Bagian 4: Klausul Force Majeure dan Risiko yang Tidak Tercover

Klausul force majeure-keadaan kahar di luar kendali para pihak-harus memuat definisi peristiwa, prosedur pemberitahuan, durasi toleransi, hingga konsekuensi hukum. Banyak perusahaan mengabaikan klausul ini atau menuliskannya secara generik, misalnya “termasuk, namun tidak terbatas pada, bencana alam, peperangan, huru-hara”. Padahal, peristiwa seperti pandemi, embargo, atau gangguan rantai pasok memerlukan atensi khusus. Kesalahan drafting dapat terjadi bila suatu peristiwa yang seharusnya dianggap force majeure tidak dicantumkan, misalnya wabah penyakit menular atau kebijakan pemerintah yang membatasi impor.

Akibatnya, penyedia tetap wajib memenuhi kontrak dan dapat dikenakan sanksi atau denda, walaupun secara faktual mereka tidak dapat memperoleh material. Sebaliknya, klausul force majeure yang terlalu luas dapat disalahgunakan, sehingga penyedia menunda tanpa itikad baik. Oleh karena itu, drafting harus menguraikan prosedur klaim force majeure: batas waktu pemberitahuan (misalnya maksimum 5 hari kerja setelah terjadinya peristiwa), dokumentasi pendukung, dan latitude penjadwalan ulang proyek (right to extend time), serta konsekuensi terminasi jika durasi force majeure lebih dari jangka waktu tertentu (misalnya 60 hari). Dengan detil seperti ini, perusahaan dapat meminimalkan eksposur risiko operasional dan memastikan penyedia bertindak transparan.

Bagian 5: Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Lemah

Sengketa dapat muncul meski kontrak disusun dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, menentukan forum dan prosedur penyelesaian sengketa adalah bagian krusial dalam drafting. Kesalahan umum adalah mencantumkan klausul penyelesaian umum, seperti “setiap perselisihan akan diselesaikan melalui arbitrase Lembaga Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)”, tanpa menentukan sub-klausul penting-tempat arbitrase, bahasa, jumlah arbiter, aturan prosedur, serta tatacara pelaksanaan putusan.

Selain itu, perusahaan sering mengabaikan opsi mediasi atau negosiasi awal, sehingga proses arbitrase menjadi panjang dan mahal. Tak jarang, sengketa kecil menumpuk hingga meruncing dan menimbulkan biaya hukum yang jauh lebih tinggi daripada nilai kontrak. Untuk mencegah hal ini, drafting harus mengatur mekanisme bertahap: negosiasi informal selama 14 hari, mediasi formal dengan mediator independen, dan baru jika gagal, arbitrase atau pengadilan tertentu. Selain itu, penentuan tempat dan bahasa arbitrase perlu disesuaikan dengan lokasi bisnis dan profil mitra, agar keputusan dapat dieksekusi di wilayah yurisdiksi terkait. Dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang disusun komprehensif, perusahaan dapat mengendalikan biaya hukum, mempercepat proses, dan menjaga hubungan baik dengan mitra.

Kesimpulan

Legal drafting yang buruk dapat menyebabkan kerugian finansial, reputasi, dan operasional bagi perusahaan-terutama dalam konteks pengadaan barang maupun jasa yang melibatkan banyak pihak dan nilai kontrak besar. Kesalahan dalam mendefinisikan ruang lingkup, ketentuan harga, klausul kewajiban, force majeure, maupun mekanisme penyelesaian sengketa menimbulkan potensi sengketa yang kompleks dan mahal. Untuk menghindari dampak merugikan tersebut, perusahaan harus menerapkan best practices: penggunaan template kontrak yang telah direview secara berkala, pelibatan tim legal sejak tahap perencanaan pengadaan, checklist drafting yang menyeluruh, serta pelatihan internal bagi manajer pengadaan dan tim hukum.

Selain itu, pemanfaatan teknologi-seperti contract lifecycle management (CLM) dengan artificial intelligence-dapat membantu mendeteksi klausul lemah atau ambiguitas sebelum penandatanganan. Dengan pendekatan proaktif ini, perusahaan tidak hanya memperkuat pijakan hukumnya, tetapi juga meningkatkan efisiensi proses pengadaan, menjaga arus kas, dan memelihara reputasi sebagai mitra bisnis yang andal. Investasi waktu dan sumber daya dalam penyusunan kontrak yang matang akan terbayar dengan berkurangnya sengketa dan ketidakpastian hukum, serta optimalisasi nilai jangka panjang bagi perusahaan.