Mengapa Banyak ASN Belum Tersertifikasi PBJ?

Pendahuluan — Sertifikasi PBJ, kewajiban yang belum jadi kebiasaan

Setiap tahun, pemerintah menargetkan ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memperoleh sertifikasi pengadaan barang/jasa (PBJ). Namun, data dari berbagai instansi menunjukkan bahwa jumlah ASN yang sudah tersertifikasi masih jauh di bawah kebutuhan nyata di lapangan. Padahal, sertifikat PBJ menjadi salah satu syarat utama bagi pejabat pengadaan, pejabat pembuat komitmen (PPK), dan panitia pemilihan agar keputusan mereka sah secara hukum dan administrasi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa masih banyak ASN belum tersertifikasi PBJ, padahal pelatihan dan ujian sudah tersedia, bahkan kini bisa diakses secara daring? Apakah persoalannya ada pada kebijakan, anggaran, motivasi, atau sistem pelatihannya sendiri?

Sertifikasi PBJ bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk pengakuan bahwa seorang ASN memahami aturan dan prinsip pengelolaan anggaran publik. ASN yang tidak bersertifikat menghadapi risiko besar—mulai dari terbatasnya kewenangan dalam proyek hingga kemungkinan sanksi administratif jika tetap melaksanakan tugas tanpa kompetensi resmi. Namun di sisi lain, banyak ASN mengaku kesulitan mengikuti proses sertifikasi karena berbagai hambatan, baik struktural maupun teknis.

Artikel ini membedah persoalan tersebut secara menyeluruh. Kita akan melihat faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat sertifikasi ASN, mulai dari keterbatasan akses pelatihan, kendala birokrasi, minimnya motivasi, hingga tantangan digitalisasi pembelajaran. Selain itu, artikel ini juga menyoroti bagaimana kebijakan pemerintah mencoba mengatasinya melalui inovasi pelatihan, sinergi lintas lembaga, dan strategi insentif yang lebih manusiawi.

Dengan memahami akar masalahnya, kita bisa melihat sertifikasi bukan sebagai beban tambahan, tetapi sebagai langkah penting menuju profesionalisme dan reformasi birokrasi yang sesungguhnya.

Realita di lapangan: target tinggi, capaian rendah

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah melalui LKPP dan berbagai kementerian terus mendorong peningkatan jumlah ASN bersertifikat PBJ. Namun, capaian yang diperoleh masih belum sebanding dengan target. Di banyak instansi, jumlah ASN bersertifikat hanya sekitar 30–40% dari total yang seharusnya memenuhi kualifikasi. Artinya, lebih dari separuh pejabat yang menangani pengadaan belum memiliki bukti formal kompetensi.

Situasi ini bisa dilihat di banyak daerah. Sebagian ASN sudah ditugaskan menjadi pejabat pengadaan atau anggota panitia pemilihan, tetapi belum memiliki sertifikat karena proses pelatihannya tertunda atau belum tersedia di wilayahnya. Dalam kondisi terbatas, instansi terpaksa menunjuk pegawai tanpa sertifikasi agar kegiatan tetap berjalan, walau hal itu berisiko secara hukum.

Selain itu, ada perbedaan kesiapan antar instansi. Kementerian besar dengan dukungan anggaran cukup biasanya mampu menyelenggarakan pelatihan sertifikasi secara mandiri. Sementara pemerintah daerah, terutama di wilayah terpencil, menghadapi keterbatasan anggaran, minimnya lembaga pelatihan, dan kesulitan akses internet untuk pembelajaran daring.

Masalah lain yang sering muncul adalah persepsi ASN terhadap sertifikasi. Banyak yang masih menganggapnya sebagai tugas tambahan, bukan kebutuhan profesional. Ketika jadwal kerja padat dan pelatihan terasa rumit, motivasi untuk mengikuti sertifikasi menjadi rendah.

Akibatnya, target nasional peningkatan SDM PBJ sering meleset. Meski kebijakan sudah jelas dan platform pelatihan tersedia, eksekusinya di lapangan berjalan lambat. Perlu pendekatan lebih konkret dan manusiawi agar ASN melihat sertifikasi bukan sebagai kewajiban administratif semata, tetapi sebagai bekal penting untuk bekerja dengan aman dan profesional.

Faktor pertama: keterbatasan akses dan biaya pelatihan

Salah satu hambatan utama yang membuat banyak ASN belum tersertifikasi PBJ adalah akses pelatihan yang masih terbatas. Meskipun LKPP telah membuka jalur pelatihan daring, tidak semua ASN memiliki kemudahan akses internet atau perangkat yang memadai. Kondisi ini paling terasa di daerah terpencil, di mana jaringan internet lemah dan infrastruktur pelatihan masih minim.

Sebelum era digital, pelatihan sertifikasi biasanya dilakukan secara tatap muka dengan biaya pelaksanaan yang cukup tinggi. Biaya tersebut mencakup narasumber, tempat, modul, dan perjalanan dinas peserta. Akibatnya, banyak instansi daerah yang hanya mampu mengirim sebagian kecil pegawainya untuk mengikuti pelatihan, sementara yang lain harus menunggu giliran tahun berikutnya.

Selain itu, alokasi anggaran pelatihan ASN masih terbatas. Banyak unit kerja yang memprioritaskan belanja operasional ketimbang pengembangan kompetensi. Ketika anggaran pelatihan dipangkas, kegiatan sertifikasi sering kali menjadi korban pertama.

Masalah juga muncul dari jadwal pelatihan yang tidak fleksibel. ASN yang bertugas di lapangan atau memegang jabatan rangkap sulit mengikuti pelatihan yang berlangsung beberapa hari penuh. Meskipun kini ada opsi e-learning, tidak semua ASN terbiasa belajar mandiri secara daring.

Dalam konteks ini, digital learning memang membuka peluang baru, tetapi juga menciptakan tantangan baru. Pemerintah masih perlu memastikan pelatihan online tidak hanya tersedia, tapi juga inklusif—mudah diakses, ringan secara teknis, dan memiliki dukungan mentoring agar peserta tidak merasa ditinggal.

Tanpa solusi konkret untuk masalah akses dan biaya, program sertifikasi PBJ akan sulit menjangkau ASN di luar kota besar, padahal mereka adalah ujung tombak pelaksanaan proyek pemerintah di daerah.

Faktor kedua: kurangnya kesadaran dan motivasi pribadi ASN

Selain kendala teknis dan anggaran, faktor motivasi pribadi juga memainkan peran besar dalam rendahnya jumlah ASN bersertifikat PBJ. Tidak sedikit pegawai yang belum melihat sertifikasi sebagai kebutuhan profesional, melainkan sekadar formalitas untuk memenuhi syarat administratif.

Ada beberapa alasan di balik rendahnya motivasi ini. Pertama, belum semua pimpinan instansi menjadikan sertifikasi sebagai indikator penting dalam evaluasi kinerja atau promosi jabatan. Akibatnya, ASN merasa tidak ada insentif nyata untuk mengikuti pelatihan. Kedua, banyak ASN belum memahami manfaat praktis dari sertifikasi, seperti perlindungan hukum, peningkatan kredibilitas, dan peluang karier.

Beberapa ASN bahkan merasa sertifikasi hanya menambah beban kerja, terutama karena proses belajar dan ujian dianggap sulit atau memakan waktu. Padahal, dengan metode pelatihan baru seperti microlearning dan simulasi daring, materi sebenarnya sudah jauh lebih ringan dan fleksibel.

Masalah lainnya adalah budaya belajar yang belum terbentuk. Dalam birokrasi yang masih sibuk dengan rutinitas administratif, belajar mandiri sering dianggap kegiatan sekunder. Tanpa dukungan pimpinan atau sistem insentif, dorongan untuk meningkatkan kompetensi menjadi lemah.

Maka, strategi peningkatan SDM tidak cukup hanya menyediakan pelatihan, tapi juga membangun budaya penghargaan terhadap kompetensi. ASN perlu melihat bahwa sertifikasi bukan kewajiban, melainkan investasi jangka panjang untuk melindungi karier dan memperkuat profesionalisme.

Perubahan mindset ini penting agar sertifikasi tidak lagi dianggap beban, tetapi kebanggaan—tanda bahwa seorang ASN telah memenuhi standar nasional untuk mengelola anggaran publik secara profesional.

Faktor ketiga: sistem pelatihan dan ujian yang masih perlu penyempurnaan

Meski banyak kemajuan, sistem sertifikasi PBJ di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam aspek teknis dan kelembagaan. Beberapa ASN mengaku mengalami kesulitan dalam proses pendaftaran, pemilihan jadwal, hingga pelaksanaan ujian daring yang kadang tidak stabil.

Proses sertifikasi yang masih terpusat juga menjadi kendala. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang diakui secara nasional jumlahnya belum banyak dibandingkan jumlah calon peserta. Akibatnya, antrean panjang tidak terhindarkan. Di beberapa daerah, ASN harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan jadwal ujian.

Selain itu, materi pelatihan sering dianggap terlalu padat dan tidak selalu sesuai dengan konteks pekerjaan peserta. Banyak ASN lapangan merasa soal ujian terlalu teoritis, sementara mereka lebih membutuhkan pelatihan berbasis praktik. Hal ini menunjukkan perlunya penyesuaian kurikulum agar lebih aplikatif dan kontekstual.

Masalah lain adalah kurangnya pendampingan. Peserta e-learning yang kesulitan memahami materi sering tidak tahu harus bertanya ke siapa. Tanpa bimbingan atau forum diskusi aktif, banyak peserta akhirnya menyerah di tengah jalan.

LKPP sebenarnya telah memperkenalkan berbagai perbaikan, seperti penyediaan simulasi soal, panduan interaktif, dan peningkatan kapasitas server untuk pelatihan daring. Namun, penyempurnaan sistem perlu terus dilakukan agar proses sertifikasi terasa lebih ramah, transparan, dan efisien.

Karena pada dasarnya, sertifikasi bukan ujian mencari siapa yang gagal, melainkan alat pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi. Sistem yang terlalu rumit justru menghambat tujuan utama: menciptakan SDM pengadaan yang profesional di seluruh penjuru negeri.

Dampak dari rendahnya jumlah ASN bersertifikat

Rendahnya jumlah ASN bersertifikat PBJ membawa dampak nyata terhadap kualitas pengadaan di instansi pemerintah. Di banyak daerah, pejabat tanpa sertifikat tetap harus menjalankan fungsi pengadaan karena kekosongan posisi. Akibatnya, risiko kesalahan prosedur meningkat.

Kesalahan dalam penyusunan dokumen, evaluasi penawaran, atau pelaksanaan kontrak sering kali berakar dari kurangnya pemahaman aturan. Bukan karena niat buruk, melainkan karena keterbatasan kompetensi. Dampaknya bisa berantai: tender ulang, proyek tertunda, atau bahkan temuan audit yang berujung pada teguran dari lembaga pengawas.

Selain itu, rendahnya jumlah ASN bersertifikat memperlambat reformasi birokrasi di bidang pengadaan. Padahal, profesionalisme ASN di sektor ini menjadi salah satu indikator utama keberhasilan reformasi tata kelola keuangan negara.

Dari sisi kepercayaan publik, kondisi ini juga berpengaruh. Masyarakat cenderung meragukan integritas proses pengadaan bila mengetahui pejabatnya belum memenuhi standar kompetensi nasional. Akibatnya, upaya membangun citra positif birokrasi sering terhambat.

Masalah ini juga berdampak pada beban kerja ASN yang sudah bersertifikat. Mereka sering harus menangani banyak paket sekaligus karena jumlah pejabat kompeten terbatas. Kondisi ini membuat kinerja individu menurun dan membuka celah bagi kesalahan administratif.

Dengan kata lain, mempercepat sertifikasi bukan hanya soal mematuhi aturan, tetapi bagian penting dari menjaga efisiensi, akuntabilitas, dan reputasi lembaga publik di mata masyarakat.

Langkah pemerintah mempercepat peningkatan ASN bersertifikat

Pemerintah telah menyadari rendahnya tingkat sertifikasi ASN sebagai masalah serius dan mulai menerapkan berbagai langkah percepatan. Ada empat strategi utama yang kini dijalankan secara nasional:

  1. Digitalisasi pelatihan dan ujian.
    LKPP mengembangkan platform e-learning dan ujian daring agar ASN bisa mengikuti pelatihan dari mana saja tanpa harus hadir fisik.
  2. Kemitraan dengan LSP dan perguruan tinggi.
    Pemerintah bekerja sama dengan lembaga sertifikasi profesional dan universitas untuk memperbanyak titik pelatihan dan asesor bersertifikat di seluruh daerah.
  3. Integrasi sertifikasi dengan sistem karier ASN.
    BKN dan Kementerian PAN-RB mulai menjadikan sertifikasi PBJ sebagai salah satu indikator penting dalam promosi jabatan dan seleksi posisi strategis.
  4. Skema pembiayaan kolaboratif.
    Pemerintah pusat dan daerah dapat berbagi biaya pelatihan. Beberapa daerah bahkan memanfaatkan dana reformasi birokrasi atau kerja sama antar-instansi untuk membiayai sertifikasi massal.

Selain itu, beberapa instansi sudah mulai menjalankan mentoring internal, di mana ASN bersertifikat membimbing rekan sejawat untuk mempersiapkan ujian. Langkah sederhana ini terbukti efektif meningkatkan angka kelulusan.

Upaya lain yang tak kalah penting adalah penyederhanaan proses administrasi. Sistem pendaftaran, validasi dokumen, hingga verifikasi hasil asesmen kini diarahkan agar lebih cepat dan terintegrasi secara daring.

Dengan kombinasi kebijakan ini, pemerintah berharap jumlah ASN bersertifikat meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan, terutama di daerah yang selama ini tertinggal dalam pengembangan kompetensi.

Kesimpulan — dari kewajiban menjadi budaya kompetensi

Fenomena banyaknya ASN yang belum tersertifikasi PBJ menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih memiliki pekerjaan rumah besar di bidang penguatan SDM. Akar masalahnya bukan hanya teknis, tetapi juga budaya: belum terbentuknya kesadaran bahwa sertifikasi adalah bagian dari tanggung jawab profesional, bukan sekadar kewajiban administratif.

Kendala akses, anggaran, dan sistem pelatihan memang nyata, tetapi faktor motivasi dan dukungan pimpinan tak kalah penting. Pemerintah kini telah menyiapkan berbagai langkah perbaikan, mulai dari pelatihan digital, kerja sama lembaga sertifikasi, hingga insentif karier bagi ASN yang kompeten. Namun, semua itu baru efektif jika dibarengi perubahan mindset—bahwa ASN profesional adalah mereka yang terus belajar dan mampu membuktikan kompetensinya secara objektif.

Sertifikasi bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju birokrasi modern yang akuntabel dan berintegritas. Ketika ASN di seluruh Indonesia memahami hal ini, target pemerintah untuk memiliki SDM PBJ yang bersertifikat bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang memperkuat fondasi tata kelola negara.